Tanpa tambang, dunia modern tak bisa bertahan. Dari mobil listrik hingga panel surya, semua butuh logam bumi. (Foto: JIBI/Nurul Hidayat)

Saat dunia gencar beralih ke energi hijau, tambang—yang selama ini dituding merusak lingkungan—justru jadi tulang punggung transisi ini. Nikel, tembaga, dan litium diburu demi baterai mobil listrik dan panel surya. Namun di Raja Ampat, wilayah laut dengan biodiversitas tertinggi yang baru diakui sebagai Geopark Global UNESCO, aktivitas tambang justru menuai penolakan.

Pada 10 Juni 2025, pemerintah mencabut izin empat perusahaan tambang akibat protes besar warga dan pegiat lingkungan. 

Tapi satu nama tetap bertahan: PT Gag Nikel, anak usaha Antam, dengan konsesi seluas 13.136 hektare—dua kali lipat dari luas Pulau Gag yang hanya 6.500 hektare.

Ekspansi ini memicu kekhawatiran luas. Menurut laporan Mongabay, eksploitasi tambang mengancam ekosistem laut dan darat yang rapuh. 

“Tambang akan membawa kerusakan permanen. Yang terjadi di pulau lain jadi bukti,” kata Arif Suherman, peneliti ekologi laut dari Universitas Papua.

Faktanya, kerusakan sudah terjadi. Greenpeace mencatat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi asli rusak. Laut pun tak luput. 

Conservation International memperingatkan dampaknya terhadap wilayah pemijahan tuna, yang menopang industri perikanan senilai US$1,5 miliar (Rp24 triliun).

Sektor pariwisata ikut terancam. Kompas melaporkan bahwa sedimentasi akibat tambang mengurangi visibilitas bawah laut—daya tarik utama diving di Raja Ampat.

Kondisi ini menggarisbawahi dilema tambang di pulau kecil. Saat ini, 35 pulau kecil di Indonesia masuk dalam konsesi tambang. Dan ketika alam rusak, pemulihannya nyaris mustahil.


Tambang Tak Bisa Dihindari: “90% Kehidupan Modern Butuh Mineral”

Namun di sisi lain, fakta menunjukkan dunia modern tak bisa hidup tanpa tambang. Data USGS menyatakan bahwa 90% peralatan yang digunakan manusia—dari smartphone, mobil listrik, turbin angin, hingga jaringan listrik—bergantung pada mineral seperti nikel, tembaga, bauksit, dan litium.

Mineral seperti nikel, tembaga, litium, dan kobalt menjadi bahan utama dalam 90% teknologi yang menopang kehidupan sehari-hari, mulai dari transportasi hingga energi hijau. (Foto: Ist)

“Energi hijau butuh logam lebih banyak daripada energi fosil,” kata Fatih Birol, Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA), dalam laporan 2021. “Permintaan mineral seperti nikel dan tembaga akan naik hingga enam kali lipat.”

Nikel jadi kunci utama dalam transisi ini. Bahan utama baterai kendaraan listrik dan penyimpan energi. Tak heran Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar dunia, menjadi incaran investor dan industri global.


Tambang Dongkrak Ekonomi, Tapi Siapa Diuntungkan?

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan sektor pertambangan menyumbang Rp2.198 triliun atau 10,5% terhadap PDB Indonesia 2023. 

Penerimaan negara dari sektor ESDM tembus Rp269,6 triliun pada 2024, sementara nilai investasi melonjak hingga Rp529 triliun.

Namun, manfaat ke masyarakat lokal belum merata. Kasus di Raja Ampat menunjukkan ketimpangan nyata. 

Setelah izin empat perusahaan dicabut, sekitar 900 pekerja kehilangan pekerjaan. Sementara masyarakat adat merasa tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam proses perizinan—melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang diakui secara global.

“Tidak bisa hanya negara yang diuntungkan. Masyarakat lokal harus dilibatkan secara substansial,” kata Ferry Tanaya, peneliti tata kelola sumber daya dari LPEM UI.

Kondisi ini berbeda jauh dengan negara seperti Australia, Kanada, atau Norwegia, yang mampu menjadikan tambang sebagai sumber kemakmuran sekaligus tetap menjaga lingkungan.

Australia, misalnya, menerapkan standar Towards Sustainable Mining (TSM), yang mewajibkan perusahaan tambang melakukan reklamasi, transparansi data emisi, dan pelibatan masyarakat sejak tahap eksplorasi. 

Di Kanada, standar serupa diterapkan oleh Mining Association of Canada (MAC) dan diaudit independen.

“Mereka tidak hanya ambil mineral, tapi investasi kembali ke masyarakat dan lingkungan,” ujar Shakira Azmi dari IISD, lembaga kebijakan publik global.


Usulan Dana Abadi Tambang

Salah satu ide besar yang muncul dari situasi ini adalah pembentukan Dana Abadi Tambang. Gagasan ini disampaikan dalam diskusi dengan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia di Melbourne.

Dana ini diusulkan untuk menyisihkan 1–2% royalti tambang guna mendanai riset energi terbarukan, menjaga cadangan fiskal jangka panjang, dan mengurangi dampak lingkungan dari industri ekstraktif. (Foto: Shutterstock)

Berbeda dengan LPI atau Danantara yang bersumber dari APBN dan aset BUMN, Dana Abadi Tambang akan dibiayai dari royalti tambahan 1–2% dari perusahaan tambang. Dana ini ditujukan untuk:

Cadangan fiskal jangka panjang,

Riset energi hijau,

Investasi energi terbarukan,

Program pendidikan di daerah tambang.

Dengan produksi nikel Indonesia mencapai 1,8 juta ton (Statista, 2024) dan harga rata-rata US$15.000/ton, maka royalti 1% saja bisa menghasilkan sekitar US$270 juta (Rp4,4 triliun) per tahun. Angka ini belum termasuk potensi dari tambang tembaga, emas, dan batu bara.

Menariknya, biaya produksi tambang di Indonesia jauh lebih murah dibanding Australia Barat. Beberapa perusahaan nikel di sana bahkan menghentikan operasi karena tidak mampu bersaing.

“Indonesia punya keunggulan biaya. Jadi royalti 1–2% tidak akan mengurangi daya saing secara signifikan,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS.

Ke Mana Arah Selanjutnya?

Kunci dari semua ini adalah tata kelola. Dunia butuh tambang. Indonesia butuh investasi. Tapi bukan berarti harus membayar dengan hancurnya lingkungan dan marjinalisasi masyarakat lokal.

Solusinya:

Terapkan standar ESG ketat dengan sanksi jelas.

Wajibkan FPIC untuk semua konsesi tambang.

Bangun Dana Abadi Tambang agar generasi masa depan juga mendapat manfaat.

Diversifikasi ekonomi lokal, agar warga tidak hanya bergantung pada tambang semata.

Indonesia sedang berdiri di persimpangan: ikut jejak negara gagal seperti Kongo dan Venezuela yang kaya tapi konflik, atau meniru Australia dan Norwegia yang makmur berkat tambang yang dikelola dengan transparansi dan keberlanjutan.

Karena satu hal pasti: dunia tanpa tambang adalah mimpi. Tapi dunia dengan tambang yang buruk bisa menjadi mimpi buruk. Pilihannya ada di tangan kita.