Indonesia mendapatkan paket pembiayaan Rp34,6 triliun dari Bank Dunia. Apakah ini langkah menuju energi hijau atau justru menambah risiko utang jangka panjang? (Foto:AFP)


Bank Dunia menyetujui paket pembiayaan sebesar US$2,12 miliar untuk Indonesia—langkah berani untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memperluas akses energi bersih. Diumumkan di Jakarta, suntikan dana besar ini—setara dengan Rp34,6 triliun dengan kurs Rp16.270 per dolar AS—ditujukan untuk merombak sektor keuangan Indonesia dan menerangi jutaan kehidupan. 

Namun, apakah ini langkah visioner menuju masa depan berkelanjutan atau justru lompatan berisiko ke dalam jurang utang? 

Taruhannya besar, dan waktu semakin mendesak bagi Indonesia untuk membuktikan bahwa ambisi bisa sejalan dengan eksekusi.

Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia telah menunjukkan ketangguhan luar biasa menghadapi badai global. Bahkan selama pandemi COVID-19 dan lemahnya permintaan dunia, negara ini tetap tumbuh dengan kuat dan menjaga pengelolaan fiskal yang hati-hati, menurut Bank Dunia. 

Namun tantangan tetap ada: jutaan warga belum memiliki akses listrik, dan transisi ke energi terbarukan masih tertinggal dibanding negara tetangga seperti Vietnam, yang agresif mengembangkan proyek tenaga surya dan angin.

Agenda baru pemerintah—investasi pada sumber daya manusia, akses listrik universal, dan reformasi sektor keuangan—memerlukan modal dan keahlian besar. 

Di sinilah Bank Dunia masuk, melihat Indonesia sebagai pemain kunci dalam tujuan pembangunan kawasan.

Paket senilai US$2,12 miliar ini terbagi dalam dua program dan merupakan taruhan yang diperhitungkan. 

Pertama, pinjaman kebijakan sebesar US$1,5 miliar ditujukan untuk reformasi struktural guna memperkuat sektor keuangan dan menghapus hambatan investasi energi terbarukan. 

Kedua, inisiatif senilai US$628 juta yang disebut Sustainable Least-Cost Electrification-2 (ISLE-2), bertujuan menyediakan listrik bagi 3,5 juta orang serta menambahkan 540 megawatt kapasitas tenaga surya dan angin. 

Ini bukan sekadar urusan “menyalakan lampu”—melainkan upaya menempatkan Indonesia sebagai pemimpin pertumbuhan hijau di kawasan yang sedang berpacu menuju net-zero.


Detail pembiayaan

Rincian pembiayaan menunjukkan kombinasi canggih antara pinjaman dan hibah. Indonesia Productive and Sustainable Investment Development Policy Loan senilai US$1,5 miliar akan memperkuat layanan keuangan digital, memperluas pasar modal, dan mengurangi aturan kandungan lokal yang selama ini menghambat proyek energi terbarukan. 

Program ini juga memperkenalkan mekanisme land value capture untuk menarik modal swasta ke infrastruktur—strategi yang berhasil di tempat seperti Singapura, tetapi belum pernah diuji secara luas di Indonesia.

Sementara itu, program ISLE-2 mencakup pinjaman US$600 juta dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), hibah US$12 juta dari IBRD Surplus-Funded Livable Planet Fund, serta hibah US$16 juta dari mitra seperti Program Manajemen Sektor Energi Inggris (US$6 juta) dan Green Climate Fund (US$10 juta). 

Ilustrasi PLTS. (Dok. PLN)                                                                                                                                                                                   

Bank Dunia menyatakan ISLE-2 akan menurunkan biaya pembangkitan listrik sebesar 8% dan emisi gas rumah kaca sebesar 10% di Kalimantan dan Sumatra—berpotensi mengubah akses energi di wilayah tersebut.

“Dengan paket pembiayaan gabungan yang berjumlah lebih dari US$2 miliar mendukung pelaksanaan prioritas utama pemerintah dan memajukan tujuan Bank Dunia untuk menciptakan lapangan kerja,” ujar Manuela V. Ferro, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, dalam siaran pers pada 17 Juni 2025. 

Carolyn Turk, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, menambahkan, “Dengan lebih dari 3,5 juta orang menjadi memiliki akses listrik, program ini diproyeksikan menjadi katalisator peningkatan kesejahteraan dan penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak dan lebih baik—termasuk melalui elektrifikasi kegiatan usaha yang dijalankan oleh perempuan.”


Analisis: Terobosan atau Langkah Berisiko?

Paket Bank Dunia ini ambisius, tapi tak lepas dari kritik. Di satu sisi, kesepakatan ini sejalan dengan target Indonesia menjadi negara berpenghasilan tinggi pada 2045. 

Pinjaman kebijakan tersebut bisa membuka investasi swasta dengan menyederhanakan regulasi—membayangkan lebih sedikit hambatan birokrasi bagi proyek tenaga surya atau angin. 

Struktur step-up loan, yang pertama kali digunakan oleh Bank Dunia, menawarkan suku bunga menguntungkan selama sembilan tahun, dengan potensi penghematan jika direfinansiasi setelah proyek selesai. Ini bisa menjadi preseden baru dalam pembiayaan inovatif di pasar negara berkembang.

Sebagai perbandingan, Vietnam berhasil menarik investasi energi terbarukan senilai US$12 miliar sejak 2020, berkat deregulasi pasar dan kemitraan internasional. 

Di sisi lain, aturan kandungan lokal di Indonesia selama ini membuat investor enggan masuk—dan dorongan Bank Dunia untuk melonggarkan aturan ini bisa menjadi penentu arah. 

Fokus program ISLE-2 untuk menerangi 3,5 juta orang juga mengingatkan pada keberhasilan elektrifikasi pedesaan di India, di mana mikrogrid tenaga surya meningkatkan ekonomi lokal sebesar 10–15% di beberapa wilayah, menurut studi World Resources Institute tahun 2023.

Namun ada ganjalan: rasio utang terhadap PDB Indonesia, yang berkisar 40%, menimbulkan kekhawatiran. 

Kritikus berpendapat bahwa tambahan utang sebesar US$2,12 miliar, meski disertai hibah, bisa membebani fiskal jika proyek tidak berhasil. Mekanisme land value capture yang inovatif juga berisiko memicu konflik politik jika reformasi pertanahan mengganggu masyarakat lokal. 

Dan meskipun Bank Dunia menyatakan ada potensi pengurangan emisi 10%, para skeptis mengingatkan bahwa campuran energi Indonesia yang masih didominasi batu bara—lebih dari 60% pembangkitannya—tidak akan berubah dalam semalam. 

“Optimisme Bank Dunia memang patut diapresiasi, tapi mengembangkan energi terbarukan di pasar yang dikuasai batu bara itu seperti mencoba membelokkan kapal tanker dengan dayung,” sindir analis energi Dr. Rina Susanti dari Institute for Energy Economics di Jakarta.



Kemana arah kebijakan energi dan pembiayaan selanjutnya?

Indonesia berada di persimpangan jalan. Jika dijalankan dengan baik, pembiayaan ini bisa memicu lonjakan energi terbarukan, menciptakan jutaan lapangan kerja, dan mengukuhkan peran negara sebagai kekuatan ekonomi kawasan. 

Mobilisasi investasi swasta sebesar US$345 juta oleh Bank Dunia untuk proyek tenaga surya dan angin memang awal yang baik, tetapi Indonesia masih perlu menarik miliaran dolar lagi untuk mencapai target energi terbarukan 23% pada 2030. 

Komite deregulasi baru pemerintah bisa membantu, tapi hanya jika bergerak cepat memotong birokrasi tanpa meminggirkan kepentingan masyarakat lokal.

Pertanyaan besar lainnya adalah soal keberlanjutan—baik dari sisi lingkungan maupun fiskal. Indonesia harus menghindari nasib negara berkembang lain yang mengambil pinjaman ambisius namun gagal membayar kembali saat proyek tidak berjalan. 

Skema step-up loan dan model pembiayaan campuran dari Bank Dunia memang menjanjikan, tetapi semuanya bergantung pada kemampuan Indonesia melaksanakan reformasi kompleks dan menarik investasi swasta. Gagal melakukannya bisa menjadikan taruhan besar ini sebagai pelajaran pahit.

Untuk saat ini, paket senilai US$2,12 miliar dari Bank Dunia adalah pertaruhan besar atas masa depan Indonesia. 

Ini adalah peluang untuk menerangi jutaan kehidupan dan mendorong ekonomi yang lebih hijau—tetapi hanya jika Jakarta mampu menyeimbangkan ambisi dengan kehati-hatian. 

Seperti yang diperingatkan Ferro, “Reformasi dan investasi yang kami dukung hanya akan berhasil jika Indonesia memanfaatkan momentum ini.” Dunia sedang memperhatikan, begitu juga 270 juta rakyat Indonesia.

Sumber: 
Siaran pers Bank Dunia, 16 Juni 2025
The Jakarta Post, 17 Juni 2025
Reuters, 16 Juni 2025; World Resources Institute, 2023.