TNI menuding gerakan tolak RUU TNI dibiayai pihak tertentu. Benarkah gerakan sipil dibayar? Ini fakta, data, dan kontroversi yang mengikutinya. (Ryan Suherlan/NurPhoto)

Pada pertengahan 2025, revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) telah memicu salah satu gelombang protes terbesar sejak reformasi. Petisi daring bertajuk "Tolak Kembalinya Dwifungsi melalui Revisi UU TNI" mengumpulkan lebih dari 26.000 tanda tangan hanya dalam hitungan hari. 

Tagar #IndonesiaGelap dan #TolakRUUTNI mendominasi platform X (dulu Twitter), mencapai 14 juta cuitan dalam 24 jam pada Februari 2025.

Namun di balik euforia digital dan demonstrasi fisik, muncul tuduhan serius: bahwa gerakan sipil ini “dibayar” dan dimanipulasi oleh aktor tersembunyi. 

TNI menyebut adanya aliran dana miliaran rupiah, menuduh seorang pengacara, Marcella Santoso, sebagai salah satu penyokongnya. 

Tuduhan ini tidak hanya mengalihkan perhatian dari substansi revisi UU, tapi juga mengguncang sendi kebebasan sipil dan ruang demokrasi Indonesia yang telah diperjuangkan sejak 1998.


Mengapa RUU TNI Kontroversial?

Revisi UU TNI, yang disahkan pada 20 Maret 2025, memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif, dari 10 menjadi 14 institusi. 

Termasuk dalam daftar baru adalah Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kritik terhadap revisi ini datang dari berbagai kalangan: akademisi, mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga hak asasi manusia.

"Revisi ini berisiko menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, memperkuat peran militer dalam urusan sipil yang seharusnya menjadi domain warga sipil," ujar Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

Selain itu, perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) untuk urusan narkotika, siber, dan konflik horizontal dinilai tumpang tindih dengan tugas Polri. 

YLBHI menyebut perluasan ini “membuka celah penyalahgunaan wewenang dan melemahkan akuntabilitas militer di ruang sipil.”

Proses legislasi juga menjadi sorotan. DPR menggelar rapat tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta, tanpa publikasi resmi draf revisi. 

Komnas HAM telah meminta penundaan pengesahan karena tidak melibatkan partisipasi publik yang memadai, namun permintaan itu diabaikan oleh parlemen.


#IndonesiaGelap: Dari Tagar ke Jalanan

Tagar #IndonesiaGelap pertama kali muncul pada awal Februari 2025 dan segera viral. Data dari Jangkara menunjukkan lebih dari 64.000 komentar muncul di X, dengan 81% di antaranya bernada negatif terhadap pemerintah. Demonstrasi pun meluas:

Di Surabaya, pada 17 Februari, dua mahasiswa ditangkap saat aksi ricuh.

Di Yogyakarta, ribuan peserta melumpuhkan Malioboro.

Di Malang, puluhan terluka pada 23-24 Maret.

Di Jakarta, massa mengepung DPR pada 19-20 Maret.

Demonstran mengenakan pakaian serba hitam, membawa spanduk bertuliskan “Supremasi Sipil Harga Mati” dan “Stop Dwifungsi Berkedok Reformasi”

Gelombang ini menjadi bentuk penolakan terhadap dominasi militer dalam kehidupan sipil yang mengingatkan pada trauma era Orde Baru.


Tuduhan Dana Gelap: Narasi Balik dari Militer

Pada 17 Juni 2025, publik dikejutkan dengan rilis video permintaan maaf dari pengacara Marcella Santoso yang disebut terlibat dalam penyebaran narasi negatif mengenai pemerintah. 

TNI mengklaim telah menemukan aliran dana sebesar IDR 500 juta dan USD 2 juta (sekitar Rp 32 miliar) kepada buzzer, LSM, dan yayasan. 

Kapuspen TNI, Mayjen Kristomei Sianturi, menyebut hal ini sebagai bukti bahwa aksi penolakan terhadap revisi UU TNI “bukan murni gerakan rakyat.”

Namun sehari kemudian, Marcella membantah keterlibatan dalam isu RUU TNI, dan menyatakan dana yang ia kelola hanya terkait dengan kampanye melawan Kejagung dalam kasus korupsi impor gula dan CPO. “Indonesia Gelap bukan saya yang bikin,” ujarnya.

Kejaksaan Agung mengonfirmasi penyelidikan dana yang mengalir ke lembaga-lembaga sipil, namun belum ada dakwaan resmi hingga kini. 

Yang muncul justru efek ketakutan: aktivis mulai diintimidasi, kantor KontraS diawasi, dan jurnalis mendapat ancaman digital.


Kritik Keras dari Masyarakat Sipil

Tuduhan ini mendapat respons tajam dari organisasi masyarakat sipil. YLBHI menyebut publikasi video Marcella sebagai “pembunuhan karakter.” Amnesty menilai tindakan ini membahayakan ruang sipil dan kebebasan berekspresi.

“Penolakan RUU TNI adalah bagian sah dari diskursus publik,” tegas Edi Santoso, pakar komunikasi dari Universitas Jenderal Soedirman. “Menuduh semua kritik sebagai bayaran justru menunjukkan paranoid kekuasaan.”

Sementara Alissa Wahid, Koordinator Jaringan Gusdurian, memperingatkan bahwa revisi ini "berpotensi melemahkan supremasi sipil dan menghidupkan kembali kekuatan militer yang tak akuntabel.”

Yance Arizona, dosen hukum UGM, menilai langkah TNI sebagai bentuk ketidaksiapan menghadapi kritik. “Jika lembaga sebesar TNI terganggu oleh suara sipil, itu artinya demokrasi kita masih rapuh,” ujarnya.

Ironisnya, di tengah tuduhan terhadap gerakan penolak, muncul video lain pada 22 Maret 2025 yang menunjukkan 300 massa “pro-RUU TNI” mengaku dibayar Rp 50.000 per orang untuk hadir. 

Video tersebut viral dan memperkuat argumen bahwa bukan hanya gerakan penolak yang mungkin dikendalikan, tetapi juga pendukung.


Jalan Buntu di Mahkamah Konstitusi

Pada 5 Juni 2025, Mahkamah Konstitusi menolak lima gugatan terhadap UU TNI, termasuk dari aliansi mahasiswa. MK menilai para pemohon tidak memiliki legal standing

Putusan ini tidak meredakan amarah publik. Aksi-aksi terus berlangsung, terutama oleh BEM SI dan koalisi masyarakat sipil, yang menuntut judicial review ulang dan pembatalan revisi.

Satria Unggul Wicaksana, pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, menyebut, “Jika UU ini disahkan tanpa perlawanan, maka kampus, pers, dan ruang akademik akan menjadi target berikutnya dari perluasan kontrol negara.”


Menjaga Demokrasi di Titik Balik

Polemik RUU TNI telah menjadi lebih dari sekadar debat tentang isi undang-undang. Ini adalah krisis kepercayaan antara rakyat dan negara. 

Ketika kritik dianggap sebagai serangan, ketika protes dianggap sebagai makar, maka demokrasi sedang berada dalam bahaya.

Langkah ke depan harus melibatkan:

Transparansi Legislasi: Semua pembahasan UU harus terbuka dan partisipatif.

Independensi Penegak Hukum: Kejaksaan tidak boleh menjadi alat politik.

Perlindungan Ruang Sipil: Aktivis, akademisi, dan jurnalis harus dilindungi dari intimidasi.

Pendidikan Demokrasi: Publik harus dibekali kemampuan literasi hukum dan politik.

Revisi UU TNI telah membuka luka lama hubungan sipil dan militer. Tuduhan "gerakan sipil berbayar" bukan hanya pengalihan isu, tapi juga senjata untuk membungkam kritik. 

Ketika suara rakyat dibungkam dengan narasi konspirasi, maka yang terancam bukan hanya kebebasan, tapi fondasi demokrasi itu sendiri.

Di persimpangan ini, Indonesia harus memilih: membiarkan bayang-bayang dwifungsi kembali membungkus kehidupan sipil, atau melangkah maju dengan memperkuat akuntabilitas dan partisipasi publik. Seperti kata Usman Hamid, “Reformasi bukan soal masa lalu, tapi soal kita menjaga masa depan.”