![]() |
Gedung KBRI Washington, AS. Posisi duta besar RI di AS diketahui kosong setidaknya sejak 2023. (Foto: detok.com/Istimewa) |
Kekosongan posisi duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2023 bukan sekadar urusan administrasi diplomatik.
Dalam dunia yang diguncang konflik, krisis ekonomi, dan perubahan geopolitik, absennya wakil resmi Indonesia di dua panggung global paling penting itu menimbulkan pertanyaan besar: Apakah Indonesia sedang kehilangan suara dalam forum internasional?
Sejak Juli 2023, posisi Dubes RI untuk Amerika Serikat lowong, menyusul penarikan Rosan Roeslani yang kemudian diangkat menjadi Wakil Menteri BUMN.
Hal serupa terjadi pada Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di PBB, baik di New York maupun Jenewa. Lebih dari 20 bulan berlalu, belum ada penunjukan resmi untuk mengisi kekosongan strategis tersebut.
Dalam kurun waktu itu pula, dunia menyaksikan ledakan konflik Israel-Iran, naiknya kembali Donald Trump ke Gedung Putih dengan kebijakan tarif agresif, serta dinamika baru dalam hubungan multilateral di forum PBB dan BRICS. Sementara itu, Indonesia tampak ‘setengah hadir’ di ruang-ruang itu.
Kekhawatiran akan kekosongan ini disuarakan mantan Wakil Menteri Luar Negeri, Dino Patti Djalal, dalam sebuah unggahan di platform X pada 22 Juni 2025:
“Yth Presiden @prabowo, kind reminder: dlm dunia yg semakn dihantui perang+konflik+krisis yg berbahaya, mhn agar kursi Dubes2 utk Amerika, PBB (New York & Jenewa), Jerman yg sdh lama KOSONG dapat segera diisi.”
Unggahan ini memicu respons luas. Lebih dari 9.000 orang menyukai pernyataan tersebut, dengan ratusan komentar yang mempertanyakan lambannya proses pengisian posisi vital ini.
Beberapa pengguna X menilai Indonesia kehilangan peluang strategis, bahkan kehilangan suara dalam negosiasi dan forum internasional.
Bukan Sekadar Simbolik: Peran Strategis Duta Besar
Menurut Dinna Prapto Raharja, pengajar hubungan internasional dari Universitas Bina Nusantara, duta besar memiliki akses eksklusif yang tidak dimiliki oleh pejabat sementara.
“Kalau duta besarnya tidak available, tidak mungkin anggota Kongres atau Ketua DPR atau Menteri Luar Negeri Amerika Serikat mau ketemu sama charge d’affaires. Karena bukan level diplomatiknya,” tegasnya.
Selain akses politik, duta besar juga berperan penting dalam intelijen diplomatik—mengumpulkan sinyal dan informasi sensitif yang bisa menjadi dasar kebijakan nasional.
Ketika Amerika Serikat memberlakukan tarif impor sebesar 32%, kemudian meningkat hingga 47% terhadap produk tekstil Indonesia pada April 2025, Indonesia merespons secara reaktif.
“Sayang sekali kita tidak ada orang yang bisa mendengar sinyal dari Amerika Serikat, sehingga kita telat melangkah,” lanjut Dinna.
Padahal, tarif ini memukul ekspor tekstil nasional, sektor yang menyerap lebih dari 3 juta tenaga kerja domestik.
Tak hanya bilateral, Indonesia juga kehilangan posisi tawar dalam forum multilateral seperti PBB. Dalam isu-isu seperti gencatan senjata Israel-Iran, reformasi Dewan Keamanan, hingga peran Indonesia dalam BRICS, ketiadaan Dubes di New York dan Jenewa membuat diplomasi RI tidak optimal.
Fadjar Ibnu Thufail dari BRIN menyatakan bahwa representasi di forum-forum seperti ini bukan hanya soal kehadiran, melainkan juga kapasitas untuk memengaruhi diskusi.
“Kalau tidak ada otoritas untuk bernegosiasi, posisi tawar kita jelas berkurang,” ujarnya.
PBB adalah salah satu wadah utama Indonesia dalam menegakkan prinsip politik luar negeri bebas-aktif.
Dalam sejarahnya, Indonesia dikenal aktif mengirim pasukan perdamaian, menjadi penengah dalam konflik, hingga menyuarakan kepentingan Global South. Tapi tanpa wakil tetap berpangkat duta besar, posisi itu meredup.
Perlindungan WNI Terancam
Selain urusan politik dan ekonomi, duta besar juga memainkan peran vital dalam melindungi WNI di luar negeri.
Di negara-negara seperti AS yang memiliki diaspora besar, dan wilayah konflik seperti Timur Tengah yang menjadi fokus PBB, ketidakhadiran Dubes bisa berdampak pada lambatnya pengambilan keputusan kritis, termasuk evakuasi.
“Kalau di satu negara itu terjadi perang atau kekacauan besar, perwakilan Indonesia harus menganalisis situasi dan memberikan keputusan. Nah, itu hanya bisa dilakukan oleh duta besar,” kata Fadjar.
Pejabat sementara memang memiliki mandat administratif, tetapi tidak selalu memiliki otoritas politik penuh untuk bertindak cepat.
Menanggapi kritik ini, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, menyatakan bahwa tugas diplomatik tetap berjalan normal.
“Charge d’affaires memiliki mandat penuh dan dihormati oleh negara bersangkutan,” katanya. Bahkan, menurutnya, pejabat sementara bisa lebih efektif karena sudah memahami situasi lokal.
Namun, pernyataan ini tidak cukup menenangkan para pengamat. Di DPR, Wakil Ketua Sufmi Dasco menyebutkan bahwa nama calon duta besar sudah ada, tetapi belum diumumkan secara resmi.
Wakil Menteri Sekretaris Negara Juri Ardiantoro menambahkan bahwa proses ini soal “timing” dan pertimbangan politik.
Bukan Kurang SDM, Tapi Kurang Keputusan
Menariknya, para ahli sepakat bahwa masalahnya bukan pada kekurangan diplomat.
“Kita enggak kekurangan diplomat. Kalau yang dibutuhkan adalah orang yang mengerti geopolitik atau ekonomi-politik, kita juga tidak kekurangan,” ujar Fadjar Thufail.
Yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik untuk menempatkan orang-orang tepat pada waktu yang mendesak.
Dalam diplomasi, kecepatan penunjukan bisa berarti perbedaan antara kehilangan atau merebut kesempatan strategis.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertama, percepatan proses penunjukan duta besar harus menjadi prioritas nasional. Pemerintah tidak bisa membiarkan kekosongan ini berlangsung lebih lama.
Kedua, proses seleksi harus mengutamakan kompetensi dan rekam jejak diplomatik, bukan hanya loyalitas politik.
Ketiga, ke depan perlu ada mekanisme waktu maksimal untuk pengisian posisi diplomatik strategis, guna mencegah kekosongan berlarut.
Diplomasi bukan hanya soal keberadaan fisik di negara asing atau forum internasional. Ia adalah tentang representasi, legitimasi, dan posisi tawar.
Ketika kursi itu kosong terlalu lama, yang hilang bukan hanya simbol negara, tapi juga suara kita di panggung global. Dan di dunia yang bergerak cepat ini, diam bisa berarti kalah.
0Komentar