Ketegangan Iran-Israel menyeret Irak ke ambang konflik. Netralitas rapuh Baghdad diuji di tengah perang proksi dan ancaman ekonomi global. (Foto: Unsplash)

Ketika rudal-rudal Iran meluncur dan jet tempur Israel melintas di langit Irak, pertanyaannya bukan lagi apakah Irak akan terseret ke dalam konflik besar, tetapi kapan. Di tengah lonjakan ketegangan pasca-serangan Israel ke fasilitas nuklir Iran yang menewaskan ratusan orang, Irak mendadak jadi medan paling rawan di Timur Tengah. 

Siapa yang memulai? Apa kepentingan mereka? Dan bagaimana Irak, yang masih dihuni pasukan AS dan milisi pro-Iran, bisa bertahan dari kobaran geopolitik yang makin panas?

Irak bukan pendatang baru dalam drama kekacauan regional. Sejak invasi Amerika Serikat pada 2003, negeri dua sungai ini tak pernah benar-benar berdiri di atas kaki sendiri. 

Munculnya kelompok ISIS, perang sektarian, hingga pengaruh milisi Syiah pro-Iran membuat Irak jadi wilayah rebutan antar kepentingan besar.

Titik ledak baru muncul pada 14 Juni 2025, ketika Israel melancarkan serangan udara mendadak ke sejumlah fasilitas nuklir Iran. 

Hasilnya: 224 orang tewas, lebih dari 1.800 luka-luka, dan seluruh kawasan Timur Tengah langsung siaga satu.

Irak yang berada di jalur serangan mendadak ini langsung terkena imbas. Ruang udaranya ditutup, penerbangan sipil lumpuh, dan ekonomi yang bergantung pada ekspor minyak mulai goyah.


Ketika Irak jadi panggung orang lain

Pemerintah Irak, di bawah kepemimpinan Mohammed Shia al-Sudani, bergerak cepat. Ia mengecam aksi Israel sebagai pelanggaran hukum internasional. 

Tapi itu belum cukup. Di belakang layar, Irak disebut meminta langsung ke AS agar mencegah Israel menggunakan ruang udaranya.

Ironisnya, Irak adalah rumah bagi sekitar 2.500 pasukan AS—yang katanya hadir untuk stabilisasi dan memberantas ISIS. Namun pada saat bersamaan, wilayah yang sama juga menjadi markas besar milisi Syiah seperti Kataeb Hezbollah, kaki tangan Iran di kawasan.

Menurut analis politik Sajad Jiyad kepada AFP, “Warga Irak pantas cemas. Setiap tindakan balasan bisa memicu eskalasi besar. Kedutaan AS, pangkalan militer, hingga fasilitas ekonomi semua bisa jadi target.”

Lebih dari itu, data dari Foundation for Defense of Democracies (FDD) menyebut, milisi pro-Iran di Irak memiliki kapasitas untuk menyerang Israel langsung dari wilayah Irak barat, atau mengacaukan kepentingan AS di Yordania dan Teluk.


Siapa untung, siapa buntung ?

Israel mungkin mendapat “kemenangan taktis” dengan melemahkan nuklir Iran, tapi efek jangka panjangnya bisa jauh lebih berbahaya. 

Jika milisi pro-Iran membalas di Irak, maka Washington akan terpaksa membela diri, dan lingkaran kekerasan pun dimulai lagi.

Sementara itu, Iran bermain hati-hati. Meski berapi-api dalam retorika, Iran berjanji tidak akan menyentuh kepentingan AS di Irak—janji yang oleh banyak pengamat dianggap tak lebih dari strategi waktu.

Dampak ekonominya juga tidak main-main. Irak yang memproduksi 4 juta barel minyak per hari, dengan 90% pendapatan negara dari sektor energi, kini diancam efek domino. 

Jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz sebagai balasan ke Israel, ekspor Irak akan lumpuh.

Sebuah unggahan oleh The New Region di X menyebutkan bahwa situasi ini bisa memicu gelombang inflasi baru, bukan hanya di Irak, tapi secara global.

Perbandingan: Suriah dan Irak
Lihat apa yang terjadi di Suriah: kekacauan, kehancuran, dan perang saudara karena jadi arena proksi. Irak belum sampai titik itu—tapi arahnya mulai sama. 

Bedanya, Irak punya kekuatan finansial dan pemerintahan yang relatif stabil. Namun stabilitas ini tidak akan bertahan lama jika keputusan-keputusan strategis terus diambil oleh negara lain.


Menimbang risiko dan peluang Irak

Jika ada satu hal yang pasti, itu adalah ketidakpastian. Irak berada di posisi yang tak diinginkan: harus menyenangkan dua musuh bebuyutan, Iran dan Amerika. Dan itu mustahil tanpa membayar harga politik.

Skenario Paling Realistis:

• Jika AS terus memberi lampu hijau ke Israel, milisi pro-Iran akan merasa berhak menyerang balik.

• Jika Iran menyerang aset AS dari wilayah Irak, maka Irak akan jadi medan balas dendam.

• Jika pemerintah Irak gagal mengendalikan milisi, konflik domestik hanya tinggal menunggu waktu.

Apa yang Bisa Dilakukan?

• Mendorong diplomasi multilateral, lewat jalur Liga Arab dan negara netral seperti Qatar atau Oman.

• Diversifikasi energi, dengan memutus ketergantungan pada gas Iran yang saat ini menyuplai 40% kebutuhan listrik Irak.

• Menertibkan milisi, meski ini adalah misi berisiko tinggi yang bisa memicu konflik sipil jika dilakukan secara frontal.


Irak bisa jadi korban berikutnya

Pejabat keamanan Irak sendiri sudah mengakui: “Semua orang bekerja sama untuk menjauhkan Irak dari konflik.” Tapi kerja sama itu rapuh, seperti tali tipis yang siap putus jika satu pihak menarik terlalu kuat.

Dan seperti dikatakan Sajad Jiyad secara blak-blakan, “Selama Irak tetap jadi pion di papan catur global, rakyatnya akan terus membayar harga dari ambisi orang lain.”

Irak tidak ingin berperang. Tapi dunia seolah ingin menjadikan mereka bagian dari narasi konflik. Bagi rakyat awam, ini berarti ketidakpastian hidup. Bagi pelaku bisnis, ini adalah lonceng peringatan tentang betapa rapuhnya stabilitas energi global.

Pertanyaannya tinggal satu: Berapa lama lagi Irak bisa bertahan sebelum runtuh? Dunia harus berhenti memperlakukan Irak sebagai “tanah kosong” tempat adu kekuasaan. 

Karena kali ini, jika konflik meledak, dampaknya tidak hanya dirasakan di Baghdad—tapi sampai ke bursa saham, pasar energi, dan kehidupan Anda.