![]() |
Iran resmi menjadi anggota BRICS sejak Januari 2024. Namun, perang Iran-Israel memicu potensi perpecahan di tubuh BRICS akibat perbedaan sikap antar anggota. (Foto: AFP) |
Konflik Iran-Israel yang makin memanas sejak pertengahan Juni 2025 bisa memicu perpecahan di internal BRICS. Ketegangan ini bukan cuma soal geopolitik, tapi juga berpotensi mengguncang stabilitas ekonomi negara-negara anggota seperti India, China, hingga Rusia.
Iran yang resmi masuk BRICS sejak 1 Januari 2024, kini jadi pusat konflik dengan Israel. Serangan langsung dan aksi balasan yang terus terjadi membuat para ekonom menilai BRICS rentan terbelah karena perbedaan posisi politik masing-masing negara anggota.
Dukungan terbuka Rusia dan China terhadap Iran dinilai menjadi sumber friksi internal. Rusia baru saja meneken pakta pertahanan dengan Iran, meski masih enggan kirim bantuan militer langsung karena sibuk di Ukraina.
Sementara China mengutuk serangan Israel dan berharap bisa berperan sebagai mediator, terutama karena Beijing sangat bergantung pada minyak Iran.
India ada di posisi serba salah. Negara ini punya hubungan dagang erat dengan Iran dan Israel sekaligus. Sikap netral India bisa jadi titik panas baru di internal BRICS, apalagi jika tekanan politik dari Rusia dan China makin besar.
“Polarisasi politik ini bisa merubah dinamika di solidaritas itu sendiri,” ujar ekonom INDEF Tauhid Ahmad dalam webinar ISEI Jakarta, Senin (23/6). “Rusia dan China sangat mendukung posisi Iran, sementara negara lain cenderung netral.”
Pengamat hubungan internasional Dinna Prapto Raharja juga menyebut BRICS rentan karena ketimpangan kekuatan di dalamnya.
“Tantangan BRICS itu distribusi power yang tidak seimbang. Problem BRICS adalah membangun narasi alternatif, yang sulit karena AS dan Eropa tak ingin kehilangan pengaruh,” jelas Dinna.
Jika konflik makin meluas dan menutup Selat Hormuz — jalur 20% ekspor minyak dunia — harga minyak diprediksi bisa melonjak ke US$150–180 per barel. Lonjakan ini akan memukul negara importir seperti India dan China.
Sebaliknya, Rusia sebagai eksportir justru bisa untung. Pendapatan dari ekspor minyak bisa menopang biaya perang di Ukraina.
Tapi lonjakan harga minyak juga berisiko mendorong inflasi global dan memperberat beban ekonomi negara-negara berkembang.
“Apalagi Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab sangat bergantung pada jalur ini untuk ekspor minyak ke Asia dan Eropa,” kata Tauhid.
Bukan cuma harga minyak yang bikin pusing. Tarif sewa tanker bisa naik 40–140%, yang akan memperparah ongkos logistik global. Imbasnya, harga barang di negara-negara BRICS juga bisa ikut naik.
Kondisi pasar keuangan global ikut tertekan. Investor menghindari aset berisiko, imbasnya yield obligasi naik dan mata uang negara berkembang tertekan.
“Ujung-ujungnya bisa mendorong kenaikan yield obligasi dan biaya pinjaman internasional hingga pelemahan mata uang lokal,” jelas Tauhid.
India dan China bisa menghadapi tekanan ganda: harga minyak mahal dan arus modal keluar. Rupiah dan yuan bisa terdepresiasi, dan utang luar negeri makin mahal.
Brazil dan Afrika Selatan yang relatif tidak bergantung langsung pada minyak Timur Tengah tetap berisiko kena efek domino dari ketidakpastian pasar global.
Di media sosial, isu ini ramai dibahas. Beberapa akun seperti @Ronnie_Rusli menyebut konflik ini “by design” untuk menekan BRICS yang makin solid pasca masuknya Iran. Ada juga yang berharap kemenangan Iran bisa memperkuat posisi BRICS sebagai penyeimbang dominasi AS dan NATO.
Namun di balik narasi politik itu, kenyataan di lapangan menunjukkan tantangan serius. BRICS yang digadang-gadang jadi alternatif G7 justru diuji kekompakannya dalam menghadapi krisis.
Atlantic Council menyebut konflik ini bisa memberi ruang bagi Rusia mengambil keuntungan dari fokus AS yang terbelah, tapi juga menyimpan risiko jika rezim Iran runtuh dan mengurangi pengaruh Rusia di kawasan.
China juga disebut-sebut ingin tampil sebagai penengah, tapi dilema energi dan stabilitas kawasan membuat Beijing belum tentu ambil langkah konkret.
Jika perang terus meluas, bukan tidak mungkin BRICS akan menghadapi tekanan internal lebih besar. Perbedaan sikap politik, ketimpangan ekonomi, hingga dampak eksternal seperti harga minyak dan gejolak pasar bisa menjadi bom waktu.
“Sulit menjaga solidaritas jika masing-masing negara punya kepentingan yang bertabrakan,” ujar Dinna.
Jika BRICS gagal bersatu di tengah krisis besar seperti ini, pertanyaan besar pun muncul: apakah koalisi ini benar-benar siap jadi kekuatan tandingan global, atau hanya simbol semata?
Ekonom menilai, stabilitas internal BRICS akan sangat bergantung pada kemampuan anggotanya mengelola perbedaan dan menyusun strategi bersama dalam menghadapi gejolak geopolitik yang kian kompleks.
0Komentar