PM Israel Netanyahu klaim sukses hentikan program nuklir Iran usai gencatan senjata 24 Juni 2025. Namun, laporan intelijen AS menyebut nuklir Iran hanya tertunda beberapa bulan, bukan dihentikan. (Foto: gov.il)

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan “kemenangan bersejarah” atas Iran pada Selasa (24/6/2025) usai gencatan senjata diumumkan. Ia menyebut operasi militer Israel telah menghentikan program nuklir Iran dan memastikan Teheran tidak akan memiliki senjata nuklir. 

Tapi laporan intelijen AS justru menunjukkan sebaliknya—serangan itu disebut hanya menunda program nuklir Iran selama beberapa bulan, tidak menghancurkannya.

Pernyataan Netanyahu yang disampaikan lewat pidato resmi dan unggahan di media sosial menuai sorotan tajam. 

“Iran tidak akan memiliki senjata nuklir. Kami telah menghentikan mereka,” ujarnya seperti dikutip dari Arab News. Ia juga memuji dukungan Presiden AS Donald Trump yang disebut “membuat perbedaan strategis.”

Namun laporan rahasia dari Defense Intelligence Agency (DIA) AS yang bocor ke publik dan dikonfirmasi oleh Anadolu Agency menilai hasil serangan tidak seperti yang diklaim. 

Menurut laporan tersebut, fasilitas nuklir Iran masih utuh di bawah tanah, hanya akses masuk yang ditutup sebagian. Sementara, persediaan uranium dan mesin sentrifugal Iran disebut tidak sepenuhnya hancur.

Kondisi ini memicu perdebatan tajam antara kubu Netanyahu dan otoritas intelijen AS. Bahkan, juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt menyebut laporan tersebut “salah besar” dan menuduhnya sebagai “usaha mendiskreditkan Trump dan pasukan AS.”

Konflik Israel-Iran kali ini berlangsung selama 12 hari sejak 13 Juni 2025 dan disebut sebagai eskalasi paling terbuka dalam sejarah konflik bayangan kedua negara. 

Israel meluncurkan serangan udara bertubi-tubi ke lokasi yang diklaim sebagai fasilitas nuklir dan militer Iran, termasuk membunuh ilmuwan dan pejabat militer senior. 

Iran membalas dengan rentetan rudal ke wilayah Israel dan pangkalan AS di Timur Tengah. Puncaknya, Trump menyetujui penggunaan bom penembus bunker untuk menyerang lokasi nuklir bawah tanah Iran.

Meski gencatan senjata diumumkan pada 24 Juni dan disambut dengan hati-hati oleh komunitas internasional, ketegangan belum mereda. 

Arab Saudi dan Uni Eropa menyambut baik kesepakatan, tetapi Presiden Prancis Emmanuel Macron memperingatkan risiko Iran diam-diam kembali memperkaya uranium. 

Di dalam Israel, beberapa kelompok oposisi dan keluarga sandera juga menyerukan agar gencatan senjata meluas ke Gaza.

Dampak kemanusiaan dari konflik ini sangat besar. Data Kementerian Kesehatan Iran menyebutkan 610 warga sipil tewas dan lebih dari 4.700 lainnya luka-luka akibat serangan Israel. 

Di tengah euforia kemenangan versi Netanyahu, sebagian masyarakat Israel justru menyuarakan kelelahan dan keinginan untuk damai. 

“Kami hanya ingin hidup tenang, untuk kami, untuk Iran, untuk Palestina, untuk semua,” kata Tammy Shel, warga Tel Aviv.

Sementara di Iran, skeptisisme mendalam masih terasa. “Saya tidak tahu soal gencatan senjata itu. Tapi jujur saja, saya tidak yakin situasinya akan kembali normal,” kata Amir, 28 tahun, yang mengungsi ke pesisir Laut Kaspia, dikutip dari Arab News.

Sejumlah analis memandang klaim Netanyahu lebih bersifat politis. “Ini bagian dari narasi kemenangan yang ingin dikontrol penuh oleh Israel, terutama menjelang pemilu dan di tengah tekanan domestik,” ujar seorang pengamat Timur Tengah yang tak mau disebut namanya di platform X. 

Di sisi lain, media sosial juga menunjukkan perbedaan penilaian. Akun @PMaxiums menulis bahwa intelijen Israel menilai program nuklir Iran mundur “beberapa tahun,” tapi tidak hancur total. 

Sementara akun @Real_Politik101 memperingatkan potensi propaganda berlebihan oleh Netanyahu untuk mendongkrak citra.

Apa langkah selanjutnya? Meski gencatan senjata diberlakukan, baik Israel maupun Iran sama-sama menyatakan hanya akan mematuhinya jika pihak lain juga melakukannya. 

Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, bahkan menyampaikan kepada Menlu AS bahwa Israel siap melanjutkan serangan jika diperlukan.

Dengan ketegangan yang masih tinggi dan laporan intelijen yang saling bertentangan, pertanyaan besarnya kini: apakah ini benar-benar akhir dari ambisi nuklir Iran, atau hanya jeda singkat sebelum konfrontasi berikutnya dimulai?