![]() |
Presiden Iran menuduh AS dan Israel sengaja membuat Timur Tengah tidak stabil demi menguasai sumber daya alam seperti minyak dan uranium. (Foto: Shutterstock) |
Amerika Serikat kembali jadi sorotan. Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, secara tegas menuduh AS sengaja menjaga ketidakstabilan di kawasan Timur Tengah untuk menjarah sumber daya alam negara-negara Islam. Pernyataan ini muncul pasca-serangan udara AS terhadap tiga fasilitas nuklir Iran pada 22 Juni 2025 lalu.
“AS ingin kawasan ini tetap tidak stabil. Mereka ingin menciptakan konflik antarsesama negara Muslim agar dapat mengontrol kekayaan alam dan menjual senjata,” tegas Pezeshkian saat melakukan panggilan resmi dengan Perdana Menteri Pakistan, Shahbaz Sharif, seperti dikutip dari Press TV, Senin (23/6/2025).
Serangan udara AS terhadap fasilitas nuklir Isfahan, Natanz, dan Fordow dilakukan menggunakan 125 pesawat, termasuk pembom siluman B-2, dan dijatuhkan bom penghancur bunker GBU-57.
Washington mengklaim serangan ini bertujuan melumpuhkan program nuklir Iran yang dituduh hendak memproduksi senjata nuklir. Namun, klaim itu belum terbukti secara internasional.
Iran membantah tuduhan tersebut dan menyebut program nuklirnya murni untuk kepentingan sipil. “Kami tidak mencari perang, tapi kami akan membalas jika diserang,” ujar Pezeshkian dalam pidato publik di Teheran.
Menurut Pezeshkian, motif utama AS bukan semata-mata soal keamanan nuklir, melainkan penguasaan geopolitik dan ekonomi.
“Mereka menjarah sumber daya alam negara-negara Islam, menghamburkan senjata ke wilayah ini, dan menyulut konflik horizontal,” tambahnya.
Pernyataan ini memperkuat persepsi yang berkembang di sejumlah negara mayoritas Muslim bahwa keterlibatan militer Barat sering kali berkorelasi dengan eksploitasi ekonomi dan politik.
Dalam panggilan telepon yang sama, PM Pakistan Shahbaz Sharif menyatakan dukungannya terhadap Iran dan mengecam serangan AS sebagai “pelanggaran hukum internasional dan Piagam IAEA.” Ia juga menegaskan bahwa Pakistan akan membawa isu ini ke forum-forum internasional.
“Dialog dan diplomasi adalah satu-satunya jalan untuk meredakan ketegangan,” kata Sharif, seperti dikutip dari Geo News.
Ketegangan ini berpotensi memperluas konflik di kawasan yang kaya akan cadangan minyak dan gas bumi.
Menurut data BP Statistical Review, Timur Tengah menyimpan lebih dari 48% cadangan minyak dunia dan 43% cadangan gas alam global.
Ketidakstabilan di wilayah ini tak hanya mengancam keamanan regional, tetapi juga pasokan energi global.
“Konflik ini akan berdampak langsung pada harga minyak dunia. Jika Iran membalas ke fasilitas AS di Teluk, kita bisa melihat lonjakan harga ke atas US$120 per barel,” ujar Dr. Farid Daryani, analis geopolitik energi dari Universitas Teheran.
Iran telah meluncurkan rudal ke pangkalan AS di Qatar, namun serangan tersebut berhasil digagalkan.
Meski begitu, Ayatollah Ali Khamenei menyatakan, “Keterlibatan militer AS akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri.”
Sejumlah negara seperti Rusia dan Irak telah menyatakan keprihatinan atas eskalasi ini. Sementara Sekjen PBB António Guterres menyebut situasi ini sebagai “eskalasi berbahaya” dan menyerukan semua pihak untuk menahan diri.
Pernyataan Pezeshkian bukan hanya kritik politik, tapi juga mencerminkan pergeseran narasi geopolitik Timur Tengah.
Ketika negara-negara di kawasan mulai mempersoalkan “kehadiran permanen” AS, tekanan terhadap Washington untuk merevisi pendekatan militernya bisa meningkat, terutama dari negara-negara mitra seperti Turki, Qatar, dan bahkan Arab Saudi yang mulai menjaga jarak dari kebijakan luar negeri agresif AS.
0Komentar