Pernyataan bersama G7 pada KTT 17 Juni 2025 menegaskan dukungan terhadap Israel dan mengecam Iran sebagai biang ketegangan di Timur Tengah. Sementara China bersikap berseberangan. (Foto: REUTERS/Kevin Lamarque)


Konflik bersenjata antara Israel dan Iran memanas usai serangan udara Israel ke fasilitas di Teheran pada Jumat (13/6/2025), yang menewaskan lebih dari 220 orang, sebagian besar warga sipil. Iran membalas dua hari kemudian, memicu kekhawatiran akan perang terbuka antarnegara besar di Timur Tengah.

Merespons situasi ini, para pemimpin negara-negara maju dalam KTT G7 di Kanada pada 17 Juni 2025 menyatakan dukungan penuh untuk Israel. 

Mereka menuding Iran sebagai "sumber utama ketidakstabilan di kawasan" dan memperingatkan bahwa Iran "tidak boleh memiliki senjata nuklir dalam kondisi apapun".

Presiden AS Donald Trump bahkan meninggalkan KTT lebih awal untuk memantau konflik, memperlihatkan signifikansi isu tersebut bagi politik luar negeri AS. 

Di sisi lain, China mengecam serangan Israel dan menyatakan siap menjadi mediator, mencerminkan langkah strategis Beijing memperluas pengaruhnya di kawasan.

Konflik ini terjadi di kawasan penghasil minyak dunia, sehingga memicu kekhawatiran pasar akan efek domino pada harga energi global. 

G7 menegaskan akan mengambil langkah untuk menjaga stabilitas pasar, sementara China telah memulai proses evakuasi warganya dari Iran dan Israel.

"Jika konflik ini berlanjut, bisa memicu gangguan pasokan minyak dan meningkatkan inflasi global, terutama di negara-negara berkembang," ujar Reza Yamani, analis geopolitik dari CSIS Jakarta, Rabu (18/6/2025).

Menurut data Bloomberg, harga minyak Brent telah naik 6,2% dalam 5 hari terakhir, menembus US$ 97 per barel, level tertinggi sejak awal tahun.

Sementara itu, Iran tetap bersikeras bahwa program nuklirnya murni untuk tujuan damai di bawah payung perjanjian NPT, sedangkan Israel, yang bukan anggota NPT, tidak pernah mengonfirmasi atau menyangkal memiliki senjata nuklir.

Trump, dalam pernyataan di platform X, bahkan memberi ultimatum 60 hari kepada Iran terkait program nuklirnya. Serangan Israel disebut-sebut terjadi tepat di hari ke-61 ultimatum itu.

China memanfaatkan situasi ini untuk tampil sebagai pihak yang "netral", meski sinyal dukungan ke Iran cukup jelas. Menteri Luar Negeri Wang Yi menyatakan, “China siap berperan konstruktif dalam meredakan ketegangan” (Kemenlu China).

Beijing memiliki kepentingan besar: Iran adalah salah satu mitra energi utama, dan dalam beberapa tahun terakhir, hubungan kedua negara semakin erat, termasuk latihan militer gabungan dengan Rusia pada Maret lalu.

"China sedang membangun poros diplomasi tandingan dengan dukungan Iran, Rusia, dan bahkan Korea Utara. Ini bagian dari upaya membentuk tatanan global baru di luar dominasi Barat," jelas Dr. Lina Herlina, pakar Hubungan Internasional dari UI.

Trump kembali menuai sorotan. Ia awalnya enggan menandatangani pernyataan G7, baru menyetujuinya setelah dilakukan perubahan redaksional. Ia juga mengeluarkan pernyataan kontroversial: “Everyone should immediately evacuate Tehran!”

Lebih lanjut, Trump tidak menunjukkan ketegasan soal sanksi baru terhadap Rusia, berbeda dari negara G7 lain yang ingin memperkuat tekanan terhadap Kremlin akibat perang Ukraina.

Sikap ini memicu kekhawatiran akan retaknya solidaritas Barat. Dalam percakapan dengan PM Kanada Mark Carney, Trump bahkan menyebut pengusiran Rusia dari G8 sebagai “kesalahan”.

“Trump lebih fokus pada prioritas jangka pendek, seperti pemilu AS, dibanding konsensus global,” ucap Michael Wolff, analis politik luar negeri dari Atlantic Council.

Eskalasi konflik ini diperkirakan akan terus menjadi perhatian utama geopolitik dalam beberapa minggu ke depan. Trump telah menginstruksikan utusan khusus Steve Witkoff untuk bernegosiasi dengan Iran, namun belum ada hasil konkret.

Sementara itu, para analis menilai bahwa dampak ke pasar global sangat bergantung pada durasi dan skala konflik, terutama jika Iran memutuskan membalas secara lebih agresif atau jika Israel melanjutkan serangan.

"Jika jalur diplomasi gagal dan perang terbuka terjadi, maka harga minyak bisa menembus US$ 110 per barel, dan itu akan menjadi pukulan telak bagi ekonomi dunia yang sedang rapuh," tutup Reza Yamani.