Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memuji serangan AS ke fasilitas nuklir Iran dan menyebut keputusan Trump sebagai momen bersejarah dunia. (REUTERS/Nir Elias)

Pada malam yang disebutnya sebagai “momen bersejarah,” Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan pujian penuh kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump atas serangan militer ke fasilitas nuklir utama Iran. 

Serangan tersebut dilakukan pada 22 Juni 2025, hanya sembilan hari setelah Israel memulai "Operasi Singa Bangkit" terhadap Iran — menandai titik balik dalam konflik yang kini menjadi salah satu krisis geopolitik paling serius di Timur Tengah dalam satu dekade terakhir.

“Presiden Trump dan saya sering berkata: ‘Perdamaian melalui kekuatan.’ Pertama datang kekuatan, lalu datang perdamaian. 

Dan malam ini, Donald Trump dan Amerika Serikat bertindak dengan sangat kuat,” ujar Netanyahu dalam pidato videonya yang disiarkan secara luas pada malam serangan tersebut.

Baginya, keputusan Trump untuk membom tiga fasilitas nuklir utama Iran — Fordow, Natanz, dan Esfahan — bukan sekadar tindakan militer. 

Ia menyebutnya sebagai langkah yang "akan mengubah sejarah," menunjukkan aliansi erat antara kedua negara dan filosofi bersama yang mendasari pendekatan mereka terhadap ancaman nuklir dari Teheran.

Netanyahu bahkan menyebut tindakan Amerika Serikat sebagai pencapaian yang “tidak tertandingi,” menandakan bahwa dalam pandangannya, Washington telah melampaui peran militer Israel sendiri dalam mencegah ambisi nuklir Iran.


Perang yang Dimulai dari Kecurigaan

Ketegangan antara Israel dan Iran telah berlangsung selama bertahun-tahun, namun pecah menjadi perang terbuka pada 13 Juni 2025 ketika Israel memulai serangan terhadap situs nuklir Iran dan membunuh sejumlah jenderal serta ilmuwan nuklirnya. 

Operasi itu, yang dinamai “Rising Lion” atau “Singa Bangkit,” didasarkan pada keyakinan bahwa Iran telah mencapai ambang pengembangan senjata nuklir.

Iran menanggapi dengan meluncurkan lebih dari 450 rudal dan 1.000 drone ke wilayah Israel. Serangan tersebut menewaskan sedikitnya 24 orang di Israel dan memperburuk ketegangan regional secara dramatis.

Di tengah tekanan internasional dan diskusi diplomatik yang buntu, Presiden Trump — yang saat itu awalnya menyatakan akan memutuskan dalam dua minggu apakah AS akan turut campur — akhirnya memilih untuk bertindak militer.


Serangan yang Mengguncang Fasilitas Nuklir Iran

Serangan Amerika dilakukan secara terkoordinasi dan dalam skala besar. Tiga pesawat B-2 menjatuhkan enam bom penghancur bunker GBU-57 ke fasilitas Fordow yang terkubur ratusan kaki di bawah tanah. 

Sementara itu, 30 rudal Tomahawk diluncurkan ke Natanz dan Esfahan dari kapal selam AS di wilayah Teluk.

Trump mengklaim bahwa fasilitas-fasilitas tersebut “hancur total.” Dalam unggahan di platform Truth Social, ia menulis: “Sejumlah besar BOM dijatuhkan di lokasi utama, Fordow. Semua pesawat dalam perjalanan pulang dengan selamat... SEKARANG WAKTUNYA UNTUK PERDAMAIAN!”

Namun, Iran membantah klaim tersebut. Pemerintah Iran menyatakan bahwa kerusakan di Fordow “terbatas,” dan bertekad untuk melanjutkan program nuklir mereka. 

Organisasi Energi Atom Iran menyebut serangan tersebut sebagai “pelanggaran serius” terhadap hukum internasional.

“Peristiwa pagi ini sangat memalukan dan akan memiliki konsekuensi yang kekal,” tulis Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, dalam unggahan di platform X (dulu Twitter).

Ancaman balasan dari Iran pun muncul segera. Seorang komentator TV pemerintah menyatakan bahwa “setiap warga atau anggota militer AS di kawasan ini adalah target yang sah.” 

Retorika tersebut menunjukkan bahwa meskipun serangan itu menciptakan dampak militer, ia juga memperbesar risiko eskalasi yang dapat menyebar ke luar perbatasan Iran.


Dampak Langsung terhadap Warga dan Kawasan

Konflik yang tengah berlangsung telah memakan banyak korban. Menurut data dari kelompok HAM Iran yang berbasis di Washington, lebih dari 600 orang tewas di Iran sejak serangan Israel dimulai, sementara data resmi dari Kementerian Kesehatan Iran mencatat 430 kematian dan lebih dari 3.500 luka-luka. Di pihak Israel, 24 orang dilaporkan tewas akibat serangan balasan Iran.

Meski serangan AS tidak langsung menyebabkan korban sipil, namun dampaknya terhadap stabilitas regional sangat signifikan. 

Ketegangan meningkat di Lebanon dan Irak, tempat kelompok pro-Iran mulai memperkuat posisi mereka. Selat Hormuz — jalur penting ekspor minyak global — juga berada dalam ancaman gangguan.


Apa Kata Pengamat?

Dr. Narges Tavassolian, pengamat hubungan internasional dari Universitas Sorbonne, menyatakan bahwa “reaksi Israel yang mengagungkan serangan AS menunjukkan keinginan kuat untuk menciptakan deterensi maksimal terhadap Iran.”

Namun, ia juga mengingatkan bahwa pendekatan militer ini bisa jadi kontraproduktif. “Jika Iran merasa terpojok, bukan tidak mungkin mereka mempercepat program nuklir mereka secara tertutup, atau meningkatkan dukungan ke kelompok bersenjata di kawasan,” katanya.

Sementara itu, analis militer dari Brookings Institution, James L. Ferguson, menilai bahwa “serangan ini adalah pesan kekuatan, tapi juga risiko. 

Presiden Trump telah menunjukkan bahwa AS bisa dan bersedia bertindak, namun tanpa jaminan bahwa Iran akan mundur."

Apa Selanjutnya?

Sejauh ini, belum ada tanda-tanda gencatan senjata. Baik Israel maupun AS menyerukan “perdamaian melalui kekuatan,” sementara Iran bersumpah tidak akan menyerah terhadap tekanan militer.

Pemerintah AS menyatakan tidak berniat menggulingkan rezim Iran, namun Trump juga memperingatkan bahwa jika tidak ada perdamaian segera, “kami akan menyerang target-target lain itu dengan presisi, kecepatan, dan keterampilan.”

Dalam situasi yang terus bergejolak, komunitas internasional menyerukan de-eskalasi. Namun selama ketiga pihak — Iran, Israel, dan Amerika Serikat — tetap mempertahankan retorika keras dan aksi militer sebagai instrumen diplomasi, harapan akan perdamaian mungkin masih jauh dari kenyataan.

Catatan: Artikel ini didasarkan pada laporan dari Reuters, Al Jazeera, CBS News, NDTV World, dan pernyataan resmi yang dipublikasikan melalui media sosial serta siaran pemerintah.