Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, memberikan keterangan kepada media usai rapat koordinasi penanganan kejahatan lintas negara di Gedung Pemerintah, Bangkok, 23 Juni 2025. Pertemuan ini digelar di tengah memanasnya hubungan dengan Kamboja, menyusul bocornya percakapan telepon antara dirinya dan eks Perdana Menteri Hun Sen, di tengah sengketa perbatasan yang terus memburuk. (Goverment House of Thailand)


 “Satu peluru, satu tubuh, tapi ribuan dampak.” Itulah yang terjadi pada akhir Mei 2025, ketika seorang tentara Kamboja tewas dalam bentrokan singkat dengan pasukan Thailand. Peristiwa berdarah ini seolah menjadi percikan kecil yang menyulut bara konflik yang selama ini terpendam di sepanjang perbatasan dua negara bertetangga.

Dengan panjang garis batas mencapai 817 kilometer, konflik ini kini tidak lagi sebatas perebutan wilayah—tetapi juga melibatkan isu geopolitik, kejahatan transnasional, hingga ketegangan dalam negeri Thailand yang bisa mengguncang kursi kekuasaan perdana menteri.

Pada 28 Mei 2025, peluru melesat di hutan perbatasan Thailand-Kamboja, menewaskan seorang personel Kamboja. Meskipun pertempuran hanya berlangsung singkat, konsekuensinya jauh lebih besar.

Thailand segera menutup seluruh pos pemeriksaan perbatasan darat, menghentikan arus ribuan kendaraan dan pejalan kaki yang bergantung pada perdagangan lintas batas. Tak tinggal diam, Kamboja menangguhkan impor bahan bakar dan gas dari Thailand.

Kedua negara lalu memobilisasi pasukan ke wilayah perbatasan masing-masing. Ketegangan yang dulunya hanya terasa di meja negosiasi kini menjalar ke lapangan terbuka—tempat senjata, bukan diplomasi, yang bicara.


Kejahatan Digital Diam-Diam Jadi Pemicu

Meski narasi resmi menyebutkan konflik wilayah sebagai pemicu, akar persoalan tampaknya lebih dalam. Thailand menuding Kamboja sebagai sarang kejahatan digital lintas negara, khususnya pusat penipuan daring.

Laporan Amnesty International menyebutkan adanya lebih dari 50 pusat penipuan daring beroperasi dari wilayah Kamboja, yang ditengarai melibatkan warga asing dan sistem kerja paksa. 

Pemerintah Kamboja membantah tuduhan tersebut, tetapi hubungan dua negara sudah terlanjur retak.

“Isu kejahatan digital lintas batas telah menjadi bom waktu di Asia Tenggara,” kata Dr. Chalermchai Wiset, peneliti isu keamanan regional dari Chulalongkorn University. “Dan bentrokan ini mungkin hanya permukaannya saja.”


Duel Simbolik Dua Pemimpin

Pada 26 Juni 2025, dua pemimpin besar—Paetongtarn Shinawatra dari Thailand dan Hun Sen dari Kamboja—melakukan kunjungan terpisah ke daerah perbatasan.

Paetongtarn tiba di Aranyaprathet untuk meninjau penanganan kejahatan transnasional, mengenakan pakaian sipil. 

Di sisi lain, Hun Sen tampil di Oddar Meanchey dengan seragam militer penuh, memberi salam kepada pasukan dan menyampaikan pesan keras.

“Kamboja akan mempertahankan kedaulatan kami dengan segala cara,” ujar Hun Sen seperti dikutip dari Khmer Times.

Hari berikutnya, Hun Sen dalam kapasitasnya sebagai Presiden Senat Kamboja, menantang Thailand untuk menyelesaikan konflik di Mahkamah Internasional (ICJ)—sebuah ajakan damai yang tak sepenuhnya damai.

Konflik perbatasan ini bukan hanya ujian diplomatik, tapi juga ancaman politik dalam negeri bagi PM Paetongtarn Shinawatra. 

Bocornya rekaman percakapannya dengan Hun Sen—yang mengkritik militer Thailand sendiri—memicu badai politik.

Pada 18 Juni 2025, Partai Bhumjaithai keluar dari koalisi pemerintahan, dan kini bersiap mengajukan mosi tidak percaya pada 3 Juli 2025. 

Mosi ini mungkin saja menggoyang posisi Shinawatra, tergantung pada bagaimana fraksi-fraksi parlemen lainnya bersikap.

Tak hanya itu, ia juga menghadapi penyelidikan hukum oleh Mahkamah Konstitusi dan komisi anti-korupsi nasional. Protes jalanan dijadwalkan meledak pada 28 Juni 2025, menambah tekanan dari bawah.


Proyek Infrastruktur dan Diplomasi Sebagai Peredam

Di tengah badai, pemerintah Thailand menyetujui proyek infrastruktur senilai $3,5 miliar sebagai upaya menenangkan pasar dan masyarakat. 

Sementara itu, tekanan internasional meningkat agar kedua negara menyelesaikan sengketa secara damai.

“Jika konflik ini berubah menjadi krisis bersenjata, dampaknya bisa menyebar ke kawasan Mekong secara luas,” ujar Sopheap Oung, analis hubungan internasional dari Royal University of Phnom Penh. “Kawasan ini tidak siap untuk satu lagi konflik regional.”

Apakah konflik ini akan berubah menjadi perang terbuka? Sejauh ini, sinyal militer tetap menjadi simbol dominan, tetapi saluran diplomatik masih terbuka. 

Tantangannya adalah bagaimana kedua negara bisa menahan ego nasionalisme dan menyelesaikan isu substansial seperti kejahatan transnasional, bukan hanya sengketa wilayah.

Konflik Thailand-Kamboja kini lebih dari sekadar ketegangan perbatasan. Ini adalah kristalisasi dari masalah keamanan digital, rivalitas politik, dan nasionalisme yang tak terkendali. 

Dengan ancaman mosi tidak percaya di Thailand dan tekanan militer dari Kamboja, kawasan ini berada di titik genting sejarahnya.