Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Khamenei memperingatkan Amerika Serikat dan Israel usai gencatan senjata. Ia menyebut Iran tidak akan menyerah dan menyatakan Israel hampir runtuh. Ketegangan ini memicu kekhawatiran konflik baru di Timur Tengah. (Foto: IRNA)

Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengguncang dunia dengan pernyataan keras dalam pidato televisi nasional pada 26 Juni 2025. Ia mengklaim Iran telah "menampar wajah" Amerika Serikat (AS) dan menyatakan bahwa rezim Zionis, sebutan untuk Israel, "hampir runtuh" di bawah serangan Republik Islam. 

Pernyataan ini datang setelah gencatan senjata antara Iran dan Israel pada 24 Juni 2025, menyusul perang 12 hari yang menewaskan ratusan orang dan merusak fasilitas nuklir Iran. 

Konflik ini memicu ketegangan global, dengan implikasi serius terhadap stabilitas Timur Tengah dan hubungan diplomatik internasional.

Perang singkat namun intens tersebut dipicu oleh eskalasi militer, di mana Iran meluncurkan lebih dari 550 rudal ke Israel, sementara Israel membalas dengan menyerang 720 situs militer dan 8 fasilitas nuklir Iran, menurut laporan Associated Press. 

AS juga terlibat dengan menyerang fasilitas nuklir Iran pada 21 Juni 2025, yang diklaim sebagai tindakan "pembelaan diri." 

Namun, Iran menolak klaim ini melalui surat resmi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 25 Juni 2025, menyebut serangan AS sebagai pelanggaran kedaulatan dan hukum internasional.

Khamenei, dalam pidatonya, menegaskan bahwa Iran tidak akan menyerah meskipun tekanan dari AS terus meningkat. 

Ia merujuk pada pernyataan Presiden AS Donald Trump, yang menyebut Iran harus menyerah, dan menegaskan, "Penyerahan diri tidak akan pernah terjadi, negara kita kuat." 

Ia juga memperingatkan bahwa setiap agresi di masa depan akan memicu kerugian besar bagi AS, dengan Iran mampu menyerang pangkalan utama AS di wilayah tersebut, seperti yang terlihat dalam serangan ke pangkalan AS di Qatar pada 23 Juni 2025.

Dampak dari konflik ini sangat signifikan. Menurut media Iran, 606 orang tewas dan 5.332 terluka, sementara aktivis hak asasi manusia melaporkan angka lebih tinggi, yaitu 1.054 tewas, termasuk 417 warga sipil. 

Di sisi Israel, 28 orang tewas dan lebih dari 1.000 terluka. Kerusakan pada fasilitas nuklir Iran digambarkan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sebagai "sangat, sangat, sangat besar," meskipun Khamenei meremehkan dampaknya. 

Iran kini menghentikan kerja sama dengan IAEA, menandakan memburuknya hubungan dengan komunitas internasional.

"Khamenei berusaha menunjukkan kekuatan domestik dan regional melalui pidato ini, tetapi eskalasi militer ini berisiko memperburuk isolasi Iran di panggung global," kata Dr. Reza Hadi, analis politik Timur Tengah dari Universitas Tehran jepada media. "Klaim bahwa Israel 'hampir runtuh' lebih merupakan retorika untuk menggalang dukungan dalam negeri, sementara realitas di lapangan menunjukkan kerusakan signifikan di pihak Iran sendiri."

Ke depan, ketegangan ini berpotensi memicu eskalasi baru jika tidak ada de-eskalasi diplomatik. Iran telah meminta Dewan Keamanan PBB untuk mengecam AS dan Israel, sementara AS bersikukuh bahwa serangannya sah berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB. 

"PBB harus mengambil langkah tegas untuk mencegah konflik serupa di masa depan. Diplomasi multilateral adalah satu-satunya jalan untuk meredakan situasi," ujar Prof. Maria Alvarez, pakar hukum internasional dari Universitas Oxford.

Sementara itu, pasar global mulai merasakan dampaknya, dengan harga minyak naik 3% sejak eskalasi dimulai, menurut data Bloomberg. 

Stabilitas energi dan keamanan regional kini berada di ujung tanduk, menuntut solusi cepat untuk mencegah krisis yang lebih luas•