Presiden AS Donald Trump membuka peluang bagi Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menjadi mediator konflik Israel-Iran. (Foto: AP/Pablo Martinez Monslvais)

konflik bersenjata antara Israel dan Iran memasuki hari kelima dengan eskalasi yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan AS belum terlibat, namun tidak menutup kemungkinan akan turun tangan. Di tengah kekacauan, Trump justru melirik Vladimir Putin sebagai mediator. Strategi atau perjudian geopolitik?

Serangan udara Israel ke fasilitas nuklir Natanz dan markas Quds Force di Tehran pada 13 Juni lalu menjadi pemantik dari api lama yang kembali membara. 

Iran membalas dengan rudal balistik dan drone ke wilayah Israel, menyebabkan 24 korban jiwa warga sipil. Sebagai balasan, Israel menggempur balik dengan kekuatan penuh. 

Laporan terbaru menyebutkan 224 warga Iran tewas, mayoritas sipil, dan lebih dari 1.400 lainnya terluka.

Konflik ini bukan sekadar perseteruan regional. Dunia kini menyaksikan dua kekuatan militer utama di Timur Tengah saling hantam di tengah ketegangan global yang belum pulih dari krisis energi dan konflik Ukraina-Rusia.

Presiden Trump dalam wawancara dengan ABC News menegaskan:

“Kami tidak terlibat di dalamnya. Ada kemungkinan kami bisa terlibat. Namun, saat ini kami tidak terlibat.”

Pernyataan ini tidak menjelaskan apa pun—dan justru memicu spekulasi. Trump juga secara terbuka menolak rencana Israel untuk menghabisi Ayatollah Ali Khamenei, langkah yang berisiko mengobarkan perang regional total.

Sikap ambigu ini berbahaya. Satu insiden terhadap pangkalan militer AS di Teluk bisa menjadi pemicu keterlibatan penuh. 

Di sisi lain, Trump mengerahkan Steve Witkoff sebagai utusan khusus untuk berbicara langsung dengan Iran—sinyal bahwa jalur diplomasi belum tertutup.

Yang menarik, Trump menyebut Putin sebagai mediator potensial:

“Dia sudah siap. Dia menelepon saya… Kami berdiskusi panjang soal itu,” ujarnya.

Rusia, yang menjadi rival Barat dan sekutu penting Iran, tiba-tiba masuk ke arena sebagai penengah. Apakah ini cerdik atau keliru?

Dampak konflik ini segera merambat ke ekonomi global. Harga minyak sempat turun ke $74 per barel, tapi bayang-bayang penutupan Selat Hormuz membuat analis memprediksi lonjakan hingga $124 per barel jika konflik berlanjut. 

Gangguan di jalur laut strategis ini bisa menekan perekonomian global, memicu inflasi energi, dan memperparah ketimpangan ekonomi—terutama di negara-negara berkembang yang rentan terhadap fluktuasi energi.

Trump mencoba memainkan peran ganda: tidak ikut perang, tapi tidak juga netral. Strategi ini mungkin laku di panggung politik domestik AS menjelang pemilu, tetapi di lapangan, bisa membuat AS tampak lemah atau ambigu di mata sekutunya. 

Sementara itu, Iran tetap kukuh pada narasi “program nuklir damai” yang diragukan oleh Barat sejak satu dekade terakhir.

Iran menolak gencatan senjata selama Israel masih menyerang. Ini membuka ruang bagi skenario terburuk: perang terbuka dengan dukungan milisi pro-Iran di Lebanon, Suriah, bahkan Yaman.

G7 mendukung penuh keamanan Israel, tetapi negara seperti Prancis menunjukkan sikap lebih kritis. Paris bahkan membatasi partisipasi Israel dalam Paris Air Show, simbol protes diplomatik yang jarang terjadi terhadap Tel Aviv.

Turki di sisi lain memuji Trump yang “menekankan pentingnya perdamaian”—sebuah sinyal bahwa beberapa pemimpin regional menanti momentum de-eskalasi. 

Tapi ini hanya akan terjadi jika AS dan Rusia benar-benar kompak—sesuatu yang secara historis sangat langka.

Jika konflik terus berlanjut, bukan hanya harga minyak yang akan melonjak. Proksinya bisa menyebar: Lebanon, Yaman, hingga Jalur Gaza bisa menjadi front tambahan. 

Serangan terhadap aset militer atau diplomatik AS di kawasan akan memaksa Washington untuk bertindak.

Trump sedang berjudi dengan waktu. Sementara publik AS mayoritas menolak perang baru, tekanan dari Israel dan dari faksi “hawkish” di Kongres terus meningkat. 

Senator Demokrat Tim Kaine bahkan sudah mengusulkan resolusi untuk membatasi kewenangan perang Trump terhadap Iran—sinyal adanya ketegangan lintas partai.

Pertanyaannya: Apakah Trump bisa menahan tekanan, atau akan terpeleset ke dalam perang Timur Tengah ketiga dalam dua dekade terakhir?

Konflik ini bukan hanya tentang dua negara bermusuhan. Ini soal krisis legitimasi, ego politik, dan pertaruhan diplomasi tinggi di antara para pemimpin dunia.