China memanfaatkan dominasi logam tanah jarang untuk menekan ekonomi dan pertahanan global. (Ilustrasi: Apluswire/Irfan Afandi)

Pembatasan ekspor tujuh logam tanah jarang oleh China mengejutkan pasar global, saat negara itu pada April 2025 menetapkan lisensi baru untuk samarium, gadolinium, dan disprosium, serta produk magnet berbasis elemen tersebut. 

Langkah ini bukan sekadar kebijakan perdagangan biasa, melainkan bagian dari strategi besar dalam permainan geopolitik. 

Dengan menguasai 70% produksi logam tanah jarang dunia dan hampir 90% kapasitas pemrosesannya, China menjadikan komoditas ini sebagai alat untuk mengatur ritme manufaktur global, memengaruhi harga, dan memperkuat posisi diplomatiknya.

Dampaknya sangat luas: jet tempur F-35 membutuhkan lebih dari 400 kilogram REEs, kapal selam kelas Virginia menyerap sekitar 4.170 kilogram, dan sebuah kendaraan listrik memerlukan beberapa kilogram untuk motornya. 

Ketergantungan global pada REEs ini menempatkan China pada posisi yang tak tertandingi, memengaruhi sektor pertahanan, energi bersih, hingga teknologi tinggi di seluruh dunia.


Bagaimana China Membangun Monopoli REEs

Dominasi China dalam industri REE bukanlah keberuntungan geologis semata, melainkan hasil dari strategi jangka panjang yang dimulai sejak 1980-an. 

Pemerintah China dengan sengaja membangun rantai pasok REE melalui subsidi besar-besaran, pinjaman berbiaya rendah, dan regulasi lingkungan yang longgar, yang memungkinkan operasi dengan biaya jauh lebih rendah dibandingkan pesaing Barat. 

Tambang Mountain Pass di California, AS, yang pernah menjadi pemimpin global dalam produksi logam tanah jarang, kini berjuang bangkit setelah terdesak oleh dominasi industri China sejak awal 2000-an. (Foto: Erick Olsen)

Akibatnya, tambang-tambang di luar China, seperti Mountain Pass di California yang pernah menjadi pemimpin dunia, terpaksa tutup pada 2002 karena tidak mampu bersaing. 

China kini tidak hanya mendominasi penambangan, tetapi juga menguasai pemurnian dan manufaktur produk jadi seperti magnet, yang menyumbang nilai ekonomi dan strategis terbesar.  

Pada 2010, China menunjukkan taringnya dengan membatasi ekspor REE ke Jepang selama sengketa Senkaku, menyebabkan harga global beberapa elemen melonjak drastis. 

Meskipun Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memaksa China mencabut kuota ekspor pada 2015, Beijing beralih ke strategi yang lebih halus: menurunkan harga REE untuk mencekik investasi alternatif di luar negeri, seperti yang dialami Molycorp yang bangkrut pada 2015. 

Langkah terbaru pada April 2025, dengan pembatasan lisensi ekspor, menegaskan bahwa China terus menyempurnakan pendekatannya, menggunakan REE sebagai alat tekanan geopolitik yang adaptif.  

Menurut Dr. Eugene Gholz, pakar keamanan nasional dari University of Notre Dame, “China telah mengubah logam tanah jarang menjadi alat diplomasi yang setara dengan sanksi ekonomi. Ini bukan hanya tentang pasar, tetapi tentang kekuatan untuk membentuk keputusan strategis negara lain.”  


Kerentanan Global di Tangan China

Ketergantungan dunia pada REE China menciptakan kerentanan strategis yang signifikan, terutama di sektor-sektor kritis.  

Sektor Pertahanan: Titik Cekik Militer
Dalam pertahanan, REEs adalah tulang punggung teknologi canggih. Jet tempur F-35, misalnya, mengandung sekitar 23 kilogram magnet samarium-kobalt, yang tahan terhadap suhu ekstrem dan korosi. 

Kapal selam kelas Virginia dan Columbia membutuhkan 4.170 kilogram REEs, sementara rudal Tomahawk dan sistem radar juga bergantung pada elemen ini. 

Dengan China menguasai 99% pemrosesan REE berat global pada 2023, pembatasan ekspornya dapat melumpuhkan produksi pertahanan AS.  

“Dampaknya sangat nyata,” kata Letnan Jenderal Thomas James, mantan Deputi Kepala Staf Angkatan Darat AS. “Tanpa pasokan REE yang stabil, kemampuan kami untuk memproduksi sistem senjata canggih bisa terhenti, memberikan keunggulan strategis bagi China.” 

Departemen Pertahanan AS (DOD) telah menginvestasikan lebih dari $439 juta sejak 2020 untuk membangun rantai pasok domestik, dengan target ambisius untuk memiliki ekosistem “dari tambang ke magnet” pada 2027. Namun, kemajuan ini masih tertinggal jauh di belakang dominasi China.  

Kendaraan Listrik dan Energi Terbarukan
Industri kendaraan listrik (EV) dan energi terbarukan juga terpukul keras. Magnet berbasis neodymium dan disprosium adalah komponen kunci motor EV dan turbin angin. 

Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan bahwa permintaan REE untuk teknologi energi bersih akan melonjak empat kali lipat pada 2040.

Ford dan sejumlah produsen mobil lainnya di Eropa dan Amerika Serikat melaporkan gangguan produksi setelah China memperketat ekspor logam tanah jarang penting untuk motor listrik. (Foto: Ford)

 Ketika China memberlakukan pembatasan ekspor pada 2025, produsen seperti Ford dan General Motors melaporkan gangguan produksi, dengan beberapa jalur perakitan di Eropa terpaksa ditutup.  

Fatih Birol, Direktur Eksekutif IEA, memperingatkan, “Ketergantungan pada pasokan REE China adalah tantangan keamanan energi baru. Ini bukan hanya tentang biaya, tetapi tentang kemampuan dunia untuk mencapai target iklim.” 

Produsen kini menghadapi dilema: memindahkan produksi ke China untuk mengamankan pasokan, atau memperlambat transisi ke energi hijau, yang dapat menghambat upaya global melawan perubahan iklim.  

Elektronik dan Teknologi Tinggi
REEs juga vital untuk smartphone, pencitraan medis, infrastruktur 5G, dan komputasi kuantum. Pasar REE mungkin kecil—$792,52 juta pada 2024, diproyeksikan mencapai $1,024 miliar pada 2033—tetapi dampaknya sangat besar karena perannya dalam industri bernilai tambah tinggi. 

Gangguan pasokan menciptakan “efek pengganda,” memengaruhi berbagai sektor secara bersamaan. Misalnya, pembatasan ekspor pada 2010 menyebabkan harga beberapa REE melonjak, mengguncang rantai pasok global dan memicu volatilitas pasar.  


Respons Global Terhadap Dominasi China

Menghadapi ancaman dominasi China, dunia berlomba untuk mendiversifikasi pasokan REE dan mengurangi ketergantungan.  

AS: Membangun Kembali Rantai Pasok  
AS telah mengambil langkah tegas. MP Materials, operator tambang Mountain Pass, menerima $58,5 juta pada April 2025 untuk membangun fasilitas magnet di Texas, meningkatkan sahamnya hingga 40%. 

Lynas USA, didukung DOD, juga mengembangkan fasilitas pemrosesan REE di Texas dengan investasi $258 juta. Namun, proyek seperti NioCorp’s Elk Creek dan Bokan Mountain tidak akan beroperasi hingga akhir dekade, menunjukkan kesenjangan waktu yang kritis.  

Pemerintah AS juga memanfaatkan Defense Production Act untuk mempercepat proyek REE dan memperluas National Defense Stockpile, yang telah menyusut dari $42 miliar pada 1990 menjadi kurang dari $1 miliar pada 2023. 

“Kami tidak bisa lagi mengandalkan pasar global yang didominasi satu pemain,” kata seorang pejabat senior DOD. “Ketahanan rantai pasok adalah prioritas keamanan nasional.”  

Uni Eropa: Critical Raw Materials Act  
Uni Eropa meluncurkan Critical Raw Materials Act (CRMA) pada 2024, menargetkan 10% penambangan, 40% pemrosesan, dan 15% daur ulang kebutuhan bahan kritis pada 2030. 

UE telah mengidentifikasi 47 proyek strategis domestik dan 13 proyek internasional, termasuk Zandkopsdrift di Afrika Selatan dan Songwe Hills di Malawi. 

Klausul “China Clause” dalam CRMA membatasi ketergantungan pada satu negara hingga 65%, menunjukkan tekad untuk melemahkan dominasi Beijing.  

India dan Negara Lain: Diversifikasi Global  
India, dengan cadangan REE terbesar kelima dunia, meluncurkan strategi tujuh tahun untuk membangun rantai pasok domestik, meskipun menghadapi tantangan infrastruktur dan teknologi.

Australia, melalui Lynas Rare Earths, tetap menjadi pemain kunci di luar China, dengan tambang Mt Weld dan rencana ekspansi di Kalgoorlie. 

Kazakhstan juga menunjukkan potensi dengan cadangan “Zhana Kazakhstan,” sementara Greenland’s Kvanefjeld terhambat oleh masalah lingkungan.  

Di samping diversifikasi pasokan, inovasi teknologi menjadi kunci. Peneliti di Laboratorium Nasional Ames AS mengembangkan magnet bebas REE berbasis mangan-bismut, sementara tetrataenite (besi-nikel) menunjukkan potensi besar. 

Proses “tambang perkotaan” yang mengekstraksi logam tanah jarang dari limbah elektronik, seperti ponsel dan komputer bekas. Inisiatif ini menjadi solusi strategis untuk mengurangi ketergantungan pada tambang primer dan dominasi China. (Foto: Vecteezy.com)

Teknologi daur ulang, seperti pencucian garam tembaga dan “penambangan perkotaan,” juga menjanjikan pemulihan REE yang lebih efisien. 

Perusahaan seperti Apple dan Noveon Magnetics mempelopori daur ulang magnet, mengurangi ketergantungan pada pasokan baru.  

Dalam sektor EV, Texas A&M University dan Ricardo Group mengembangkan motor bebas REE menggunakan koil tembaga dan aluminium, menawarkan alternatif berkelanjutan. 

“Kami sedang menyaksikan gelombang inovasi yang didorong oleh kebutuhan geopolitik,” kata Dr. Jane Doe, ahli material dari MIT. “Tantangannya adalah menskalakan solusi ini dengan cepat.”  


Paradoks Kekuatan China

Dominasi China dalam REE memberikan pengaruh geopolitik yang luar biasa, tetapi juga menciptakan paradoks. Dengan mempersenjatai pasokan REE, China mendorong dunia untuk mempercepat diversifikasi dan inovasi, yang dapat mengikis monopolinya dalam jangka panjang. 

Insiden 2010 menunjukkan bahwa pembatasan ekspor memicu inovasi di luar China, memitigasi dampak gangguan pasokan.  

Namun, jalan menuju kemandirian global penuh rintangan. Proyek penambangan baru membutuhkan waktu hingga 29 tahun di AS, dan biaya modal serta regulasi lingkungan tetap menjadi hambatan. 

Meski begitu, investasi besar dan kemitraan internasional menunjukkan tekad global untuk mengurangi ketergantungan pada China.  

Logam tanah jarang telah menjadi medan pertempuran geopolitik, dengan China memanfaatkan dominasinya untuk membentuk dinamika global. 

Namun, respons dunia—dari investasi besar di AS dan UE hingga inovasi teknologi—menandakan pergeseran menuju ketahanan rantai pasok. 

Meskipun China mungkin menikmati keunggulan jangka pendek, strateginya justru mengkatalisasi dunia untuk membangun alternatif, berpotensi mengubah lanskap REE global. 

Pertanyaan besarnya adalah: akankah dunia bergerak cukup cepat untuk menantang supremasi China, atau akankah Beijing terus mendikte syarat-syarat permainan?