![]() |
Amerika Serikat mengerahkan kapal induk USS Nimitz dan armada pendukung ke Timur Tengah di tengah memanasnya konflik Iran-Israel. (Foto: Wikipedia) |
Amerika Serikat mengirim kapal induk USS Nimitz ke kawasan Timur Tengah mulai 18 Juni 2025, di tengah memanasnya konflik militer antara Israel dan Iran. Langkah ini disebut sebagai “tindakan pencegahan” untuk mencegah eskalasi lebih lanjut yang bisa menyeret negara-negara besar masuk ke dalam pusaran perang terbuka.
Keputusan pengerahan armada tempur ini diumumkan setelah Iran meluncurkan lebih dari 400 rudal balistik dan ratusan drone ke Israel pada 13 Juni, sebagai respons atas serangan udara Israel ke fasilitas nuklir dan militer Iran di Isfahan, Mashhad, dan Tehran.
“Kapal induk ini membawa sekitar 5.000 personel dan lebih dari 70 jet tempur. Tujuannya bukan untuk menyerang, tapi mencegah pihak mana pun memperluas konflik,” ujar juru bicara Pentagon, Letkol Thomas Reaver, dikutip dari CNN International, Rabu (18/6/2025).
Ketegangan Israel-Iran sudah berlangsung lama, namun meningkat drastis pasca-Operasi Singa Bangkit yang diluncurkan Israel.
AS, meskipun secara terbuka mendukung hak Israel untuk membela diri, berusaha menahan diri agar tidak terlibat langsung dalam konflik.
Namun, pengiriman USS Nimitz ke kawasan Teluk Persia menunjukkan bahwa Washington mulai mengambil posisi strategis untuk mengamankan kepentingan militernya dan aliansinya di wilayah tersebut.
“Kehadiran militer AS bersifat simbolik dan strategis. Ini peringatan keras untuk Iran dan sinyal ke Rusia serta China agar tidak memanfaatkan kekosongan kekuatan di Timur Tengah,” kata Michael Pregent, analis keamanan dari Hudson Institute, kepada NBC News.
Konflik militer ini langsung mengguncang pasar global. Premi asuransi pengiriman di Teluk Persia melonjak 35% dalam satu minggu, memicu kekhawatiran akan terganggunya rantai pasok energi dan perdagangan internasional.
“Ini sangat mirip dengan krisis Selat Hormuz 2019. Sekali tanker minyak dihantam rudal atau drone, harga minyak bisa melonjak 10–15% dalam semalam,” jelas Rebecca Barnett, analis energi dari S&P Global.
Bahkan sebelum ada intervensi langsung AS, harga minyak jenis Brent sudah melonjak ke US$ 93 per barel, tertinggi sejak Januari 2024.
Presiden AS Donald Trump yang sedang menjalani masa jabatan keduanya menegaskan bahwa AS tidak akan mengirim pasukan ke medan perang, kecuali jika ada serangan langsung terhadap fasilitas atau warganya.
“Kami tidak ingin perang besar-besaran. Tapi kalau mereka menyentuh satu jari warga Amerika, balasannya akan sangat berat,” tegas Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih, Rabu (18/6/2025).
Trump juga mengatakan bahwa pengerahan kapal induk hanya sebagai “penghalang strategis”, bukan sinyal akan adanya serangan mendadak.
Beberapa analis memperkirakan bahwa jika ketegangan ini tidak mereda dalam dua pekan ke depan, maka ada kemungkinan salah satu pihak akan menyerang kapal asing, memancing reaksi militer dari negara-negara NATO atau Rusia yang punya kepentingan di kawasan.
“Jika Teluk Persia terganggu, maka dunia bisa melihat harga minyak menyentuh US$ 110 per barel dalam skenario terburuk,” kata Josh Young, CEO Bison Interests, kepada Bloomberg.
Pasar keuangan juga mulai menunjukkan kecemasan. Indeks saham global seperti MSCI Emerging Markets turun 2,1% sejak 13 Juni, sementara nilai tukar dolar AS menguat tajam akibat lonjakan permintaan aset safe haven.
Kenaikan harga minyak global bisa berdampak ke Indonesia dalam bentuk peningkatan subsidi energi, lonjakan inflasi, hingga potensi penyesuaian harga BBM dalam waktu dekat.
“Kalau harga Brent tembus US$ 100, maka pemerintah harus memilih: tambah subsidi atau naikkan harga BBM. Keduanya akan berdampak pada daya beli masyarakat,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS.
0Komentar