Jika rezim Iran saat ini tumbang, ada tiga skenario utama yang mungkin terjadi: transisi demokratis, kembalinya monarki, atau kekacauan internal. (Foto: Fatemeh Bahrami/Anadolu Agency via Getty Images)

Tanda-tanda retaknya kekuasaan Ayatollah Ali Khamenei di Iran makin nyata. Serangan militer Israel sejak awal Juni 2025 mengguncang jantung pertahanan Iran dan memperlihatkan celah besar di tubuh kekuasaan Teheran. Di tengah tekanan luar dan dalam, muncul satu pertanyaan besar: apa jadinya jika rezim Iran tumbang?

Ketidakpastian ini bukan cuma soal politik domestik. Sebagai negara dengan cadangan minyak keempat terbesar dunia dan pengaruh kuat di kawasan Timur Tengah, gejolak di Iran langsung mengguncang harga minyak global, membuat negara-negara regional siaga, dan memicu kepanikan pasar energi.


Kenapa Rezim Iran Terancam?

Situasi politik Iran mencapai titik kritis usai serangan udara Israel pada 4 Juni 2025 menghantam 9 fasilitas strategis milik Garda Revolusi (IRGC), termasuk pangkalan rudal bawah tanah dan pusat komunikasi militer di dekat Isfahan dan Shiraz.

Serangan itu menewaskan sedikitnya 300 anggota IRGC, dan memicu krisis internal di lingkaran dalam Khamenei. 

Belum ada respons militer besar dari Iran, membuat publik berspekulasi bahwa rezim kehilangan kemampuan—atau keberanian—untuk membalas.
Di dalam negeri, protes sipil kembali meletus. Kasus kematian aktivis perempuan Kurdi di penjara akhir Mei 2025 memicu demonstrasi di lebih dari 20 kota besar. 

Gerakan “Zan, Zendegi, Azadi” (Perempuan, Kehidupan, Kebebasan) kembali menggema seperti 2022, tapi kali ini lebih terorganisir.

“Rezim ini menghadapi krisis legitimasi dan kapasitas sekaligus,” ujar Reza Ghavami, analis Timur Tengah dari University of London. “Kondisi ini belum pernah terjadi sejak Revolusi 1979.”


Skenario 1: Demokrasi Sekuler ala Reza Pahlavi

Probabilitas: 30%

Jika rezim jatuh total, salah satu skenario yang banyak dibahas adalah terbentuknya pemerintahan transisi menuju demokrasi sekuler. 

Nama Reza Pahlavi, putra mendiang Shah Iran, kembali muncul sebagai simbol oposisi di pengasingan.

Reza, yang kini bermukim di AS, telah beberapa kali menyuarakan dukungan pada gerakan rakyat dan menyerukan pembentukan dewan transisi nasional.

Survei GAMAAN 2022 mencatat bahwa 39% responden warga Iran mendukung Pahlavi sebagai pemimpin transisi. Namun, mayoritas menolak kembalinya monarki absolut.

“Saya tidak mencari mahkota, saya hanya ingin rakyat Iran bebas memilih,” kata Reza Pahlavi dalam wawancara dengan CNN, awal tahun ini.

Tantangannya adalah keterputusan antara oposisi luar negeri dengan dinamika lapangan di Iran. Banyak kelompok pro-demokrasi di dalam negeri tak mengenal tokoh-tokoh pengasingan, apalagi memercayai mereka.


Skenario 2: Kudeta Sunyi IRGC

Probabilitas: 50%

Skenario paling realistis saat ini adalah pengambilalihan kekuasaan oleh Garda Revolusi (IRGC), baik secara resmi maupun di balik layar. Sejak awal 2000-an, IRGC telah berkembang dari pasukan militer menjadi kekuatan politik dan ekonomi utama di Iran.
Mereka memiliki jaringan bisnis senilai miliaran dolar—mulai dari infrastruktur, energi, hingga teknologi. Dalam banyak hal, IRGC adalah "negara dalam negara".

“Kalau negara ini jatuh ke krisis, IRGC-lah yang paling siap ambil alih,” ujar Ali Vaez, Direktur Proyek Iran di International Crisis Group.

Kudeta militer, atau lebih halusnya, "transisi internal", bisa menghasilkan sistem otoriter gaya baru: tanpa ulama, tapi tetap represif.

Dampaknya sangat besar. Dialog nuklir dengan Barat akan mati total. Sanksi akan diperpanjang. Iran bisa berubah menjadi “Korea Utara-nya Timur Tengah”.


Skenario 3: Kekacauan Total dan Perang Saudara

Probabilitas: 20%

Skenario terburuk: kekosongan kekuasaan menciptakan vakum politik yang memicu konflik antar kelompok etnis dan sektarian. Iran bukan negara homogen: ada Kurdi, Azeri, Baluchi, Arab, dan Lur, dengan sejarah panjang konflik dan diskriminasi.

Jika pusat melemah, faksi-faksi ini bisa saling bersaing untuk wilayah dan kekuasaan. Kemungkinan munculnya milisi bersenjata dan intervensi asing—dari AS, Turki, hingga Arab Saudi—bisa memperparah kekacauan.

“Jangan lupakan, banyak wilayah perbatasan Iran sudah rawan dan rentan separatisme,” kata Dr. Sasan Tamjidi, pengamat politik Iran dari Sciences Po Paris.

Dalam kondisi seperti ini, tidak mustahil Iran terpecah menjadi beberapa zona kendali, mirip Suriah pasca-2011.


Efek Domino: Minyak, Perang, dan Pasar Dunia

Ketegangan ini sudah mulai terasa dampaknya:

Harga minyak Brent tembus US$108 per barel, naik 12% dalam dua pekan terakhir.

Pasar saham Tel Aviv dan Dubai mencatat penurunan indeks hingga 6% karena kekhawatiran konflik meluas.

AS dan Uni Eropa menyiagakan lebih dari 4.000 pasukan di Qatar dan Bahrain, sebagai antisipasi krisis pengungsi dan potensi gangguan di Selat Hormuz, jalur laut vital bagi 20% perdagangan minyak global.

Sementara itu, perusahaan minyak seperti BP, Shell, dan TotalEnergies mulai menghentikan operasional proyek eksplorasi di kawasan Teluk.

Hingga kini, belum ada respons resmi dari Dewan Keamanan PBB. AS dan Eropa menyerukan “transisi damai” dan menghindari intervensi militer langsung. 

Namun di balik layar, intelijen Barat mulai menjalin kontak dengan tokoh-tokoh oposisi dan faksi reformis di dalam Iran.

“Ini saat yang menentukan. Jika dunia pasif, Iran bisa jatuh ke dalam kekacauan seperti Suriah,” tegas Mehdi Kazemi, peneliti senior di RAND Corporation.

Nasib Iran kini berada di titik kritis. Jika Khamenei tumbang, siapa yang naik berikutnya akan menentukan nasib 90 juta rakyat, harga energi global, dan keseimbangan kekuatan di Timur Tengah.

Apakah akan lahir Iran yang lebih bebas dan demokratis? Atau justru lahir kekuasaan militer yang lebih keras dan tertutup?