Konflik Iran-Israel membuat harga minyak dunia melonjak. Uni Eropa tunda sanksi ekspor minyak Rusia demi stabilitas pasar energi. (Foto: Straits Times)

Harga minyak dunia mendidih akibat konflik militer antara Iran dan Israel, memicu volatilitas pasar energi global. Imbasnya, Uni Eropa (UE) menunda rencana pengetatan sanksi terhadap ekspor minyak Rusia, yang menjadi sumber pendanaan utama invasi Moskow ke Ukraina. 

Keputusan ini diambil setelah harga minyak Brent sempat melonjak ke US$74,50 per barel pada 13 Juni 2025, sebelum turun ke US$71,68 pada 23 Juni 2025. 

Siapa yang diuntungkan, dan apa risikonya bagi pasar energi dunia?

Ketegangan antara Iran dan Israel, yang ditandai dengan serangan militer sejak awal Juni 2025, telah mengguncang pasar energi. 

Harga minyak Brent naik 11,09% dan WTI melonjak 12,43% secara bulanan, meski pada 23 Juni 2025 harga turun masing-masing 7,23% dan 7,54%. 

Menurut Reuters, kekhawatiran terhadap potensi gangguan pasokan di Selat Hormuz—yang mengangkut 20% pasokan minyak dunia—menjadi pemicu utama. 

Di tengah situasi ini, UE membatalkan rencana menurunkan batas harga minyak Rusia dari US$60 menjadi US$45 per barel, yang sedianya dibahas di Brussels pada 23 Juni 2025. 

“Situasi di Timur Tengah terlalu tidak stabil untuk menerapkan kebijakan baru,” ujar seorang diplomat UE kepada Politico, meminta identitasnya dirahasiakan.

Keputusan UE dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama, volatilitas harga minyak akibat konflik Iran-Israel membuat pasar energi dunia rawan guncangan. 

Kedua, lemahnya penegakan sanksi saat ini terhadap Rusia, dengan 90% ekspor minyak mentah Moskow masih melewati batas harga US$60 per barel, menurut Maria Shagina, peneliti di International Institute for Strategic Studies.

Rencana pengetatan sanksi ini awalnya didorong Ukraina dan dimasukkan dalam draf sanksi ke-18 UE pada 10 Juni 2025. 

Tujuannya adalah memotong miliaran dolar pendapatan ekspor minyak Rusia, yang digunakan untuk mendanai perang dan menutup defisit anggaran. 

Namun, tanpa dukungan Amerika Serikat, sanksi baru dinilai sulit efektif. “Batas harga adalah kartel pembeli. Tanpa AS, ini tak akan berhasil,” tegas Shagina.

Pertemuan G7 di Kanada (15-17 Juni 2025) juga gagal mencapai konsensus untuk menurunkan batas harga. 

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengakui bahwa batas harga saat ini memiliki dampak terbatas, namun tetap berfungsi menjaga stabilitas pasar. 

“Dalam beberapa hari terakhir, kita melihat harga minyak meningkat, dan pembatasan yang ada menunjukkan fungsinya,” katanya di sela KTT G7.

Penundaan sanksi ini berpotensi menguntungkan Rusia, yang tengah berjuang dengan inflasi di atas 10% dan suku bunga 21%. 

Dengan harga minyak dunia yang masih tinggi, Moskow dapat mempertahankan pendapatan ekspor untuk mendanai operasi militer dan mengatasi tekanan ekonomi domestik. 

Di sisi lain, konsumen global, termasuk Indonesia, menghadapi risiko kenaikan harga bahan bakar. Analis dari Business Insider memproyeksikan harga Brent bisa mencapai US$110 per barel sebelum stabil di US$95 pada kuartal keempat 2025. 

Dalam skenario terburuk, harga minyak bisa tembus US$130 per barel, memicu kontraksi ekonomi global sebesar 0,8%, menurut CBS News.

Bagi UE, keputusan ini mencerminkan dilema antara menekan Rusia dan menjaga stabilitas energi domestik. 

Negara-negara Eropa, yang masih bergantung pada impor energi, khawatir sanksi baru justru memperparah inflasi dan krisis biaya hidup.

Para ahli menyarankan UE memperkuat penegakan sanksi yang sudah ada sebelum memperkenalkan batas harga baru. 

“Fokus pada pelacakan ‘armada bayangan’ Rusia yang mengangkut minyak di atas batas harga,” kata Shagina. Armada ini, yang terdiri dari kapal-kapal tua tanpa asuransi Barat, telah membantu Rusia menghindari sanksi.

Di sisi lain, pasar energi global membutuhkan diversifikasi sumber pasokan untuk mengurangi ketergantungan pada Timur Tengah dan Rusia. “Investasi pada energi terbarukan dan cadangan strategis minyak harus dipercepat,” ujar Dr. John Mitchell, pakar energi dari Chatham House. 

Langkah ini dinilai krusial untuk meredam dampak geopolitik terhadap harga minyak.

Sementara itu, Indonesia perlu waspada. Sebagai importir minyak, kenaikan harga global dapat memperlebar defisit perdagangan dan menekan subsidi energi. 

Pemerintah diharapkan memperkuat cadangan minyak nasional dan mempercepat transisi ke energi hijau untuk mengantisipasi guncangan pasar.

Konflik Iran-Israel telah menyeret pasar energi ke dalam ketidakpastian, memaksa Eropa menunda strategi sanksi terhadap Rusia. 

Dengan harga minyak yang terus bergejolak, dunia kini berada di persimpangan: menjaga tekanan pada Moskow atau mengutamakan stabilitas ekonomi global. Yang jelas, tanpa langkah konkret, “ledakan harga” minyak bisa menjadi ancaman nyata bagi semua pihak.