Indonesia turun 13 peringkat dalam World Competitiveness Ranking 2025, dari posisi 27 ke 40. Penurunan ini dipicu efisiensi pemerintah dan bisnis yang melemah, serta infrastruktur yang tertinggal. (Ilustrasi: Apluswire/Irfan Afandi)

Indonesia menghadapi sinyal bahaya baru dalam peta persaingan ekonomi global. Dalam laporan World Competitiveness Ranking (WCR) 2025 yang dirilis Institute for Management Development World Competitiveness Center (IMD WCC), posisi daya saing RI anjlok tajam dari peringkat 27 tahun lalu ke 40 pada 2025 dari total 69 negara. Ini jadi penurunan paling tajam dalam empat tahun terakhir.

Lonjakan ke bawah ini jadi pukulan telak, apalagi sebelumnya Indonesia sempat menikmati tren positif: naik dari peringkat 44 (2022), ke 34 (2023), dan puncaknya 27 (2024). 

Apa penyebabnya? Siapa yang terdampak? Dan bagaimana jalan keluarnya?


Efisiensi Pemerintah dan Bisnis Ambruk, Infrastruktur Keteteran

Laporan IMD WCC menilai daya saing berdasarkan empat pilar utama: kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan infrastruktur. Sayangnya, dari empat pilar itu, tiga di antaranya jeblok.

Efisiensi Pemerintah turun 11 peringkat ke posisi 34. Masalah klasik kembali jadi sorotan: birokrasi lambat, ketidakpastian regulasi, dan persepsi negatif terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kerangka kelembagaan bahkan merosot dari peringkat 25 ke 51.

Efisiensi Bisnis juga longsor 12 peringkat ke posisi 26. Banyak pelaku usaha mengeluhkan produktivitas tenaga kerja yang rendah, akses pembiayaan yang terbatas, hingga lemahnya manajemen di perusahaan-perusahaan lokal.

Infrastruktur, yang jadi tulang punggung pertumbuhan jangka panjang, hanya ada di peringkat 57. 

Ketimpangan akses infrastruktur fisik dan digital masih menganga, kecepatan internet RI tercatat hanya 28,9 Mbps, jauh di bawah rata-rata global 138 Mbps. 

Sektor kesehatan dan pendidikan pun belum menunjukkan perbaikan signifikan, masing-masing duduk di posisi 68 dan 66 dari 69 negara.

Sebagai pembanding, Malaysia justru melesat naik 11 peringkat ke posisi 23, sementara Thailand dan Australia sama-sama turun 5 peringkat. 

Negara berkembang lain seperti Turki juga mengalami nasib serupa dengan Indonesia, yakni turun 13 peringkat.


Dampak ke Dunia Usaha: Iklim Investasi Kian Dingin

Penurunan daya saing ini langsung berdampak pada persepsi investor. Meski pemerintah menyebut minat terhadap Surat Berharga Negara (SBN) masih tinggi, pelaku usaha menilai ini tidak cukup untuk menciptakan ekosistem bisnis yang sehat dan kompetitif.

Shinta Kamdani, Ketua Umum Apindo, menyebut penurunan ini sebagai “alarm keras” bahwa reformasi struktural tidak boleh lagi ditunda. 

“Produktivitas tenaga kerja makin tertekan, akses pembiayaan makin sempit, dan biaya usaha tinggi. Ini semua mengikis kepercayaan dunia usaha,” kata Shinta.

Analis Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menyebut daya saing Indonesia jatuh karena masalah struktural lama yang tak kunjung dibereskan. 

“Kita bicara biaya logistik 23% dari PDB, jauh dari ideal 13%. Itu membuat industri dalam negeri tidak kompetitif secara harga. Ditambah lagi regulasi yang berbelit-belit dan lemahnya eksekusi di lapangan,” ujar Ajib.

Sementara itu, Nailul Huda, Ekonom dari Celios, menyoroti rendahnya efisiensi investasi. Rasio ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia tercatat 6,33 pada 2023—salah satu yang terburuk di kawasan, dibandingkan Malaysia (2,7), India (3,2), dan Filipina (3,4). 

“Ini artinya, modal yang kita tanamkan tidak menghasilkan output yang sepadan. Banyak proyek tidak efisien,” kata Nailul.

Ia juga mengkritik maraknya keterlibatan militer dalam sektor ekonomi, termasuk penempatan pejabat militer di posisi strategis seperti Bea Cukai, yang menurutnya menurunkan kepercayaan investor. 

“Investor butuh kepastian dan profesionalisme. Kalau sektor ekonomi malah diisi militer, ini sinyal yang membingungkan,” tambahnya.


Pemerintah Klaim Masih Kuat, Tapi Siap Evaluasi

Di sisi lain, pemerintah tak tinggal diam. Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menilai penurunan ini belum mencerminkan daya saing sebenarnya. 

“Capital inflow tetap tinggi. Investor asing tetap percaya dengan fundamental ekonomi kita, terbukti dari tingginya permintaan SBN dan tren penurunan yield dalam satu dekade terakhir,” ujar Febrio.

Meski begitu, pemerintah mengakui ada pekerjaan rumah besar. Fokus utama pemerintah adalah mempercepat reformasi di perizinan, rantai pasok, dan infrastruktur. 

Salah satunya melalui inisiatif Danantara, yang bertujuan meningkatkan sinergi antar-lembaga dan menggenjot investasi, yang saat ini menyumbang sekitar 30% terhadap PDB.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita juga mendorong percepatan implementasi kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk menurunkan biaya produksi industri. 

“Kami juga sedang membuka opsi impor gas untuk memperkuat daya saing sektor manufaktur,” kata Agus.


Bonus Demografi di Ujung Tanduk?

Melemahnya daya saing ini datang di saat krusial—ketika Indonesia tengah memasuki era bonus demografi, yang secara teori bisa mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Namun, survei IMD WCC mengungkap bahwa 66,1% eksekutif di Indonesia percaya kurangnya peluang ekonomi menjadi pemicu polarisasi sosial. 

Ini berkaitan erat dengan lemahnya institusi, SDM yang tidak siap, serta infrastruktur yang belum merata.

“Kalau kita tidak segera berbenah, bonus demografi ini bisa berubah jadi beban demografi,” kata Nailul Huda. 

Ia menyarankan agar pemerintah fokus pada peningkatan kualitas SDM, mencabut hambatan usaha seperti premanisme dan pungli, serta meninjau ulang keterlibatan militer dalam ekonomi.

Apa Selanjutnya? 

Berbagai pakar dan pelaku usaha menyampaikan sejumlah rekomendasi konkret:

Reformasi Struktural dan Deregulasi: Perlu percepatan penyederhanaan regulasi dan peningkatan transparansi kebijakan.

Penguatan SDM: Pemerintah diminta memprioritaskan pendidikan dan pelatihan vokasi agar produktivitas meningkat.

Investasi Infrastruktur yang Tepat Sasaran: Infrastruktur digital dan fisik harus dibangun secara merata, tidak hanya di Pulau Jawa.

Profesionalisasi Sektor Ekonomi: Hindari penempatan aktor non-profesional di posisi strategis ekonomi, demi menjaga kepercayaan pasar.

Indonesia menghadapi ujian besar. Penurunan daya saing bukan hanya soal ranking—tapi juga soal masa depan pertumbuhan ekonomi, kepercayaan investor, dan kesejahteraan rakyat. Jika tak segera ditangani, efek domino-nya bisa jauh lebih dalam dari sekadar peringkat.