![]() |
Investasi Danantara di proyek hilirisasi rumput laut menandai peluang strategis bagi Indonesia mengembangkan industri maritim berkelanjutan. (ANTARA FOTO/Aji Styawan) |
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan potensi lahan budidaya rumput laut seluas 12 juta hektare, tengah mengambil langkah besar dalam mentransformasi sektor maritim. Lewat proyek hilirisasi rumput laut, pemerintah bersama investor seperti Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara mendorong pengolahan rumput laut menjadi produk bernilai tinggi.
Produk-produk ini mencakup bahan bakar pesawat ramah lingkungan (Sustainable Aviation Fuel/SAF), biostimulan, plastik ramah lingkungan, hingga produk kesehatan.
Proyek ini tak hanya menjanjikan nilai ekonomi besar, tapi juga mendukung tujuan global untuk keberlanjutan lingkungan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, menyampaikan pada 12 Juni 2025 di Jakarta Convention Center bahwa hilirisasi rumput laut membuka peluang ekspor yang besar.
Salah satu produk utama adalah SAF. Indonesia bahkan berpotensi menyuplai 10% kebutuhan global SAF.
Menurut Dewan Energi Nasional (DEN), 1 gram rumput laut bisa menghasilkan 0,281 gram etanol. Dari 1 ton rumput laut kering, bisa dihasilkan 356 liter etanol yang cukup untuk memproduksi hingga 4 miliar liter SAF setiap tahun—angka ini setara 10% dari kebutuhan dunia.
Selain SAF, rumput laut juga bisa diolah menjadi:
Biostimulan: pupuk organik untuk mendukung pertanian berkelanjutan
Plastik biologis: alternatif ramah lingkungan untuk mengurangi limbah plastik
Makanan sehat dan nutraseutikal: bahan pangan berbasis protein
Produk tekstil dan farmasi: bahan kain dan suplemen kesehatan
Saat ini baru sekitar 102.000 hektare dari 12 juta hektare lahan budidaya rumput laut yang dimanfaatkan. Dari total produksi, 66,61% masih diekspor sebagai bahan mentah, sementara 33,39% diolah menjadi produk seperti karagenan dan agar-agar.
Melalui hilirisasi, nilai tambah rumput laut bisa meningkat hingga 13 kali lipat, sekaligus membuka peluang ekonomi baru bagi petani dan pelaku industri.
Proyek Percontohan di Teluk Ekas
Sebagai langkah awal, pemerintah memulai proyek percontohan (pilot project) di Teluk Ekas, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Investasi yang digelontorkan mencapai USD 2–2,5 juta untuk lahan seluas 100 hektare.
![]() |
Nelayan saat memanen rumput laut di Pesisir Teluk Ekas Buana, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur. (Foto: Istimewa). |
Proyek ini ditargetkan mampu menghasilkan 10.000–15.000 ton rumput laut basah per tahun, yang bisa dikonversi menjadi biostimulan untuk 1–2 juta hektare lahan pertanian.
Selain mendukung sektor pertanian, proyek ini juga menciptakan 100–150 lapangan kerja langsung bagi masyarakat sekitar. Wilayah lain seperti Wakatobi, Buleleng, Maluku Tenggara, dan Rote Ndao juga dikembangkan sebagai kawasan hilirisasi rumput laut.
Teknologi modern dan mekanisasi diterapkan untuk meningkatkan efisiensi produksi. Rumput laut sendiri merupakan komoditas yang ramah lingkungan karena mampu menyerap karbon secara signifikan, sehingga ikut berperan dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
Kolaborasi dan Investasi Lintas Negara
Keberhasilan proyek ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak, baik di dalam negeri maupun luar negeri. BPI Danantara menjadi salah satu investor utama, dan saat ini tengah mengkaji lebih lanjut peluang investasi dalam infrastruktur dan teknologi pengolahan.
Indonesia juga menjalin kerja sama dengan berbagai institusi internasional. Universitas Berkeley dan mitra dari Tiongkok terlibat dalam studi teknologi di Buleleng dan Lombok.
Kerja sama juga dilakukan dengan Indian Institute of Technology untuk mengembangkan pupuk organik berbasis rumput laut.
Perusahaan seperti Sea6 Energy dari India, Prospera, serta MTCRC (Pusat Penelitian dan Kerja Sama Teknologi Kelautan) turut mendukung pengembangan teknologi dan riset.
Lembaga pemerintah seperti BRIN, KKP, dan Kementerian Perindustrian juga terlibat dalam penyediaan benih unggul, pemetaan lahan budidaya, dan penyederhanaan izin usaha.
Pilihan Editor:
Saat ini, pemerintah tengah menyusun Rencana Aksi Nasional Industri Rumput Laut Terpadu 2025–2029 sebagai panduan pengembangan industri secara menyeluruh.
Dampak Ekonomi dan Lingkungan
Proyek hilirisasi rumput laut membawa dua manfaat utama: ekonomi dan lingkungan. Dari sisi ekonomi, proyek ini mendorong peningkatan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, serta memperkuat daya saing Indonesia di pasar global.
![]() |
Potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia menumbuhkan optimisme pengembangan industrialisasi rumput laut. (Foto: suaratangerang.com) |
Contohnya, proyek di Teluk Ekas menunjukkan bahwa investasi dalam skala kecil pun dapat memberi dampak besar bagi masyarakat lokal.
Dari sisi lingkungan, rumput laut adalah solusi berkelanjutan. Budidayanya tidak memerlukan lahan pertanian atau air tawar, dan mampu menyerap karbon dioksida secara efisien.
Produk seperti SAF dan plastik biologis juga membantu mengurangi emisi karbon dan sampah plastik, sesuai dengan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris dan target Net Zero Emission.
Tantangan dan Upaya Penyelesaian
Meski menjanjikan, pengembangan industri rumput laut masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti:
• Rendahnya pemanfaatan lahan budidaya
• Ketergantungan pada ekspor bahan mentah
• Rumitnya proses perizinan
Untuk mengatasi ini, pemerintah telah melakukan berbagai langkah strategis:
• Menyederhanakan izin usaha agar lebih banyak investor tertarik
• Melakukan penelitian benih unggul melalui BRIN dan KKP
• Mendorong kerja sama dengan sektor swasta agar proses produksi lebih efisien
Hilirisasi rumput laut adalah langkah nyata dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai negara maritim yang maju dan berkelanjutan. Dengan sinergi antara pemerintah, investor, dan mitra global, Indonesia berpeluang menjadi pemain utama dalam industri rumput laut dunia.
Proyek percontohan di Teluk Ekas dan daerah lainnya akan menjadi fondasi pengembangan skala nasional. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga tentang peran Indonesia dalam menjaga lingkungan global.
Seperti dikatakan Luhut Binsar Panjaitan, “Tinggal sekarang menunggu hasil studi yang dibuat oleh Berkeley University dengan Indonesia di Buleleng dan di Lombok, dan juga dengan pihak China.”
Dengan arah yang jelas dan kerja sama yang kuat, Indonesia siap memanen potensi besar dari “emas hijau” yang tersebar di lautan nusantara.
0Komentar