Presiden terpilih Prabowo Subianto absen dari KTT G7 dan memilih hadir di SPIEF 2025 di Rusia. Hasilnya, Indonesia amankan dana investasi gabungan senilai US$2,29 miliar dan perluas kerja sama strategis. (Foto: Dok. Sekretariat Presiden)

Presiden Prabowo Subianto membuat keputusan yang mengejutkan dunia internasional. Alih-alih menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Kanada, ia justru terbang ke St. Petersburg, Rusia, untuk menghadiri Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg (SPIEF) 2025 pada 18–20 Juni. 

Keputusan ini diumumkan Jumat (20/6/2025) dan langsung memicu berbagai spekulasi, mulai dari arah kebijakan luar negeri Indonesia hingga hubungan dengan negara-negara Barat. 

Namun Prabowo menjawab secara langsung di hadapan Presiden Vladimir Putin dan peserta forum: “Saya ditanya, kenapa saya tidak menghadiri G7 tetapi menghadiri SPIEF. Ini bukan karena saya tidak menghargai G7. Ini karena saya sudah berkomitmen menghadiri forum ini sebelum mereka (G7) mengundang saya.”

Penjelasan itu diperkuat Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi. Menurutnya, undangan G7 baru masuk pada awal Juni 2025, sedangkan agenda kunjungan Prabowo ke Singapura dan Rusia sudah dirancang sejak Maret. 

“Secara logistik dan geopolitik, sulit untuk menyesuaikan semuanya dalam waktu yang berdekatan. Kita bicara tiga wilayah berbeda dalam waktu sempit: Asia Tenggara, Kanada, dan Rusia. Itu bukan sekadar soal protokol, tapi juga soal efisiensi diplomasi,” ujar Hasan.

Di balik keputusan tersebut, Prabowo membawa pesan yang lebih besar: Indonesia tetap teguh dalam prinsip kebijakan luar negeri “bebas dan aktif.” 

Dalam pidatonya di SPIEF, ia menggarisbawahi filosofi klasik diplomasi Indonesia, “1.000 teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak,” dan menegaskan bahwa Indonesia tidak akan bergabung dalam aliansi militer apa pun. 

“Kami ingin berteman dengan semua pihak,” katanya. Hasan juga menyebut, “Spekulasi bahwa Indonesia sedang berpaling ke blok tertentu itu tidak berdasar. Indonesia tetap netral, mandiri, dan fokus pada kepentingan nasional.”

Yang menarik, kehadiran Prabowo di SPIEF bukan hanya simbolik. Indonesia berhasil mengamankan berbagai kesepakatan ekonomi bernilai miliaran dolar. 

Salah satunya adalah pembentukan dana investasi gabungan senilai US$2,29 miliar antara Danantara Indonesia dan Dana Investasi Langsung Rusia (RDIF). 

Selain itu, Prabowo dan Putin menandatangani Declaration of Strategic Partnership yang membuka jalan bagi kerja sama pertahanan, teknologi, dan energi. 

Tidak hanya itu, Indonesia dan Uni Ekonomi Eurasia (EAEU) juga menyepakati rencana awal pembentukan kawasan perdagangan bebas (FTA) yang mencakup lebih dari 90% barang yang diperdagangkan antar kawasan bebas bea masuk. 

Berdasarkan proyeksi awal, nilai ekspor Rusia ke Indonesia bisa melonjak hingga US$300 juta dibandingkan tahun 2021, dengan komoditas unggulan seperti pupuk, ban, suku cadang otomotif, dan kayu olahan.

Sementara di Kanada, G7 justru menghadapi situasi yang lebih “loyo.” Pertemuan para pemimpin negara industri besar itu disebut gagal menghasilkan kesepakatan konkret dalam isu-isu strategis seperti konflik Rusia-Ukraina dan ketegangan Israel-Iran. 

Bahkan, AS dilaporkan menolak draft pernyataan bersama terkait Ukraina. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyindir bahwa G7 kini terlihat “pucat dan tidak relevan” dibandingkan forum-forum seperti G20 atau BRICS. 

Sentimen serupa juga digaungkan dari dalam negeri. Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno menyebut keputusan Prabowo untuk tidak menghadiri G7 sebagai langkah yang “strategis dan tepat.” 

Menurutnya, sikap G7 yang condong mendukung Israel dalam serangan ke Iran menunjukkan standar ganda dan justru memperkuat posisi Indonesia untuk mengambil jarak. 

“Ini menunjukkan keteguhan Indonesia dalam menolak segala bentuk kolonialisme dan pelanggaran kedaulatan negara lain,” katanya.

Analis politik dari Eurasia Review, Simon Hutagalung, menilai langkah Prabowo adalah cermin dari adaptasi Indonesia di dunia multipolar. 

“Ini bukan sekadar soal memilih Rusia atau G7, tapi soal menunjukkan bahwa Indonesia ingin tetap independen, tidak masuk dalam arus geopolitik global yang saling tarik-menarik,” jelasnya. 

Menurut Simon, kebijakan ini akan memperluas ruang gerak Indonesia di panggung internasional, memperkuat posisi tawar dalam negosiasi dagang, dan membuka peluang kerja sama lintas blok tanpa risiko keterikatan ideologis.

Langkah ini juga bisa dibaca sebagai sinyal bahwa di bawah Prabowo, Indonesia tak ingin hanya menjadi pengamat dalam geopolitik global, tapi menjadi pemain aktif. 

Dengan mengedepankan pragmatisme ekonomi, strategi non-blok yang tegas, dan diversifikasi kemitraan strategis, Indonesia menegaskan kembali posisinya sebagai kekuatan kunci di kawasan dan dunia. 

G7 mungkin tidak kehilangan satu kursi, tapi dunia tahu bahwa kursi itu dipilih secara sadar—demi kalkulasi yang jauh lebih besar.