Polemik tambang nikel di Raja Ampat menyeret nama Bahlil, padahal izin sudah keluar sejak 2013 dan 2017. Identitas menteri yang mengesahkan izin kini jadi sorotan. (Net)

Raja Ampat, gugusan pulau di Papua Barat Daya yang dikenal sebagai “permata” wisata bahari Indonesia, kini berada di tengah tarik-ulur antara kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengeluarkan izin pertambangan nikel di wilayah ini memicu perdebatan sengit. 

Banyak pihak khawatir akan dampak serius terhadap ekosistem laut dan masa depan sektor pariwisata. Artikel ini mengulas asal-usul kontroversi, peran para pemangku kebijakan, serta dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan, dengan sudut pandang yang seimbang.

Kontroversi ini bermula sejak 2013, ketika pemerintah mulai menerbitkan izin pertambangan nikel di Raja Ampat. PT Anugerah Surya Pratama (ASP) menjadi salah satu perusahaan pertama yang mendapat izin dari pemerintah pusat. 

Kemudian pada 2017, PT Gag Nikel—anak perusahaan PT Antam Tbk dan bagian dari holding BUMN MIND ID—memulai operasinya. Tiga perusahaan lain, yaitu PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham, juga memperoleh izin, sebagian besar dari pemerintah daerah Raja Ampat. Izin PT Nurham bahkan diterbitkan pada 2025.

Langkah ini mendapat penolakan keras dari pegiat lingkungan. Mereka menilai bahwa aktivitas tambang tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang pertambangan di pulau-pulau dengan luas kurang dari 2.000 km²—seperti Pulau Gag dan sejumlah pulau kecil lainnya di Raja Ampat. 

Kementerian ESDM membantah adanya pelanggaran, menyebut bahwa izin yang diberikan sudah sesuai aturan, termasuk pengecualian yang berlaku untuk kontrak karya tertentu berdasarkan regulasi kehutanan.

Peran Menteri ESDM

Pada 2017, ketika PT Gag Nikel mulai beroperasi, posisi Menteri ESDM dipegang oleh Ignasius Jonan. Ia menjabat dari Oktober 2016 hingga Oktober 2019, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. 

Di masa jabatannya, izin tambang yang kini menjadi polemik tersebut diterbitkan. Meski mendapat sorotan, pemerintah saat itu menegaskan bahwa proses perizinan sudah sesuai hukum yang berlaku.

Tahun 2025, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia harus menghadapi dampak dari kebijakan masa lalu tersebut. Meski begitu, Fraksi Partai Golkar melalui Ketua Fraksi MPR Melchias Markus Mekeng menyatakan bahwa Bahlil tak bisa dimintai pertanggungjawaban atas izin-izin yang diterbitkan sebelum masa jabatannya. 

Pada 10 Juni 2025, Bahlil mengambil langkah tegas dengan mencabut izin empat perusahaan—PT ASP, PT MRP, PT KSM, dan PT Nurham—karena terbukti melanggar aturan lingkungan, termasuk menyebabkan polusi dan deforestasi. 

Namun, izin PT Gag Nikel tetap dipertahankan. Keputusan ini memicu kritik karena dinilai tidak konsisten.

Dampak Lingkungan: Ancaman terhadap Ekosistem Raja Ampat

Raja Ampat dikenal sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Sejak 2023, kawasan ini telah ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark. Wilayah ini menjadi rumah bagi 75% spesies karang dunia dan lebih dari 1.600 spesies ikan.

Namun, aktivitas tambang di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran telah menimbulkan kekhawatiran serius. Studi independen menunjukkan bahwa lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami telah dibuka untuk kegiatan tambang. Ini menyebabkan erosi dan sedimentasi yang mengancam terumbu karang.

Pemerintah, melalui Dirjen Mineral dan Batu Bara Tri Winarno, menyatakan bahwa tambang tidak menyebabkan sedimentasi di pesisir. Ia juga menyebutkan bahwa 131 hektar dari 263 hektar lahan tambang PT Gag Nikel sudah direklamasi. Namun, laporan dari Greenpeace dan Auriga Nusantara membantah klaim tersebut. 

Mereka menunjukkan bukti peningkatan sedimentasi yang menurunkan kejernihan air laut dan mengganggu kehidupan biota. Temuan serupa juga muncul dalam inspeksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Mei 2025, yang menjadi dasar pencabutan izin empat perusahaan tambang.

Dampak terhadap Pariwisata: Ancaman bagi “Surga Bawah Laut”

Pariwisata adalah urat nadi ekonomi lokal di Raja Ampat. Pulau Gag, salah satu spot favorit diving dan snorkeling, terancam keindahannya oleh aktivitas pertambangan di sekitarnya. Masyarakat setempat mengeluhkan bahwa air laut semakin keruh, mengurangi daya tarik bagi wisatawan.

Asosiasi Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengungkapkan kekhawatiran bahwa keberadaan tambang nikel bisa mencoreng citra Raja Ampat sebagai destinasi wisata unggulan. 

Kementerian Pariwisata yang mengunjungi Raja Ampat pada Mei 2025 juga mencatat tingginya penolakan warga terhadap tambang baru. Mereka menekankan pentingnya menjaga ekosistem agar sektor pariwisata tetap berkelanjutan. 

Aksi damai oleh Greenpeace dan pemuda Raja Ampat pada 3 Juni 2025 turut menyoroti pentingnya pelestarian lingkungan demi kelangsungan hidup masyarakat dan ekonomi lokal.

Tantangan dan Solusi

Kasus tambang nikel di Raja Ampat mencerminkan tantangan klasik antara pembangunan ekonomi dan pelestarian alam. Nikel memang menjadi komoditas penting untuk industri baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat—bagian dari visi besar Indonesia untuk masuk ke rantai pasok global. 

Tapi, Raja Ampat adalah kekayaan ekologis yang tak tergantikan, dengan potensi ekonomi dari pariwisata yang jauh lebih berkelanjutan.

Langkah Menteri Bahlil mencabut izin empat perusahaan bisa dibilang sebagai bentuk respons atas tekanan publik. Namun, kelanjutan izin PT Gag Nikel tetap menjadi sorotan. Untuk menjembatani kepentingan ekonomi dan pelestarian alam, beberapa langkah bisa diambil:

Pengawasan Ketat terhadap PT Gag Nikel
Pemerintah perlu memastikan PT Gag Nikel benar-benar menerapkan standar lingkungan tertinggi, dengan audit independen dan transparan.

Restorasi Ekosistem
Kegiatan reklamasi dan restorasi terumbu karang harus dipercepat, melibatkan komunitas lokal dan LSM lingkungan.

Penguatan Pariwisata Berkelanjutan
Pemerintah perlu memperluas pelatihan masyarakat lokal agar lebih terlibat dalam ekowisata, mengurangi ketergantungan pada tambang.

Transparansi dan Partisipasi Publik
Proses perizinan harus terbuka dan melibatkan masyarakat adat serta pemangku kepentingan lokal.

Kontroversi tambang nikel di Raja Ampat menjadi cermin betapa sulitnya menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian. Ignasius Jonan sebagai Menteri ESDM pada 2017 memiliki peran besar dalam awal mula persoalan ini, sementara Bahlil Lahadalia kini mencoba memulihkan kepercayaan publik dengan mencabut izin yang bermasalah.

Namun, dampak ekologis yang ditimbulkan serta potensi kerusakan terhadap industri pariwisata menunjukkan bahwa kebijakan yang ada masih jauh dari cukup. 

Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata, tapi juga warisan dunia yang harus dijaga. Dengan tata kelola yang baik dan komitmen semua pihak, Indonesia masih bisa melindungi "surga bawah laut" ini, sambil tetap mengejar peluang ekonomi di masa depan.