Liga Arab mengecam serangan udara Amerika Serikat ke Iran pada 20 Juni 2025. Aksi ini dinilai berisiko memicu efek domino konflik di kawasan Timur Tengah dan mengganggu stabilitas global. (Foto: Anadolu Agency)

Amerika Serikat kembali jadi sorotan setelah serangan udaranya ke wilayah Iran pada 20 Juni 2025 menuai kecaman keras dari Liga Arab. Aksi militer tersebut dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap kedaulatan negara, dan dikhawatirkan memicu instabilitas lebih luas di kawasan Timur Tengah yang kini sudah panas akibat konflik berkelanjutan di Gaza dan ketegangan antara Israel dan Iran.

Serangan udara itu disebut menghantam sejumlah fasilitas militer di provinsi Isfahan dan Kermanshah, dan diklaim sebagai balasan atas dugaan serangan siber Iran terhadap sistem pertahanan AS di Timur Tengah. 

Namun, Liga Arab menilai alasan tersebut tidak membenarkan intervensi sepihak yang berpotensi menyeret negara-negara kawasan dalam konflik terbuka.

"Ini merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap Piagam PBB dan prinsip non-intervensi," tegas Sekjen Liga Arab Ahmed Aboul Gheit dalam pernyataan resminya yang diterbitkan setelah pertemuan darurat di Kairo, Sabtu (21/6/2025). 

Ia menambahkan bahwa tindakan militer tanpa mandat Dewan Keamanan PBB merupakan "aksi jorok asing" yang bisa memantik efek domino konflik regional.

Serangan AS ke Iran ini terjadi hanya sepekan setelah Israel melakukan aksi militer serupa ke wilayah Iran pada 13 Juni, yang juga menuai kritik global. 

Beberapa analis menilai, langkah AS memperkuat dugaan adanya koordinasi tak langsung antara Tel Aviv dan Washington untuk menekan Teheran lewat jalur militer, di luar kerangka diplomatik yang selama ini diupayakan komunitas internasional.

Efek langsung dari serangan ini tak hanya dirasakan secara geopolitik, tetapi juga berdampak ke pasar energi global. 

Harga minyak mentah Brent sempat melonjak 4,7% ke level US$ 93 per barel dalam perdagangan Jumat malam (21/6), tertinggi sejak awal Mei 2025. 

Pasar merespons kekhawatiran terganggunya pasokan dari Teluk Persia jika Iran memutuskan membalas serangan.

Ekonom senior dari Center for Strategic Energy Studies, Dr. Leila Moussavi, menyebut bahwa insiden ini memperbesar risiko disrupsi rantai pasok energi global. 

"Setiap serangan terhadap Iran bisa berdampak pada jalur pelayaran minyak di Selat Hormuz, yang menyumbang 20% dari pasokan minyak dunia. Ini bukan cuma urusan politik regional, tapi krisis energi potensial," ujarnya.

Selain pasar minyak, mata uang negara-negara Timur Tengah seperti rial Iran dan pound Mesir juga mengalami tekanan. 

Analis valuta asing memperingatkan bahwa volatilitas bisa meningkat jika situasi tidak segera diredakan lewat jalur diplomatik.

Liga Arab menyerukan kepada Dewan Keamanan PBB untuk segera mengadakan sidang darurat dan menekan AS agar menghentikan aksi militer sepihak. 

Mereka juga mendesak dilanjutkannya negosiasi damai terkait program nuklir Iran yang selama ini mandek sejak keluarnya AS dari JCPOA pada 2018.

"Alih-alih menambah serangan, seharusnya AS kembali ke meja perundingan. Solusi tidak bisa ditemukan di medan tempur," kata Duta Besar Aljazair untuk PBB, Samir Bouguerra, yang juga menjadi juru bicara dalam forum Liga Arab.

Sementara itu, Iran melalui Kementerian Luar Negerinya menyatakan bahwa pihaknya "menyimpan hak untuk membalas dengan cara dan waktu yang dianggap sesuai," namun tetap menyebut bahwa pihaknya "tidak mencari eskalasi."

Situasi ini memperlihatkan betapa rentannya kawasan terhadap konflik horizontal. Beberapa pengamat khawatir bahwa Iran dapat mengaktifkan jaringan proksinya di Irak, Suriah, hingga Yaman untuk merespons serangan tersebut, yang dapat memicu ketegangan multipihak.

Sejumlah pihak menyerukan gencatan senjata menyeluruh dan inisiatif diplomatik baru yang melibatkan kekuatan regional dan global. 

Analis dari Middle East Institute, Jonathan Levine, menyebut bahwa tanpa intervensi diplomatik yang serius, kawasan berisiko masuk ke spiral konflik berkepanjangan.

"Jika tidak dihentikan sekarang, kita bisa melihat perang regional skala penuh antara blok pro-Iran dan pro-AS/Israel. Ini bukan hanya perang negara, tapi konflik yang melibatkan banyak aktor non-negara dengan konsekuensi tidak terprediksi," tegas Levine.

Dengan ketegangan memuncak, sorotan kini mengarah ke Washington. Akankah AS meredakan ketegangan atau justru melanjutkan jalur militer? Dunia menanti langkah selanjutnya.