Impor dari China ke Indonesia melonjak 16,8% pada Januari–Mei 2025, menekan industri tekstil lokal. UMKM dan pemerintah mulai ambil langkah defensif. (Kemenkeu.go.id)

Impor barang dari China ke Indonesia melonjak tajam sebesar 16,8% pada Januari-Mei 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ini dipicu efek domino dari kebijakan tarif tinggi Presiden AS Donald Trump terhadap Negeri Tirai Bambu. 

Barang-barang China yang gagal masuk pasar Amerika kini membanjiri pasar Indonesia, terutama di sektor tekstil.

Data dari Bea Cukai China (GACC) mencatat, nilai impor Indonesia dari China selama periode tersebut mencapai US$33,45 miliar atau sekitar Rp544,6 triliun. 

Lonjakan ini menjadikan Indonesia salah satu negara tujuan utama pelarian barang ekspor China, setelah Thailand dan Vietnam.

Sektor tekstil menjadi korban terbesar dari banjir impor ini. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mencatat, lonjakan barang tekstil impor menyebabkan penurunan drastis produksi dalam negeri dan memicu gelombang PHK di sektor garmen.

“Impor dari China tidak hanya membanjiri pasar, tapi juga menghancurkan struktur biaya industri lokal. Banyak pabrik gulung tikar karena kalah bersaing,” ujar Ketua APSyFI, Redma Gita Wirawasta pada, Jumat (21/6/2025).

Selain itu, praktik transshipment alias pengalihan jalur ekspor juga meningkat. Barang-barang China dikirim lewat negara-negara ASEAN seperti Malaysia atau Vietnam untuk menghindari tarif AS, namun akhirnya tetap masuk Indonesia. Praktik ini memperburuk kerugian industri nasional.

Menanggapi situasi ini, pemerintah tak tinggal diam. Serangkaian kebijakan trade remedies telah dan sedang disiapkan untuk membendung arus impor.

Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 70/2024 untuk memberlakukan bea masuk antidumping pada produk ubin keramik dari China. 

Selain itu, dua safeguard diberlakukan melalui PMK No. 48 dan 49/2024 untuk melindungi industri kain dan karpet.

Namun, kebijakan ini dinilai belum menyentuh sektor garmen, yang justru paling terdampak.

“Bea masuk hanya berlaku untuk HS code tertentu, sementara banjirnya justru ada di produk jadi seperti pakaian. Ini harus segera diperluas,” kritik Redma.

Sementara itu, Kementerian Perdagangan menyiapkan revisi Permendag No. 8/2024 untuk memperketat aturan impor. 

Salah satu poin penting adalah selektivitas importasi berdasarkan neraca komoditas dan pemantauan lebih ketat asal barang.

“Kami ingin mengatur impor agar tidak membunuh industri dalam negeri. Neraca komoditas akan jadi alat seleksi,” kata Plt Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Isy Karim.

Tak hanya industri besar, pelaku UMKM pun mulai menjerit. Harga barang murah dari China menenggelamkan produk lokal, terutama di e-commerce. Kementerian Koperasi dan UKM pun meluncurkan empat langkah strategis:

Memperkuat regulasi perdagangan untuk perlindungan produk lokal.

Mempermudah sertifikasi seperti NIB, halal, dan BPOM.

Mendorong pembiayaan dengan menargetkan 60% dari Rp300 triliun KUR ke sektor produksi.

Mempromosikan produk UMKM secara digital, termasuk mewajibkan marketplace menyediakan etalase khusus UMKM di halaman utama.

“Kita tidak bisa biarkan produk UMKM tenggelam. Platform digital harus bantu produk lokal naik kelas,” tegas Menteri Teten Masduki dalam konferensi pers, Rabu (19/6/2025).

Pemerintah juga menerbitkan Permendag No. 16/2024 yang mewajibkan dokumen asal nonpreferensi bagi produk dari negara yang dikecualikan dari safeguard. Langkah ini untuk menekan praktik transshipment.

Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai langkah pemerintah masih terlalu reaktif.

“Kalau tidak ada respons agresif, kita bisa jadi korban pelarian barang global. Pemerintah harus perkuat pengawasan pelabuhan dan digitalisasi sistem bea masuk,” ujarnya.

Ia juga menyarankan agar pemerintah menghidupkan kembali kampanye Bangga Buatan Indonesia, bukan hanya sebagai slogan, tetapi sebagai gerakan nasional dengan insentif konkret bagi konsumen dan produsen lokal.

Apa Selanjutnya?

DPR saat ini tengah membahas RUU Pertekstilan, yang akan membentuk lembaga khusus untuk mengatur sektor tekstil secara terintegrasi — dari produksi, distribusi, hingga hak kekayaan intelektual. 

RUU ini diharapkan rampung pada akhir 2025 dan menjadi payung hukum untuk perlindungan jangka panjang industri strategis nasional.

Namun selama itu belum berjalan, pelaku industri berharap pemerintah segera memperluas cakupan safeguard dan bea masuk ke produk garmen, serta mempercepat filterisasi produk di e-commerce.

“Kalau tidak ada tindakan tegas sekarang, 2025 bisa jadi tahun kehancuran tekstil nasional,” pungkas Redma.