![]() |
Nilai ekspor nikel Indonesia melejit hingga USD 38 miliar, tapi menuai kritik lingkungan dari dalam dan luar negeri. (Ilustrasi: Apluswire/Nabila Elisa Maharani) |
Kasus protes terhadap eksploitasi tambang nikel kian memanas dalam dua tahun terakhir, seiring lonjakan nilai ekspor nikel Indonesia yang mencapai USD 34 miliar pada 2022 — meroket hampir sepuluh kali lipat dari nilai sebelum larangan ekspor bijih diterapkan.
Terbaru, data Kementerian ESDM per Mei 2025 mencatat ekspor produk hilir nikel telah menyumbang USD 38,7 miliar, menandakan tren kenaikan terus berlanjut.
Di balik narasi “kebangkitan ekonomi” yang didorong pemerintah, muncul kekhawatiran serius tentang kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, hingga dugaan standar ganda dunia internasional.
Pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia baru-baru ini, yang mempertanyakan mengapa eksploitasi oleh negara-negara maju dulu tidak diprotes keras seperti Indonesia saat ini, menyalakan kembali perdebatan panjang tentang keadilan lingkungan global.
Eksploitasi Sumber Daya: Dari Era Kolonial Hingga Hilirisasi Modern
Eksploitasi sumber daya alam bukanlah cerita baru di Indonesia. Pada masa kolonial Belanda, tambang timah di Belitung atau batu bara di Sawahlunto dieksploitasi habis-habisan di bawah regulasi ketat yang hanya menguntungkan penjajah.
![]() |
Aktifitas penambangan menggunakan beliung di tambang terbuka pada tahun 1891 dengan diapit oleh dua orang pengawas eropa. (Foto: via Metro Talenta) |
Laporan sejarah menunjukkan pemerintah Hindia Belanda mendirikan Dienst van hen Mijnbouw sejak 1850, memberi konsesi kepada korporasi Eropa sambil mencabut hak-hak masyarakat adat.
Hutan pun dijarah besar-besaran di bawah Boschordonnantie 1927 dengan dalih konservasi, padahal kenyataannya lahan dikosongkan untuk perkebunan dan penebangan kayu.
"Kolonialisme tidak hanya mengambil hasil bumi, tetapi juga merampas ruang hidup masyarakat," kata Dr. Kees van Dijk, sejarawan Universitas Leiden, dalam bukunya The Netherlands Indies and the Indonesian Peoples (2009).
Meski Bahlil menilai protes kala itu minim, sejarah mencatat perlawanan rakyat tak pernah absen.
Dari pemberontakan petani kopi di Priangan, mogok kerja buruh tambang Sawahlunto tahun 1927, hingga gerakan kemerdekaan berskala nasional — semua lahir dari ketidakadilan yang sama: sumber daya dihisap untuk kepentingan luar.
Namun, perlu diakui, standar lingkungan belum menjadi perhatian global kala itu, sehingga resistensi lebih banyak menuntut kebebasan politik dan hak buruh.
Hilirisasi: Kedaulatan Ekonomi atau Ancaman Baru?
Masuk ke era modern, Indonesia mengambil langkah berani: hilirisasi nikel. Mulai 2020, pemerintah melarang ekspor bijih mentah agar diproses di dalam negeri, menciptakan rantai industri kendaraan listrik (EV) nasional.
Hasilnya memang mencengangkan. Nilai ekspor melonjak, lapangan kerja baru diproyeksikan mencapai 180.000 posisi di tahun 2030, dan investasi asing terus berdatangan.
“Ini bagian dari berdiri di kaki sendiri,” tegas Bahlil dalam forum PandemicTalks Kompas, menegaskan semangat nasionalisme sumber daya.
Dengan cadangan nikel mencapai 43% total dunia, Indonesia berambisi menjadi raksasa baterai EV global.
Namun, di balik gemerlapnya angka ekonomi, muncul sederet risiko serius. Produksi nikel yang masif memicu deforestasi di kawasan Maluku Utara dan Sulawesi.
Data Greenpeace mencatat pembukaan lahan tambang telah merusak lebih dari 500 hektar hutan Raja Ampat, menimbulkan potensi krisis air bersih dan hilangnya habitat endemik.
WALHI juga menyoroti potensi polusi dari PLTU captive (pembangkit swasta untuk smelter) yang justru memperbesar emisi karbon, berlawanan dengan semangat “hijau” kendaraan listrik.
“Industri EV ini masih rakus lahan dan air, bukan solusi berkelanjutan,” ujar Dwi Sawung, Manajer Kampanye WALHI, kepada BBC Indonesia pada 2024.
Mengapa Protes Kini Lebih Keras?
Pertanyaan besar muncul: kenapa di masa kolonial protes tak sebesar sekarang? Jawabannya ada pada standar lingkungan dan kesadaran global.
![]() |
Konferensi pers yang diadakan di akhir Konferensi Stockholm. Perpecahan antara negara maju dan negara berkembang yang hadir di sana masih ada hingga saat ini. (Gambar: UN Photo/Yutaka Nagata) |
Sejak Konferensi Stockholm 1972 hingga Deklarasi Rio 1992, dunia mulai sadar bahwa pembangunan harus berkelanjutan.
Indonesia pun punya instrumen hukum tegas seperti UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan dan UU Minerba 2020.
“Di era kolonial, belum ada narasi hak lingkungan. Sekarang, masyarakat global menuntut penambangan bertanggung jawab,” jelas Dr. Ahmad Maryudi, pakar tata kelola sumber daya alam UGM.
Dengan begitu, wajar jika proyek-proyek hilirisasi Indonesia hari ini diawasi ketat oleh aktivis lingkungan, media, hingga konsumen internasional yang menuntut rantai pasok bersih.
Apalagi, ketimpangan masih mencolok di daerah tambang. Kabupaten Morowali, pusat smelter nikel terbesar, mencatat angka kemiskinan 12,58% — jauh di atas rata-rata nasional 9,57%.
Ketergantungan pada tenaga kerja asing (insinyur metalurgi dan operator berpengalaman) pun memicu kecemburuan sosial di kalangan pekerja lokal.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Pemerintah jelas tak bisa menutup mata. Sebab hilirisasi hanya akan berumur pendek jika cadangan nikel habis dalam 20 tahun ke depan — prediksi yang didukung laporan Mining Journal tahun 2023.
Bahkan, riset Indonesian Mining Institute per April 2025 menegaskan potensi kelangkaan bijih berkualitas tinggi akan mulai terasa dalam 12–15 tahun mendatang jika laju produksi tetap seperti sekarang.
Pemerintah perlu mempercepat transfer teknologi, memperkuat perlindungan lingkungan, dan menjamin hak masyarakat sekitar tambang.
“Kalau kita tidak membangun sistem keseimbangan ekonomi-sosial-lingkungan, Indonesia akan terjebak dalam kutukan sumber daya versi baru,” ujar Dr. Faisal Basri, ekonom senior UI, pada tahun lalu.
Sebagai langkah awal, tata kelola izin tambang harus diperbaiki agar tak hanya dikuasai kelompok elite.
Pengawasan limbah, penataan ulang PLTU captive, serta keterlibatan masyarakat lokal dalam perumusan AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) perlu ditingkatkan agar proyek hilirisasi benar-benar inklusif.
Kritik terhadap “nikel kotor” bukan semata propaganda asing, tetapi refleksi atas ketakutan kolektif bahwa Indonesia mengulangi sejarah kelam masa kolonial — hanya dengan wajah baru.
Narasi Bahlil tentang standar ganda internasional ada benarnya, namun tak bisa jadi dalih untuk mengabaikan kerusakan lingkungan.
Hilirisasi harus menjadi momentum membangun kedaulatan ekonomi sekaligus memastikan generasi mendatang tak mewarisi tanah tercemar, air rusak, dan konflik sosial.
Kompromi antara pembangunan, keadilan sosial, dan keberlanjutan bukan sekadar slogan, melainkan agenda mendesak di tengah ledakan permintaan global untuk logam kritis.
Seperti diingatkan Ahmad Maryudi, “Indonesia punya peluang emas menjadi pemimpin industri baterai dunia, tapi hanya kalau kita mau belajar dari sejarah eksploitasi — dan tidak mengulanginya.”
0Komentar