![]() |
Mulai Juli 2025, pelapak e-commerce dengan omzet Rp 500 juta–Rp 4,8 miliar akan dikenai pajak 0,5%. Aturan ini berlaku di Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, dan platform lainnya. (Foto: Shutterstock) |
Mulai Juli 2025, pelapak di e-commerce dengan omzet antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun akan dikenai pajak final sebesar 0,5%. Kebijakan ini akan berlaku di hampir semua platform besar seperti Tokopedia, TikTok Shop, Shopee, Lazada, Blibli, hingga Bukalapak.
Pemerintah mewajibkan platform memotong langsung pajak dari pendapatan penjual, lalu menyetorkannya ke kas negara.
Langkah ini diambil sebagai bagian dari strategi Kementerian Keuangan untuk meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan kesetaraan antara toko online dan fisik.
Aturan baru ini menargetkan jutaan pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang berjualan secara daring. Selama ini, mereka memang diwajibkan membayar pajak final 0,5%, namun tingkat kepatuhannya rendah.
Dengan sistem pemotongan otomatis oleh platform, pemerintah berharap celah ini bisa ditutup. Menurut sumber industri yang dikutip Reuters, pengumuman resmi aturan ini kemungkinan dilakukan bulan depan.
“Ini adalah bagian dari upaya memformalkan ekonomi digital yang sudah sangat besar perannya dalam perekonomian nasional,” kata seorang pejabat di lingkungan Kemenkeu.
Ia menyebut nilai transaksi bruto (gross merchandise value/GMV) sektor e-commerce Indonesia mencapai US$65 miliar atau sekitar Rp 1.059 triliun pada 2023, dan diperkirakan melonjak ke US$150 miliar (Rp 2.444 triliun) pada 2030.
Namun, kebijakan ini tidak lepas dari kontroversi. Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) mengingatkan bahwa langkah ini bisa menjadi beban tambahan bagi pelapak.
Mereka khawatir akan terjadi eksodus pelaku usaha dari platform online karena kewajiban pajak yang otomatis dipotong dan pelaporan yang lebih rumit.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Pada 2018, kebijakan serupa sempat diberlakukan namun dibatalkan hanya tiga bulan setelahnya karena tekanan dari pelaku industri.
“Kami mengkhawatirkan dampak administratif dan psikologis terhadap jutaan UMKM yang baru saja pulih dari dampak pandemi dan kini harus menghadapi kewajiban baru,” ujar perwakilan idEA.
Ia menambahkan, meski tarifnya relatif kecil, beban administratif serta kekhawatiran dipantau fiskus bisa mendorong pelapak kembali ke jalur informal, justru bertolak belakang dari niat formalitas ekonomi digital.
Data dari Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan negara pada Januari-Mei 2025 turun 11,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, menjadi Rp 995,3 triliun.
Anjloknya harga komoditas, lemahnya pertumbuhan ekonomi, serta gangguan teknis dalam sistem pemungutan pajak digital seperti CORETAX, menjadi beberapa penyebab.
Oleh karena itu, sektor e-commerce yang terus bertumbuh menjadi incaran baru pemerintah untuk menambal potensi kekurangan penerimaan.
Sejumlah pakar menilai wajar bila pemerintah mengejar penerimaan dari sektor digital, namun implementasinya perlu hati-hati.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, menilai kebijakan ini bisa efektif jika disertai insentif.
“Pajak 0,5% bukan angka besar, tapi akan terasa bila tidak dibarengi fasilitas seperti pelatihan, insentif digitalisasi, atau simplifikasi administrasi. Tanpa itu, UMKM bisa memilih keluar dari platform dan berjualan offline,” jelasnya.
Pemerintah sendiri diketahui baru saja memperpanjang insentif pajak final 0,5% bagi UMKM hingga akhir 2025.
Namun belum ada kejelasan apakah insentif tersebut akan berlaku untuk pelapak yang kini akan dipotong langsung oleh platform.
Jika aturan ini berjalan sesuai rencana, maka per Juli 2025, semua transaksi pelapak yang mencapai ambang batas omzet akan otomatis dipotong 0,5% sebelum dana masuk ke rekening mereka.
Platform seperti Tokopedia dan Shopee diwajibkan bertindak sebagai pemungut pajak, dengan tanggung jawab pelaporan dan penyetoran ke otoritas pajak.
“Pemerintah harus menghindari jebakan regulasi yang niatnya baik, tapi implementasinya kontraproduktif,” tegas Nailul.
Ia menyarankan agar platform diberikan masa transisi, dan pelapak diberi edukasi tentang manfaat formalitas pajak, agar tidak muncul resistensi seperti pada 2018 lalu.
Dengan pertumbuhan sektor e-commerce yang diproyeksikan melampaui Rp 2.400 triliun dalam lima tahun ke depan, langkah pemerintah ini memang krusial.
Namun, keseimbangan antara optimalisasi penerimaan dan keberlanjutan sektor UMKM digital akan sangat menentukan apakah kebijakan ini berhasil atau justru menjadi bumerang ekonomi digital Indonesia.
0Komentar