![]() |
Survei Levada Center pada Mei 2025 menunjukkan Jerman kini dianggap sebagai musuh utama Rusia, menggeser posisi Amerika Serikat. (Foto: Getty Images/iStockphoto/Achim Schneider / reisezielinfo) |
Survei yang dilakukan oleh Levada Center Pada Mei 2025, lembaga riset independen Rusia, mengungkapkan perubahan signifikan dalam pandangan publik Rusia terhadap negara-negara asing. Untuk pertama kalinya dalam 13 tahun, Amerika Serikat (AS) tidak lagi berada di posisi teratas sebagai "negara paling tidak bersahabat" di mata warga Rusia.
Posisi ini kini diambil alih oleh Jerman, yang dianggap sebagai ancaman utama oleh 56% responden. Pergeseran ini mencerminkan dinamika geopolitik yang semakin rumit, yang dipicu oleh eskalasi konflik Ukraina, kebijakan luar negeri Jerman yang semakin tegas, dan retorika yang semakin agresif dari kedua pihak.
Levada Center, meskipun ditetapkan sebagai "agen asing" oleh pemerintah Rusia, tetap menjadi sumber data yang dihormati untuk menggali opini publik di negara tersebut.
Survei yang dilakukan antara 22-28 Mei 2025, melibatkan 1.613 responden di 137 munisipalitas Rusia. Hasilnya menunjukkan bahwa Jerman kini dianggap sebagai negara paling tidak bersahabat, disusul oleh Inggris (49%), Ukraina (43%), dan AS (40%).
Angka ini sangat kontras dengan hasil survei sebelumnya, yang menunjukkan hanya 16% warga Rusia yang melihat Jerman sebagai musuh sebelum konflik Ukraina semakin memanas pada Februari 2022. Sementara itu, negara-negara seperti Belarus (80%) dan China (67%) tetap dianggap sebagai sekutu utama.
Pergeseran ini mencerminkan perubahan dramatis dalam sentimen publik Rusia, yang sangat dipengaruhi oleh narasi media domestik, kebijakan luar negeri Barat, dan perkembangan di medan perang Ukraina.
Untuk memahami mengapa Jerman kini menjadi fokus ketegangan, kita perlu melihat empat faktor utama yang mendasari persepsi ini.
Faktor di balik ketegangan Rusia-Jerman
Bantuan militer Jerman ke Ukraina
Sejak eskalasi konflik Ukraina, Jerman telah meningkatkan dukungannya kepada Kiev, baik dalam bentuk bantuan kemanusiaan maupun militer. Di bawah kepemimpinan Kanselir Friedrich Merz, yang menjabat sejak Mei 2025, Berlin semakin tegas.
Salah satu langkah kontroversial adalah potensi pengiriman rudal Taurus KEPD 350, senjata jarak jauh dengan jangkauan lebih dari 500 kilometer. Rudal ini mampu menyerang target di wilayah Rusia, termasuk Moskow, yang dianggap sebagai ancaman besar oleh Kremlin.
Pada April 2025, Merz menyatakan kesiapan Jerman untuk memasok rudal Taurus ke Ukraina, sebuah kebijakan yang berbeda dengan pendahulunya, Olaf Scholz, yang sebelumnya menolak pengiriman senjata serupa karena risiko eskalasi.
Selain itu, Merz juga mendukung pencabutan batasan jangkauan senjata Barat yang digunakan Ukraina, memungkinkan serangan ke wilayah Rusia.
Kebijakan ini, yang diumumkan pada akhir Mei 2025, memperburuk ketegangan dengan Moskow dan memperkuat persepsi bahwa Jerman kini memainkan peran aktif dalam konfrontasi dengan Rusia.
Retorika agresif dari kedua pihak
Retorika dari pejabat tinggi kedua negara semakin memperburuk ketegangan. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, pada akhir Mei 2025, mengkritik keras kebijakan Merz, menyatakan bahwa "keterlibatan langsung Jerman dalam perang kini sudah jelas."
Lavrov bahkan memperingatkan bahwa Jerman "tergelincir ke lereng licin menuju kehancurannya sendiri," sebuah pernyataan yang mengingatkan pada kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I dan II. Nada ancaman ini mencerminkan strategi Rusia untuk menggambarkan Jerman sebagai provokator dalam konflik yang lebih luas.
Sementara itu, Merz tidak menunjukkan tanda-tanda meredakan ketegangan. Selain mendukung pengiriman senjata canggih, ia juga berjanji membantu Ukraina memproduksi senjata jarak jauh di wilayah Jerman.
Pernyataan ini, yang dibuat pada Mei 2025, dipandang sebagai langkah provokatif oleh Rusia, yang melihatnya sebagai upaya untuk memperpanjang konflik dan melemahkan posisi Moskow.
Persiapan Jerman untuk konflik
Jerman sendiri tampaknya mempersiapkan diri untuk kemungkinan konflik yang lebih luas. Pada Juni 2025, Ralph Tiesler, kepala Kantor Federal Perlindungan Sipil dan Bantuan Bencana (BBK), mengumumkan rencana untuk memperluas jaringan bunker dan tempat perlindungan anti-bom di seluruh negeri.
Tiesler memperingatkan bahwa Jerman harus siap menghadapi kemungkinan serangan Rusia dalam empat tahun ke depan, sebuah pernyataan yang mencerminkan kekhawatiran akan eskalasi militer di Eropa.
Rencana ini mencakup konversi terowongan, stasiun metro, garasi bawah tanah, dan ruang bawah tanah gedung publik menjadi tempat perlindungan untuk menampung hingga satu juta orang.
Tiesler menekankan bahwa pembangunan bunker baru akan memakan waktu terlalu lama dan mahal, sehingga fokusnya adalah memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada.
Langkah ini menunjukkan perubahan paradigma di Jerman, yang sebelumnya menganggap perang sebagai skenario yang tidak realistis, namun kini harus menghadapi "kenyataan konflik" akibat invasi Rusia ke Ukraina.
Persepsi publik dan narasi media
Persepsi publik Rusia terhadap Jerman juga dipengaruhi oleh narasi media yang dikendalikan negara. Sejak Februari 2022, media Rusia secara konsisten menggambarkan Barat, termasuk Jerman, sebagai kekuatan yang berupaya melemahkan Rusia melalui sanksi ekonomi dan dukungan militer untuk Ukraina.
Survei Levada Center menunjukkan bahwa responden yang lebih tua (usia 55 tahun ke atas) dan mereka yang mengandalkan televisi sebagai sumber informasi cenderung memiliki pandangan lebih negatif terhadap Jerman dan Barat secara umum.
Sebaliknya, responden yang lebih muda dan pengguna platform seperti YouTube menunjukkan sikap yang sedikit lebih moderat, meskipun masih dipengaruhi oleh narasi anti-Barat.
Dampaknya ke hubungan internasional
Pergeseran persepsi ini memiliki dampak yang luas, baik untuk hubungan bilateral Rusia-Jerman maupun stabilitas Eropa secara keseluruhan. Ketegangan yang meningkat antara Moskow dan Berlin bisa memperumit upaya diplomasi untuk menyelesaikan konflik Ukraina.
Dengan Jerman yang semakin aktif mendukung Kiev, Rusia mungkin melihat Berlin sebagoai musuh utama di Eropa, yang berpotensi memicu eskalasi lebih lanjut. Selain itu, persiapan Jerman untuk skenario perang menunjukkan perubahan dalam kebijakan pertahanan Eropa.
Negara-negara seperti Polandia dan negara-negara Baltik juga telah mengungkapkan kekhawatiran serupa tentang ancaman Rusia, yang bisa mendorong penguatan aliansi NATO di Eropa Timur. Namun, langkah ini juga berisiko memicu siklus aksi-reaksi yang memperburuk ketegangan dengan Rusia.
Perbaikan hubungan Rusia-AS, meskipun masih terbatas, menunjukkan bahwa Moskow mungkin berupaya memanfaatkan perubahan kepemimpinan di Washington untuk melemahkan front Barat yang bersatu.
Dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, Rusia tampaknya melihat peluang untuk negosiasi yang lebih menguntungkan, yang dapat mengisolasi Jerman dan sekutu Eropa lainnya dalam mendukung Ukraina.
Meskipun survei Levada Center memberikan wawasan penting, ada beberapa tantangan dalam menafsirkan hasilnya. Status "agen asing" Levada Center dan tekanan pemerintah terhadap organisasi independen di Rusia bisa memengaruhi persepsi publik terhadap lembaga ini.
Selain itu, narasi media yang dikendalikan ketat di Rusia membatasi keragaman informasi yang tersedia bagi responden, yang mungkin memperkuat bias anti-Barat.
Ke depan, hubungan Rusia-Jerman kemungkinan akan tetap tegang selama konflik Ukraina berlangsung. Namun, ada peluang untuk meredakan ketegangan melalui saluran diplomatik, terutama jika negara-negara seperti AS atau pihak ketiga seperti China bisa memfasilitasi dialog.
Bagi Jerman, tantangannya adalah menyeimbangkan dukungan untuk Ukraina dengan upaya untuk mencegah eskalasi langsung dengan Rusia, sebuah tugas yang akan menguji kepemimpinan Merz dalam beberapa bulan mendatang.
Pergeseran persepsi Rusia terhadap Jerman sebagai musuh utama mencerminkan dinamika geopolitik yang semakin kompleks, yang dipengaruhi oleh bantuan militer Jerman ke Ukraina, retorika agresif dari kedua pihak, dan persiapan Jerman untuk skenario perang.
Survei Levada Center Mei 2025 menunjukkan ketegangan ini, sekaligus memperlihatkan perubahan dalam hubungan Rusia dengan AS. Bagi Eropa, situasi ini menandakan perlunya pendekatan yang hati-hati untuk menjaga keseimbangan antara solidaritas dengan Ukraina dan mencegah konflik yang lebih luas.
Di tengah ketidakpastian ini, dialog dan diplomasi tetap menjadi kunci untuk mencegah eskalasi yang bisa mengguncang stabilitas global.
0Komentar