![]() |
Pertumbuhan ekonomi Rusia anjlok ke 1,4% pada kuartal I 2025. Setelah dua tahun ditopang belanja perang, para pejabat mulai khawatir resesi tak bisa dihindari. (Foto: investing.com) |
Pertumbuhan ekonomi Rusia anjlok ke 1,4% pada kuartal pertama 2025, menurut data resmi terbaru. Ini merupakan angka terendah dalam dua tahun terakhir dan memicu kekhawatiran bahwa negeri Beruang Merah itu sedang menuju resesi.
Menteri Ekonomi Maxim Reshetnikov secara terbuka memperingatkan bahwa Rusia kini berada “di ambang” kontraksi ekonomi, didorong oleh melambatnya konsumsi, penurunan keuntungan bisnis, serta stagnasi industri.
“Pertumbuhan ini tak bisa bertahan lama. Sebagian besar hanya ditopang belanja militer, bukan peningkatan produktivitas,” ujar seorang pejabat senior Bank Sentral Rusia, dikutip oleh The Guardian.
Sejak invasi ke Ukraina pada Februari 2022, perekonomian Rusia memang menunjukkan daya tahan berkat pengeluaran besar untuk pertahanan.
Tapi laporan terbaru dari Kyiv Independent menyebutkan bahwa momentum itu kini mulai luntur.
Pertumbuhan PDB yang sempat mencapai 4,1% pada akhir 2023, kini terjun bebas ke 1,4% hanya dalam setahun. Lebih mencemaskan lagi, terjadi kontraksi kuartal-ke-kuartal pertama sejak 2022.
Sinyal-sinyal tekanan makin jelas. Keuntungan bisnis nasional dilaporkan anjlok hingga sepertiga pada Maret 2025. Industri minyak dan gas—yang menjadi tulang punggung ekonomi Rusia—turun lebih dari 50%.
Bahkan, pertumbuhan industri secara keseluruhan mandek di angka 1,2% antara Januari hingga April. Omset ritel yang sempat tumbuh 7,2% pada akhir tahun lalu, kini hanya 2,4% per April 2025.
Di sisi lain, inflasi masih bergentayangan di sekitar 10%, lebih dari dua kali lipat target resmi Bank Sentral yang sebesar 4%.
Untuk meredam lonjakan harga, suku bunga acuan dinaikkan agresif ke level 21% pada Oktober 2024, level tertinggi sejak 2015.
Namun langkah ini juga menahan laju investasi dan konsumsi. Baru pada Juni 2025, suku bunga diturunkan sedikit menjadi 20%.
Wakil Perdana Menteri Alexander Novak termasuk pihak yang mendesak agar pelonggaran dilakukan lebih lanjut.
“Situasi sekarang menyakitkan. Kita perlu beralih dari pendinginan ke pemanasan ekonomi,” ujarnya dalam forum ekonomi di Saint Petersburg, dikutip oleh Apluswire.
Namun, Bank Sentral menolak langkah agresif. Kepala departemen kebijakan moneternya, Andrey Gangan, memperingatkan bahwa penurunan suku bunga secara drastis justru bisa memicu inflasi lebih tinggi.
“Kebijakan moneter bukan tongkat sihir. Efeknya terbatas tanpa perubahan struktural,” katanya.
Di tengah tekanan ini, Presiden Vladimir Putin turun tangan. Dalam pidato di Forum Ekonomi Internasional Saint Petersburg, ia memerintahkan para pejabat untuk “tidak membiarkan stagnasi atau resesi.”
Ia juga menekankan pentingnya restrukturisasi ekonomi yang terlalu bergantung pada belanja militer dan ekspor energi.
Sejumlah analis mengatakan Rusia kini menghadapi pilihan sulit: mempertahankan belanja perang atau menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang.
“Teknokrat sudah memperingatkan Putin—tidak bisa punya keduanya,” tulis seorang analis dari Novaya Gazeta Europe.
Masalah struktural lain juga menghantui. Tingkat kapasitas industri telah menembus 80%, tertinggi dalam sejarah modern Rusia, menunjukkan tekanan suplai.
Tenaga kerja pun menyusut drastis, diperkirakan kekurangan dua juta pekerja akibat emigrasi dan mobilisasi militer.
Sementara itu, Dana Kekayaan Nasional—salah satu sumber cadangan fiskal utama—telah terkuras hingga tersisa hanya 2,8 triliun rubel, turun tiga kali lipat sejak awal perang.
Pasar otomotif pun berubah total. Kepergian masif produsen Barat pasca sanksi membuat Rusia bergantung pada produksi lokal dan mitra baru seperti Tiongkok, dengan kualitas dan volume yang belum tentu mampu menutup celah.
Dengan tekanan dari berbagai sisi—dari inflasi, pelemahan konsumsi, tekanan fiskal, hingga gejolak internal elite kebijakan—ekonomi Rusia kini dihadapkan pada ancaman resesi yang nyata.
Keputusan moneter dan fiskal dalam beberapa bulan ke depan akan sangat menentukan arah masa depan ekonomi negara tersebut.
“Ini bukan hanya soal angka. Ini tentang arah kebijakan nasional di tengah krisis panjang,” ujar seorang ekonom senior Eropa Timur yang tak mau disebut namanya. “Rusia harus memilih: bertahan di jalan sekarang, atau berubah arah sebelum terlambat.”
0Komentar