Perang antara Israel dan Iran yang berlangsung selama 12 hari sejak 13 Juni 2025 bukan cuma meninggalkan kerusakan fisik dan tensi geopolitik tinggi, tapi juga beban ekonomi yang sangat besar bagi Israel.
Dalam sepekan pertama saja, Negeri Zionis itu tercatat sudah merogoh kocek hingga US$5 miliar atau setara Rp81,6 triliun (kurs Rp16.290 per dolar AS), menurut laporan Financial Express.
Biaya itu belum mencakup dampak ekonomi tak langsung yang lebih luas. Jika konflik berkepanjangan hingga satu bulan penuh, total kerugian ekonomi Israel diperkirakan bisa menembus Rp195,8 triliun, berdasarkan perhitungan Aaron Economic Policy Institute.
Bahkan, jika dihitung hanya dari sisi biaya militer langsung, angkanya bisa jauh lebih tinggi: mencapai Rp354,3 triliun atau setara US$21,75 miliar.
Konflik bermula dari serangan mendadak Israel ke fasilitas nuklir Iran. Balasan datang cepat dari Teheran, memicu gelombang eskalasi militer yang mahal dan berisiko.
Dalam 12 hari terakhir, Israel terus melancarkan serangan udara sambil mempertahankan wilayahnya dari serangan balik Iran dengan sistem pertahanan seperti Iron Dome, David’s Sling, dan Arrow 3. Semua ini bukan barang murah.
Data dari Ynetnews menyebutkan, biaya harian perang Israel mencapai sekitar US$725 juta atau Rp11,8 triliun.
Dari jumlah itu, sekitar US$593 juta dialokasikan untuk serangan ofensif—meliputi misi penerbangan tempur dan amunisi.
Sementara itu, biaya operasional sistem pertahanan udara bervariasi antara US$10 juta hingga US$200 juta per hari, menurut Wall Street Journal.
“Kalau perang ini berlanjut satu bulan penuh, potensi kerugian ekonomi Israel bisa lebih besar dari Rp195 triliun, bahkan sangat mungkin menembus Rp350 triliun jika hanya dihitung dari sisi militer. Tapi efek jangka panjang terhadap ekonomi domestik bisa lebih parah,” ujar Dr. Eli Margalit, analis senior di Aaron Economic Policy Institute kepada Globes.
Angka-angka itu belum memperhitungkan efek domino ke sektor ekonomi riil. Banyak pekerja cadangan (reservist) dipanggil untuk dinas militer, yang otomatis berdampak pada penurunan produktivitas dan tekanan terhadap pasar tenaga kerja.
Belanja militer yang melonjak juga bisa mendorong inflasi domestik, memperburuk daya beli masyarakat dan mempersempit ruang fiskal pemerintah.
Efek global pun terasa. Lonjakan harga minyak akibat konflik di Timur Tengah memicu volatilitas pasar keuangan.
Laporan Reuters menyebutkan harga minyak mentah naik lebih dari 12% dalam seminggu terakhir, memicu kekhawatiran resesi teknis di negara-negara importir minyak utama seperti Jepang, Korea Selatan, dan Eropa Barat.
“Setiap konflik di Timur Tengah yang melibatkan dua kekuatan besar seperti Iran dan Israel pasti membawa risiko terhadap harga energi global dan kestabilan pasar.
Ini bukan cuma soal geopolitik, tapi ancaman ekonomi global,” kata Kepala Riset Komoditas di Oxford Economics, David Lansing.
Perbandingan dengan konflik sebelumnya menunjukkan tren kenaikan beban finansial. Al Jazeera melaporkan bahwa perang Gaza 2024 menghabiskan anggaran Israel sebesar 250 miliar shekel atau sekitar US$67,5 miliar.
Dengan laju pengeluaran harian saat ini, konflik dengan Iran bisa menyamai atau bahkan melebihi angka itu jika berlangsung lebih dari sebulan.
Meski pemerintah Israel belum mengumumkan langkah fiskal lanjutan, beberapa ekonom lokal memperkirakan potensi revisi anggaran belanja negara dan peningkatan defisit fiskal.
Pilihannya bisa berupa pemotongan anggaran sosial atau peningkatan pajak—dua opsi yang sama-sama tidak populer di tengah tekanan domestik.
Yang jelas, perang ini tak hanya menguras amunisi dan energi politik, tapi juga menguras kas negara. Dan jika eskalasi terus berlangsung, harga yang harus dibayar Israel bukan cuma dalam bentuk korban jiwa dan reputasi internasional, tapi juga risiko krisis ekonomi di rumah sendiri.
0Komentar