![]() |
Penelitian terbaru mengungkap bahwa hanya Guyana yang mampu memenuhi seluruh kebutuhan pangannya sendiri dari 186 negara yang diteliti. (Bisnis.com) |
Isu kemandirian pangan kian mendesak di tengah berbagai tantangan global seperti perubahan iklim, konflik geopolitik, dan gangguan rantai pasok yang tak menentu. Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di Nature Food pada Mei 2025 mengungkapkan fakta mengejutkan: dari 186 negara yang dianalisis, hanya satu negara—Guyana—yang mampu memenuhi seluruh kebutuhan pangan penduduknya secara mandiri tanpa bergantung pada impor.
Temuan ini berasal dari penelitian kolaboratif antara Universitas Göttingen di Jerman dan Universitas Edinburgh di Inggris, dan memberi gambaran jelas mengenai tantangan besar yang dihadapi dunia dalam mencapai swasembada pangan.
Guyana, negara kecil di Amerika Selatan dengan populasi sekitar 800.000 jiwa dan luas wilayah lebih dari 214 ribu kilometer persegi, menjadi satu-satunya negara yang berhasil memproduksi secara lokal semua tujuh kelompok makanan utama: buah-buahan, sayuran, susu, ikan, daging, protein nabati seperti kacang-kacangan dan biji-bijian, serta makanan pokok bertepung seperti beras dan jagung.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari perpaduan antara faktor geografis dan kebijakan pertanian yang efektif. Dengan lahan subur di wilayah pesisir, iklim tropis yang mendukung pertanian sepanjang tahun, dan strategi diversifikasi hasil pangan—seperti produksi beras, tebu, dan perikanan—Guyana mampu menciptakan sistem pangan yang relatif mandiri dan stabil.
Di sisi lain, Tiongkok dan Vietnam menempati posisi berikutnya dalam hal kemandirian pangan. Kedua negara ini mampu memenuhi enam dari tujuh kategori makanan, berkat skala produksi yang luas dan sektor pertanian serta akuakultur yang kuat.
Namun demikian, keduanya masih menghadapi kendala dalam memenuhi kebutuhan akan sayuran atau protein nabati secara penuh, yang menjadi unsur penting dalam pola makan bergizi.
Penelitian tersebut juga menyoroti kekurangan serius dalam produksi pangan bergizi di berbagai belahan dunia. Hanya 46 persen negara yang mampu memproduksi cukup protein nabati seperti kacang-kacangan dan lentil. Situasi lebih buruk terjadi pada produksi sayuran, di mana hanya 24 persen negara yang mampu memenuhi kebutuhan domestik.
Tantangan ini paling mencolok terlihat di kawasan Afrika sub-Sahara, Karibia, dan sebagian Amerika Selatan, di mana keterbatasan lahan, air, serta infrastruktur pertanian menjadi hambatan utama. Sebaliknya, produksi daging justru relatif kuat, dengan 65 persen negara mampu mencukupi kebutuhan domestiknya.
Namun, keberhasilan ini sering kali datang dengan konsekuensi lingkungan yang berat, karena sistem peternakan intensif menyumbang emisi karbon dan mendorong deforestasi. Untuk produk susu, 44 persen negara mencapai swasembada, dengan Eropa sebagai wilayah unggulan.
Di sisi lain, Afrika sub-Sahara dan Oseania menghadapi kekurangan yang signifikan. Hanya seperempat negara di dunia yang mampu memproduksi ikan dan makanan laut dalam jumlah yang cukup, terutama terlihat di wilayah Rusia dan kawasan Pasifik.
Ketergantungan pada impor pangan juga menjadi sorotan utama. Negara-negara kepulauan kecil di Karibia, negara-negara di kawasan Jazirah Arab seperti Uni Emirat Arab dan Qatar, serta negara-negara berpenghasilan rendah seperti Afghanistan dan Yaman sangat mengandalkan pasokan dari luar.
Bahkan, enam negara—Afghanistan, Uni Emirat Arab, Irak, Makau, Qatar, dan Yaman—tidak mampu memenuhi satu pun kategori makanan secara mandiri, menjadikan mereka sangat rentan terhadap gangguan global dalam rantai pasok.
Menurut Dr. Jonas Stehl, peneliti utama dari Universitas Göttingen, impor bukanlah sesuatu yang harus dipandang negatif. Ia menjelaskan bahwa dalam banyak kasus, impor justru menjadi strategi logis, terutama bagi negara-negara yang memiliki keterbatasan sumber daya alam seperti tanah subur atau curah hujan yang cukup.
Namun demikian, rendahnya tingkat swasembada tetap menimbulkan risiko besar. Ketika terjadi krisis global seperti kekeringan, konflik, atau larangan ekspor, negara-negara yang terlalu bergantung pada pangan impor berisiko mengalami krisis pangan yang serius.
Studi ini menggunakan pendekatan diet Livewell yang dikembangkan oleh World Wildlife Fund (WWF) sebagai dasar penilaian kecukupan gizi. Diet ini menekankan pentingnya pola makan yang sehat dan berkelanjutan, dengan lebih banyak protein nabati, sayuran, dan biji-bijian utuh, serta pengurangan konsumsi daging, garam, lemak, dan gula.
Namun kenyataannya, banyak negara masih kesulitan memenuhi standar gizi ini, terutama dalam menyediakan sayuran dan protein nabati secara lokal. Isu kemandirian pangan juga tidak bisa dilepaskan dari konteks politik. Di banyak negara, dorongan untuk mengurangi ketergantungan pada impor semakin kuat seiring dengan meningkatnya sentimen nasionalisme.
Kemandirian pangan bukan sekadar persoalan ekonomi atau lingkungan, tetapi juga menjadi bagian dari strategi untuk menjaga stabilitas nasional di tengah ketidakpastian global. Dr. Stehl menyatakan bahwa membangun rantai pasok pangan yang tangguh sangat penting untuk menjamin kesehatan masyarakat dan ketahanan negara.
Meski demikian, swasembada pangan bukanlah solusi satu untuk semua. Negara dengan sumber daya terbatas mungkin lebih bijak jika fokus pada penguatan perdagangan regional atau pengembangan teknologi pertanian seperti pertanian vertikal, sistem irigasi efisien, dan teknik budidaya inovatif lainnya.
Studi ini juga menunjukkan bahwa kerja sama antarnegara dalam suatu kawasan, seperti dalam kerangka kerja sama GCC di Timur Tengah atau CARICOM di Karibia, dapat meningkatkan ketahanan pangan kolektif tanpa membebani sumber daya masing-masing negara.
Ke depan, ada beberapa langkah strategis yang perlu diprioritaskan. Investasi dalam pertanian berkelanjutan sangat penting untuk meningkatkan produksi tanaman bergizi. Diversifikasi pangan juga perlu didorong agar ketahanan pangan tidak bergantung pada satu jenis komoditas.
Penguatan perdagangan antarnegara di kawasan regional akan membantu mengurangi risiko akibat gangguan global, sementara kebijakan gizi nasional yang mengadopsi prinsip diet seimbang seperti Livewell dapat mendukung pencapaian ketahanan pangan sekaligus kesehatan masyarakat.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa kemandirian pangan total masih menjadi pencapaian yang sangat langka di dunia saat ini, dengan Guyana sebagai satu-satunya contoh nyata.
Namun kekurangan global dalam produksi makanan sehat seperti sayuran dan protein nabati menandakan perlunya transformasi besar dalam sistem pangan dunia. Di tengah meningkatnya risiko global, membangun sistem pangan yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak demi masa depan yang aman dan stabil.
0Komentar