Garuda Indonesia masih terjebak dalam ekuitas negatif senilai Rp23 triliun. Kini, Danantara sebagai pemegang saham mayoritas dihadapkan pada tugas berat menyelamatkan maskapai nasional dari krisis keuangan yang berkepanjangan. (REUTERS/Beawiharta)

PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), maskapai nasional Indonesia, sedang menghadapi masa sulit dalam upaya memperbaiki kondisi keuangan dan operasionalnya. Kini, peran utama dalam penyelamatan Garuda berada di tangan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, yang resmi menjadi pemegang saham mayoritas dengan porsi 64,54% melalui PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). 

Dengan kondisi perusahaan yang belum stabil, tanggung jawab Danantara pun sangat besar. Artikel ini membahas lebih dalam tentang peran Danantara, kondisi keuangan Garuda, rencana pengembangan armada, dan kemungkinan perubahan manajemen, di tengah tantangan besar untuk memulihkan maskapai ini secara berkelanjutan.

Danantara ambil alih kendali

Pada Maret 2025, Danantara mengambil alih sekitar 59,05 miliar saham Garuda atau 64,54% kepemilikan, melalui pengalihan saham Seri B dan Seri C ke BKI. 

Ini menandai babak baru, di mana Danantara menggantikan posisi pemerintah yang sebelumnya menjadi motor utama penyelamatan Garuda. 

Sebagai bagian dari strategi nasional, Danantara ditugaskan mempercepat proses restrukturisasi, mengingat Garuda sudah lama dibebani kerugian dan kondisi keuangan yang lemah.

Namun jadi pemilik mayoritas bukan berarti jalan mulus. Garuda masih jadi simbol kebanggaan nasional, tapi belum bisa memberikan keuntungan finansial yang berarti. 

Sebelumnya, pemerintah sempat menggelontorkan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp7,5 triliun pada 2022 dan tambahan dana melalui rights issue, tapi hasilnya belum maksimal. Kini, Danantara harus mengelola aset yang secara fundamental masih sangat rentan.

Pendapatan naik, tapi masih rugi

Laporan keuangan kuartal I 2025 menunjukkan pendapatan usaha Garuda naik jadi US$723,56 juta (sekitar Rp12 triliun), naik 1,62% dibanding periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ini didorong pertumbuhan jumlah penumpang sebesar 24%, serta pendapatan dari penerbangan berjadwal dan tidak berjadwal. 

Namun sayangnya, beban usaha juga meningkat jadi US$718,35 juta, sehingga Garuda tetap mencatat rugi bersih sebesar US$76,48 juta (Rp1,26 triliun). Meski begitu, kerugian ini turun 12,12% dibandingkan tahun sebelumnya.

Masalah terbesar justru ada di ekuitas negatif Garuda yang membengkak menjadi US$1,43 miliar (Rp23,71 triliun) per Maret 2025, naik 5,82% dari akhir 2024. 

Total utang Garuda mencapai US$7,88 miliar, sementara total aset hanya US$6,45 miliar. Artinya, Garuda masih sangat tergantung pada bantuan modal dari luar untuk tetap beroperasi.

Rencana suntikan dana dan tambahan armada

Untuk membantu memperkuat kondisi keuangan, Danantara berencana menyuntikkan dana US$500 juta ke Garuda, dengan target realisasi pada Juli 2025. CEO Danantara, Rosan Roeslani, menyatakan bahwa rencana ini masih dikaji, menandakan pendekatan yang hati-hati. 

Dana ini diharapkan dapat memperkuat struktur permodalan dan menjaga kelangsungan operasional Garuda dalam jangka pendek.


Di saat bersamaan, Garuda juga mengusulkan penambahan 15 armada pesawat baru guna meningkatkan kapasitas layanan. Saat ini, Garuda mengoperasikan sekitar 46 pesawat, sementara 15 pesawat lainnya—termasuk 14 milik Citilink—harus grounded karena masalah perawatan dan keuangan. 

Danantara tengah mengevaluasi permintaan tersebut, dan bahkan membuka opsi jangka panjang untuk menambah hingga 100 pesawat. Langkah ini dianggap penting agar Garuda tetap kompetitif, apalagi setelah mencatat prestasi sebagai maskapai paling tepat waktu di dunia pada Mei 2025, dengan tingkat ketepatan 98,39%.

Wacana perombakan manajemen

Restrukturisasi besar ini juga membuka peluang perubahan di tubuh manajemen. Salah satu wacana yang mencuat adalah penunjukan direktur asing, dengan tujuan meningkatkan profesionalitas dan efisiensi. 

Meski belum ada kepastian hingga Juni 2025, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang dijadwalkan akhir bulan ini kemungkinan akan membahas hal ini secara resmi.

Saat ini, Garuda dipimpin oleh Captain Wamildan Tsani Panjaitan, yang menjabat sebagai Presiden Direktur sejak November 2024. Bila direktur asing benar-benar ditunjuk, ini bisa membawa sudut pandang baru dalam pengelolaan perusahaan. 

Namun, langkah ini juga berpotensi menimbulkan reaksi dari pemangku kepentingan nasional, mengingat posisi strategis Garuda sebagai maskapai milik negara.

Meski ada peningkatan di sisi operasional, tantangan besar masih membayangi Garuda. Ekuitas negatif, tumpukan utang, dan ketergantungan pada dana eksternal memperlihatkan bahwa pemulihan tak bisa hanya mengandalkan tambal sulam. 

Dibutuhkan pendekatan menyeluruh—dari efisiensi biaya, pengelolaan utang, hingga strategi pertumbuhan yang realistis.

Sebagai pemegang saham mayoritas, Danantara punya kesempatan untuk menyusun strategi jangka panjang yang lebih terarah. Tapi tentu saja, ini harus dilakukan dengan manajemen risiko yang hati-hati. 

Kolaborasi dengan pemerintah dan mitra internasional juga akan sangat menentukan, agar Garuda bisa kembali menjadi maskapai kebanggaan Indonesia yang sehat secara bisnis.

Dengan suntikan modal US$500 juta dan rencana ekspansi armada, Danantara kini berada di garis depan dalam upaya penyelamatan Garuda Indonesia. Di satu sisi, Garuda menunjukkan kemajuan lewat peningkatan pendapatan dan capaian operasional yang membanggakan. 

Tapi di sisi lain, masalah mendasar seperti ekuitas negatif dan utang besar masih jadi beban berat. Jika evaluasi berjalan hati-hati dan perubahan manajemen bisa membawa angin segar, maka Garuda punya peluang untuk bangkit. Meski demikian, jalan menuju pemulihan penuh masih panjang dan penuh tantangan.