![]() |
Serangan udara AS ke fasilitas nuklir Iran pada 21 Juni 2025 memicu kecaman global dan ancaman balasan dari Teheran. (Foto: Anadolu) |
Amerika Serikat resmi melancarkan serangan udara terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran pada Jumat, 21 Juni 2025 waktu setempat. Serangan dilakukan dengan bom penghancur bunker oleh pesawat siluman B-2 Spirit, menargetkan fasilitas Fordow, Natanz, dan Isfahan. Presiden Donald Trump mengklaim serangan ini sebagai “sukses besar”, namun Iran mengecam keras dan bersiap membalas.
Langkah ini dinilai sebagai eskalasi paling berani dalam kebijakan luar negeri Trump sejak kembali menjabat, dan berpotensi memicu perang terbuka di Timur Tengah.
Harga minyak mentah global sempat melonjak 5% pasca pengumuman serangan, menyusul kekhawatiran atas potensi penutupan Selat Hormuz, jalur 20% distribusi minyak dunia.
Serangan ini terjadi hanya 8 hari setelah Israel lebih dulu menggempur fasilitas militer Iran pada 13 Juni.
Trump sebelumnya memberikan Iran waktu dua minggu untuk menunjukkan niat berdamai, namun menyebut “sudah jelas Iran tidak berniat negosiasi” dalam unggahan di Truth Social.
“Saya telah memperingatkan. Mereka terus bermain api. Sekarang mereka menerima akibatnya,” ujar Trump, seraya mengancam bahwa “APAPUN RETALIASI akan dibalas jauh lebih besar.”
Serangan dilakukan dengan bom GBU-57A/B Massive Ordnance Penetrator seberat 13 ton, mampu menembus beton sedalam 18 meter. Targetnya adalah fasilitas bawah tanah pengayaan uranium dan laboratorium riset nuklir.
Namun, Iran membantah fasilitas mereka hancur dan menyebut klaim AS sebagai propaganda. Belum ada laporan korban jiwa, dan IAEA menyatakan tidak ada peningkatan radiasi.
Iran menyebut serangan ini sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional. Hossein Shariatmadari, penasihat senior Pemimpin Tertinggi Iran, menyatakan militer dan warga AS kini menjadi “target sah.”
Iran juga mengancam akan menutup Selat Hormuz dan menyerang kapal AS di Teluk Persia.
“Jika Iran benar-benar menutup Hormuz, ini bukan hanya krisis regional—ini bisa jadi krisis global energi,” ujar James Acton, analis nuklir dari Carnegie Endowment for International Peace.
Israel dilaporkan telah diberi tahu sebelum serangan dan menyambut baik langkah Trump. Sementara itu, negara-negara Eropa mengecam aksi ini dan menyerukan de-eskalasi, menyebut serangan AS melanggar jalur diplomasi yang tengah mereka bangun dengan Iran.
Pasar energi langsung bereaksi. Harga minyak Brent naik dari US$81 menjadi US$85 per barel hanya dalam 12 jam setelah serangan.
Analis memperkirakan, jika Selat Hormuz benar-benar ditutup, harga bisa melonjak hingga US$100 per barel dalam hitungan hari.
“Kondisi ini bisa memicu efek domino ke seluruh sektor—mulai dari logistik, pangan, hingga manufaktur,” ujar Sarah Malik, analis energi dari HSBC Global.
Negara-negara pengimpor besar seperti India dan China juga mengeluarkan pernyataan siaga.
Departemen Luar Negeri AS telah mulai mengevakuasi warga dari Israel dan Tepi Barat. Dua penerbangan ke Athena mengangkut 70 warga dan keluarga, sementara lebih dari 6.400 warga telah mendaftarkan diri untuk evakuasi.
Di dalam negeri, langkah Trump menuai kecaman. Partai Demokrat menyebut keputusan ini “melanggar konstitusi” karena tidak melalui persetujuan Kongres.
Bahkan kalangan Republik garis keras seperti Rand Paul menyebut aksi ini “berisiko menjerumuskan AS ke perang tanpa arah.”
Trump dijadwalkan menyampaikan pidato resmi dari Gedung Putih pada pukul 22.00 waktu Washington (09.00 WIB, 23 Juni 2025).
Pidato ini disebut akan mengumumkan “langkah lanjutan” jika Iran melakukan pembalasan.
Sementara itu, analis menilai Iran menghadapi dilema besar: membalas dan berisiko perang besar, atau menahan diri dan kehilangan muka secara politik.
“Kita mungkin memasuki babak baru dalam konflik nuklir Iran. Dunia harus bersiap untuk ketidakpastian,” kata Dennis Ross, mantan utusan AS untuk Timur Tengah.
Serangan AS ke fasilitas nuklir Iran bukan sekadar aksi militer, tapi bisa jadi titik balik geopolitik Timur Tengah.
Dengan potensi ledakan harga minyak, risiko perang regional, dan tekanan politik domestik, keputusan Trump membawa dunia ke medan yang sangat rapuh.
“Krisis ini belum selesai. Bahkan mungkin baru dimulai,” – Barbara Slavin, pakar Iran, Stimson Center.
0Komentar