Ancaman perang dunia tak lagi datang dari rudal atau tank, melainkan dari barisan kode dan jaringan server. Pengamat keamanan siber Ahmad Faizun menyebut dunia telah memasuki era "perang tak kasat mata", di mana serangan siber bisa melumpuhkan ekonomi nasional hanya dalam hitungan jam—tanpa satu peluru pun ditembakkan.
Indonesia, yang tengah menikmati pertumbuhan ekonomi digital senilai triliunan rupiah, dinilai berada dalam posisi rawan.
Dengan anggaran keamanan siber nasional hanya sebesar USD127 juta pada 2022, kesenjangan dengan negara besar seperti Amerika Serikat (USD106 miliar pada 2024) dan China (USD10 miliar pada 2025) disebut sangat mengkhawatirkan.
“Kerentanan ini bersifat asimetris. Lawan tidak perlu mengirim pasukan, cukup satu serangan siber dan ekonomi kita bisa lumpuh,” kata Faizun dalam diskusi nasional yang dilansir JPNN dan Sindonews, Sabtu (22/6).
Pergeseran bentuk konflik global ditandai dengan meningkatnya intensitas serangan digital antara negara.
Mulai dari serangan ransomware terhadap infrastruktur energi di AS, spionase digital antara Rusia dan Ukraina, hingga penggunaan spyware canggih oleh aktor negara dalam konflik Timur Tengah.
Faizun menyebut fenomena ini sebagai bentuk baru dari perang dunia. "Ini bukan lagi soal geopolitik wilayah, tapi soal dominasi di ruang digital," tegasnya.
Sementara negara lain menggelontorkan puluhan hingga ratusan miliar dolar untuk membangun sistem pertahanan siber yang kuat dan inovatif, Indonesia masih berada di level yang nyaris simbolik.
“Jika pertahanan digital kita sekuat pagar bambu, bagaimana kita bisa melindungi ekonomi senilai triliunan rupiah yang bergantung pada internet?” sindir Faizun.
Sebagai solusi, Faizun mendorong pemerintah untuk segera berinvestasi dalam apa yang ia sebut sebagai “Aset Teknologi Berdaulat”—ekosistem nasional yang terdiri dari infrastruktur, SDM, dan sistem pertahanan siber yang dirancang dan dikembangkan di dalam negeri.
Menurutnya, Indonesia bisa belajar dari pendekatan tiga negara:
Amerika Serikat dengan pendekatan diversifikasi badan intelijen dan riset;
China dengan konsolidasi negara-industri yang efisien;
Israel yang menjadikan militer sebagai inkubator inovasi teknologi siber.
“Kita tidak perlu meniru ideologi mereka, tapi ambil struktur yang relevan. Negara harus jadi arsitek utama, tapi eksekusi diserahkan pada swasta yang inovatif,” ujar Faizun.
Faizun juga mengusulkan dua inisiatif utama:
Pembangunan platform OSINT (Open Source Intelligence) lokal, yang bisa digunakan untuk intelijen bisnis, pengawasan pasar, hingga mitigasi risiko geopolitik.
Pengembangan kemampuan zero-click, teknologi mata-mata canggih seperti Pegasus, untuk keperluan pertahanan dan ekspor strategis.
Pasar OSINT global sendiri diperkirakan mencapai USD14,85 miliar pada 2024 dan bisa menembus USD49 miliar di 2029. “Kalau kita bisa ambil 1% saja dari pasar itu, dampaknya luar biasa bagi ekonomi nasional,” kata Faizun.
Dengan risiko serangan siber yang meningkat dan nilai ekonomi digital Indonesia yang terus tumbuh, Faizun memperingatkan bahwa peningkatan anggaran secara bertahap adalah kesalahan fatal.
“Kita tidak bisa melawan rudal digital dengan strategi birokrasi lambat. Kalau kita tunggu lima tahun, bisa jadi semuanya sudah terlambat,” tegasnya.
Faizun secara terbuka menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah strategis dengan menjadikan keamanan siber dan kedaulatan teknologi sebagai prioritas utama pertahanan nasional.
Hingga artikel ini ditulis, belum ada tanggapan resmi dari Presiden Prabowo atas proposal tersebut.
Namun, dalam beberapa pidatonya, seperti dilaporkan oleh presidenri.go.id, Prabowo telah menyatakan komitmennya untuk mendorong transformasi ekonomi berbasis teknologi.
Dengan potensi ekonomi digital yang besar, Indonesia tak bisa hanya jadi pasar bagi teknologi asing.
Aset teknologi berdaulat bukan sekadar pilihan, tapi keharusan. Dan menurut para pakar, waktunya bukan besok—tapi sekarang.
“Di dunia digital, yang lambat bukan cuma kalah. Mereka bisa dihancurkan bahkan sebelum sadar mereka sedang diserang,” pungkas Faizun.
0Komentar