Klaim bahwa sistem Iron Dome Israel diretas dan rudalnya menghantam wilayah sendiri viral di media sosial. Namun, tak ada bukti kuat yang mendukung tudingan ini. (Foto: AP)

Klaim bahwa sistem pertahanan udara Israel, Iron Dome, diretas selama gempuran rudal Iran pada pertengahan Juni 2025 ramai jadi sorotan. Isu ini mencuat setelah media pemerintah Iran menyebut rudal pencegat Iron Dome justru menghantam wilayah Israel sendiri. Namun setelah ditelusuri, klaim tersebut tampaknya tidak punya dasar kuat dan cenderung mengandung unsur propaganda.

Iron Dome selama ini dikenal sebagai senjata andalan Israel dalam mencegat rudal dan roket jarak pendek. Dalam konflik yang dimulai pada 13 Juni lalu, sistem ini dilaporkan berhasil mengintersep 80-90% dari lebih 370 rudal balistik yang diluncurkan Iran. 

Artinya, hanya sekitar 5-10% rudal yang lolos dan menyebabkan kerusakan di beberapa kota besar seperti Tel Aviv dan Haifa. 

Data ini diperkuat oleh laporan Eurasian Times yang mengutip militer Israel (IDF), serta pemberitaan CBS News dan NPR yang mencatat korban jiwa dan kerusakan akibat serangan rudal yang tidak berhasil dicegat.

Sementara itu, media pemerintah Iran, IRNA, mengklaim bahwa Iron Dome mengalami “gangguan kritis” hingga rudalnya berbalik menyerang wilayah sendiri. 

Klaim ini didukung oleh video yang tersebar di platform X dan menampilkan ledakan yang disebut-sebut berasal dari rudal pencegat Israel yang salah sasaran. 

Namun, sampai saat ini belum ada bukti teknis yang memperkuat tudingan tersebut. Media internasional arus utama seperti Reuters dan The Washington Post juga tidak menyebut adanya peretasan dalam laporan mereka. 

Fokus utama tetap pada efektivitas sistem pertahanan Israel dalam menghadapi serangan besar-besaran.

Yang jelas, serangan siber memang terjadi. Pada 16 Juni, otoritas Israel mengakui bahwa sistem peringatan darurat sipil sempat terganggu akibat serangan siber, menyebabkan sejumlah pesan palsu yang memerintahkan warga untuk tidak memasuki tempat perlindungan bom. 

Namun gangguan ini tidak berkaitan langsung dengan sistem pertahanan militer seperti Iron Dome.

Pakar pertahanan dan siber melihat klaim peretasan ini sebagai bagian dari perang informasi yang digunakan untuk memengaruhi persepsi publik dan menjatuhkan moral lawan. 

Dalam konflik modern, disinformasi bukan lagi senjata asing. Taktik ini kerap digunakan untuk menciptakan kebingungan dan membentuk opini global. 

Pakar militer dari Tel Aviv University, Dr. Ilan Regev, menyebut tuduhan tersebut sebagai “perang psikologis” yang ditujukan untuk mencoreng reputasi teknologi pertahanan Israel.

Meski begitu, Iron Dome memang punya batasan. Beberapa analisis menyebut sistem ini bisa kewalahan jika diserang dalam jumlah besar secara simultan, bukan karena diretas, tapi karena kapasitasnya yang terbatas. 

Studi sebelumnya oleh Al Jazeera pada 2023 sudah menggarisbawahi potensi "titik jenuh" dari sistem pertahanan tersebut jika volume serangan terlalu besar dalam waktu singkat.

Ketegangan di kawasan juga makin memanas karena isu nuklir. Presiden AS Donald Trump, dalam pernyataan terbarunya di media sosial, menyerukan evakuasi dari Teheran dan menegaskan bahwa “Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir.” 

Pernyataan itu muncul setelah Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyebut Iran telah memiliki cukup uranium untuk membuat beberapa bom nuklir jika mereka memilih jalur tersebut. 

Iran sendiri bersikukuh bahwa program nuklirnya hanya untuk tujuan damai, dan telah menghentikan program senjata sejak 2003.

Pemerintah Iran pun bergerak cepat dengan mengevakuasi lebih dari 330.000 warga dari Teheran, termasuk dari rumah sakit, kantor polisi, dan instalasi penting lainnya. 

Langkah ini menjadi indikasi bahwa pemerintah Iran tidak menganggap remeh ancaman serangan lanjutan dari Israel.

Sejauh ini, tidak ada bukti kredibel bahwa sistem Iron Dome diretas. Kerusakan yang terjadi di Israel lebih disebabkan oleh volume serangan Iran yang sangat besar, bukan karena rudal pencegat yang salah sasaran. 

Narasi soal peretasan tampaknya lebih banyak berakar dari propaganda yang belum terverifikasi. Situasi ini sekaligus menunjukkan pentingnya cek fakta dan kehati-hatian dalam menerima informasi, apalagi dalam konteks konflik internasional yang sangat sensitif.