Kekayaan sumber daya alam belum tentu jadi berkah dan bagaimana sumber daya alam justru melemahkan ekonomi, merusak lingkungan, dan memperlebar ketimpangan di Indonesia. (Foto: Forest Digest)

Indonesia seharusnya menjadi negeri makmur. Dengan cadangan nikel terbesar kedua di dunia, tambang emas raksasa di Papua, dan hutan tropis yang luas, tak sedikit yang membayangkan Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi global berbasis sumber daya. 

Namun realitanya berbicara lain. Meskipun kekayaan alam melimpah, jutaan rakyat masih hidup dalam kemiskinan, dan wilayah penghasil justru seringkali tertinggal.

Fenomena ini dikenal sebagai resource curse—kutukan sumber daya alam. Sebuah ironi klasik di mana kekayaan alam justru menjadi sumber malapetaka ekonomi, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial. Dan di Indonesia, kutukan ini terasa begitu nyata.


Potret Nyata Sebuah Kutukan

Data berbicara lebih lantang dari opini. Pada 2019, Indonesia mengalami kerugian Rp 6,03 triliun akibat korupsi sektor sumber daya alam, menurut ICW. 

Ketimpangan penguasaan lahan juga mencolok: dari sekitar 55 juta hektar yang tersedia, 53 juta dikuasai korporasi, sementara hanya 2,7 juta yang benar-benar dikelola rakyat.

Sebuah kendaraan melewati area pertambangan penambang emas dan tembaga PT Freeport Indonesia (PTFI) di Grasberg, Mimika, Papua. (thejakartapost.com/Nethy Dharma Somba)

Lebih ironis lagi, di Papua, tempat tambang emas Freeport menghasilkan laba hingga 1,2 miliar dolar AS hanya dalam tiga bulan pertama 2024, buruh lokal hanya digaji sekitar Rp 5–7 juta per bulan. 

Sebuah ketimpangan yang mencerminkan betapa keuntungan besar dari kekayaan bumi tidak dinikmati oleh mereka yang hidup paling dekat dengan sumbernya.

Kondisi ini bukan hanya menyebabkan kemiskinan yang berulang, tapi juga membuat ekonomi nasional rapuh. 

Ketergantungan terhadap ekspor mentah seperti batu bara dan kelapa sawit menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi harga global. 

Ketika harga batu bara jatuh pada 2020, sejumlah daerah penghasil terpukul hebat—defisit anggaran, pengangguran, hingga kegagalan layanan publik menjadi konsekuensi nyata.

Sementara itu, dampak terhadap lingkungan tak kalah serius. Deforestasi di Kalimantan Timur, yang tercatat naik 47% sejak 2020 menurut pemantauan satelit Planet Labs, menunjukkan kerusakan yang sistemik. 

Ilustrasi. (Foto: spiritnews.co.id).                                                                                                                                                           
Sekitar 3 juta hektar hutan sudah hilang, banyak di antaranya akibat ekspansi sawit ilegal. Dalam diam, kita kehilangan paru-paru dunia yang tak tergantikan.

Di tengah tekanan itu, konflik sosial pun kian marak. Komnas HAM mencatat 58 kasus kekerasan yang berkaitan dengan sumber daya alam selama 2023. 

Dari Sumatera hingga Papua, masyarakat adat berulang kali berhadapan dengan perusahaan besar yang datang dengan izin resmi tapi tanpa persetujuan masyarakat setempat.


Ketika Kekayaan Alam Jadi Berkah

Apa yang membuat negara seperti Chile dan Botswana mampu keluar dari jeratan kutukan? Jawabannya bukan pada banyaknya tambang, melainkan bagaimana kekayaan itu dikelola.

Chile, misalnya, menabung sebagian hasil ekspor tembaganya ke dalam sovereign wealth fund—dana abadi yang digunakan untuk menstabilkan ekonomi saat krisis. 

Botswana melakukan hal serupa dengan pendapatan dari berlian. Mereka membentuk perusahaan patungan negara-swasta, Debswana, dan mengalokasikan sekitar 70% dari keuntungan untuk pendidikan dan infrastruktur.

Indonesia sebenarnya memiliki lembaga serupa: Indonesia Investment Authority (INA), sebuah SWF dengan modal awal 5 miliar dolar AS. 

Namun bedanya, mekanisme kontrol dan transparansi INA belum sekuat Chile. Tanpa pengawasan publik, dana besar ini rawan menjadi alat politik, bukan solusi ekonomi jangka panjang.


Menuju Transformasi

Jika ingin keluar dari kutukan, Indonesia harus memulai dari hal paling mendasar: membenahi tata kelola. Gerakan Nasional Penyelamatan SDA yang pernah dijalankan KPK pada 2015–2017 terbukti mampu meningkatkan penerimaan negara hingga Rp 22 triliun lebih. 

Namun inisiatif ini tak berlanjut. Padahal, justru pendekatan sistemik inilah yang paling dibutuhkan.

Ilustrasi. (Foto: PT. Justitia Global Mandiri).                                                                                                                                        
Hilirisasi juga perlu dimaknai lebih dalam. Bukan sekadar memproses bahan mentah di dalam negeri, tapi memastikan nilai tambah dan kendali ekonomi tetap berada di tangan Indonesia. 

Investasi sebesar 6 miliar dolar oleh PT HKML Battery Indonesia untuk produksi baterai kendaraan listrik adalah awal yang menjanjikan. 

Tapi fakta bahwa 60% bahan baku tetap diimpor menunjukkan bahwa rantai pasok kita masih belum utuh.

Teknologi bisa menjadi alat revolusioner. Di Jerman, startup bernama Minespider menggunakan blockchain untuk melacak sumber mineral agar bebas dari konflik. 

Teknologi ini bahkan telah diuji coba pada rantai pasok timah di Indonesia. Dengan sistem yang transparan dan terekam digital, praktik manipulasi data atau ekspor ilegal bisa ditekan drastis.

Namun teknologi saja tidak cukup tanpa keadilan sosial. Masyarakat lokal, terutama masyarakat adat, harus dilibatkan dan diuntungkan. 

Saat ini, Papua hanya mendapat sekitar 0,25% dari total revenue Freeport—angka yang sangat kecil untuk kontribusi yang begitu besar. 

Skema pembagian hasil dan program perhutanan sosial seperti Hutan Adat harus diperluas dan diperkuat. 

Di beberapa wilayah Kalimantan, masyarakat Dayak telah menunjukkan bahwa pengelolaan hutan oleh komunitas bisa berjalan dengan baik jika diberikan hak legal dan dukungan.

Apa yang dibutuhkan Indonesia bukanlah lebih banyak tambang, tetapi sistem yang sehat. Sistem yang menghentikan kebocoran, mendistribusikan manfaat secara adil, dan mampu merancang masa depan berdasarkan inovasi, bukan eksploitasi.

Jika kita bisa membangun kemauan politik yang kuat, mengadopsi teknologi transparan seperti blockchain dan satelit pemantau, serta menempatkan masyarakat sebagai aktor utama—bukan korban—dari eksploitasi sumber daya, maka kita bisa meniru jejak negara-negara yang berhasil membalik kutukan menjadi berkah.

Pertanyaannya tinggal satu: apakah para elite politik dan ekonomi Indonesia bersedia berubah?

"Kita tidak miskin karena kurang nikel atau emas, tapi karena sistem yang memiskinkan."— Aktivis SDA Kalimantan, 2024