![]() |
Pemerintah batasi bansos hanya 5 tahun bagi warga miskin usia produktif. Upaya dorong kemandirian ekonomi lewat Perintis Berdaya. (Ilustrasi: Apluswire/Robin Santoso) |
Sekitar 24 juta warga Indonesia hidup dalam kemiskinan, dan 3,17 juta di antaranya masuk kategori miskin ekstrem. Tapi mulai 2025, bantuan sosial bagi mereka yang masih tergolong usia produktif dibatasi maksimal lima tahun. Apa dampaknya?
Pada 26 Juni 2025, sebuah pernyataan dari pemerintah mengguncang ruang publik: masyarakat miskin dan miskin ekstrem usia produktif kini hanya bisa menerima bantuan sosial (bansos) maksimal selama lima tahun.
Pernyataan itu disampaikan langsung oleh Leontinus Alpha Edison, Deputi Kemenko PM, dan menjadi bagian dari kebijakan besar yang disebut-sebut sebagai revolusi dalam pendekatan penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
"Kita tidak mau rakyat Indonesia menerima bantuan sosial sepanjang abad," tegas Leontinus dalam konferensi pers di Jakarta.
Kebijakan ini langsung menuai pro dan kontra. Di satu sisi, ada dorongan kuat agar masyarakat mandiri secara ekonomi dan tidak selamanya bergantung pada negara.
Namun di sisi lain, muncul pertanyaan besar: apa yang terjadi jika mereka belum siap lepas dari bantuan itu dalam lima tahun?
Mengapa Ada Batasan Bansos?
Kebijakan ini dilandasi Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 dan bagian dari target ambisius pemerintah: menghapus kemiskinan ekstrem di 2025 dan menurunkan angka kemiskinan nasional dari 8,57% (sekitar 24,06 juta jiwa) menjadi hanya 4,5–5% di 2029.
Menurut data Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono, penduduk miskin ekstrem di Indonesia mencapai 3,17 juta orang.
Mayoritas adalah kepala rumah tangga dengan pendidikan lulusan SD, dan banyak yang masuk kategori usia produktif.
Masalahnya? Bansos selama ini justru terus dinikmati oleh kelompok produktif yang tidak keluar dari garis kemiskinan.
Bahkan 13.133 orang telah menerima Program Keluarga Harapan (PKH) sejak 2013. Artinya, sudah lebih dari satu dekade mereka bergantung pada bansos.
Untuk menyeimbangkan pembatasan bansos ini, pemerintah meluncurkan Program Perintis Berdaya, sebuah inisiatif lintas sektor yang bertujuan mentransformasi penerima bansos produktif menjadi pelaku ekonomi mandiri.
Program ini berdiri di atas empat pilar pemberdayaan:
Berdaya Bersama – pelatihan dan pendampingan UMKM, koperasi, hingga pekerja migran.
Berdaya Berusaha – dukungan inovasi dan akses pasar.
Berdaya Finansial – penyediaan pembiayaan inklusif.
Berdaya Global – ekspansi pasar internasional dan perlindungan pekerja migran.
Implementasinya dimulai di Bandung, dengan berbagai kegiatan seperti Bootcamp Berdaya yang melibatkan Google, Meta, Artisan Professionnel, dan Shopee.
Dalam acara itu, 65 pelaku usaha dilatih langsung untuk memperkuat literasi digital dan akses pasar mereka.
"Kami ingin UMKM Indonesia tidak hanya bertahan, tapi naik kelas hingga menembus pasar global," ujar Muhaimin Iskandar, Menko PM, dalam peluncuran program tersebut.
Tantangan di Lapangan
Namun, jalan menuju kemandirian ekonomi bukan tanpa batu sandungan.
Ketepatan Sasaran: Evaluasi oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menunjukkan 4.386 warga desil 10 (kelompok mampu) justru masih menerima bansos. Sementara itu, 197.517 penerima berasal dari kelompok produktif yang seharusnya bisa diberdayakan, bukan terus dibantu.
Kesiapan Penerima: Mayoritas miskin ekstrem berpendidikan rendah. Banyak dari mereka tinggal di daerah terpencil yang aksesnya terhadap pelatihan, modal, dan pasar sangat terbatas.
Risiko Transisi: Ada potensi gejolak sosial jika penerima bansos diberhentikan tanpa berhasil diberdayakan. Dalam lima tahun, belum tentu semua bisa mandiri—apalagi jika pelatihan tidak sesuai kebutuhan mereka.
"Jika tidak disiapkan dengan matang, kebijakan ini justru bisa memperburuk ketimpangan. Mereka yang belum siap bisa jatuh lebih dalam," kata Dr. Hendra Wirawan, peneliti kebijakan sosial di LIPI.
Namun di lapangan, tidak semua warga merasa siap menjalani transisi dari penerima bantuan ke pelaku usaha mandiri.
"Dulu saya dikasih sembako tiap bulan. Sekarang disuruh usaha, tapi saya enggak ngerti cara jualan online," keluh Sri Wahyuni, warga miskin di Garut yang telah menerima PKH sejak 2015.
Apa yang Harus Dilakukan Selanjutnya?
Untuk memastikan kebijakan ini berhasil dan tidak menciptakan gelombang kemiskinan baru, beberapa langkah direkomendasikan:
Pembaruan Data Sosial: Menggunakan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) dan validasi dari pemerintah daerah agar bansos dan program pemberdayaan tepat sasaran.
Pelatihan Kontekstual: Program pemberdayaan tidak boleh generik. Harus sesuai dengan tingkat pendidikan, potensi lokal, dan kesiapan infrastruktur.
Peningkatan Skala Program: Perintis Berdaya harus menyentuh seluruh provinsi, bukan hanya kota-kota besar. Jika hanya fokus di Bandung, ketimpangan akan melebar.
Monitoring dan Evaluasi Ketat: Harus ada indikator jelas, seperti peningkatan omzet UMKM, pengurangan angka pengangguran, dan transisi sukses dari bansos ke usaha mandiri.
Pemerintah mengambil langkah berani untuk mengakhiri ketergantungan jangka panjang terhadap bantuan sosial, dan mendorong semangat kemandirian ekonomi.
Tapi langkah ini akan berhasil jika dan hanya jika program pemberdayaan seperti Perintis Berdaya benar-benar inklusif, terukur, dan berkelanjutan.
Jika tidak, kebijakan ini justru berisiko menjadi jebakan baru: dari ketergantungan bansos menjadi jebakan kemiskinan struktural.
0Komentar