Menteri Luar Negeri Iran membantah klaim Donald Trump soal gencatan senjata dengan Israel. Belum ada kesepakatan resmi, konflik masih berpotensi meluas. (Foto: via REUTERS/Iranian Army)

Iran resmi membantah klaim Amerika Serikat soal kesepakatan gencatan senjata dengan Israel pada Selasa (24/6/2025). Padahal sebelumnya, mantan Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa kedua negara telah setuju menghentikan serangan mulai pukul 04:00 GMT (11:00 WIB). 

Pernyataan keras Iran langsung memicu lonjakan ketidakpastian geopolitik dan tekanan terhadap pasar energi global.

Klaim soal gencatan senjata awalnya disampaikan Trump melalui platform Truth Social. Ia menyebut Iran dan Israel telah menyetujui penghentian konflik bersenjata secara bertahap, dimulai dengan penarikan mundur pasukan Iran disusul Israel 12 jam kemudian.

Namun, beberapa jam setelah pengumuman itu, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi membantah keras. "Tidak ada kesepakatan gencatan senjata yang tercapai. 

Iran hanya akan menghentikan operasi jika Israel terlebih dahulu menghentikan agresi ilegalnya," ujarnya dalam konferensi pers di Teheran.

Kebingungan muncul karena hingga pukul 11:00 WIB tidak ada laporan serangan baru dari kedua pihak. 

Meski begitu, belum ada konfirmasi resmi dari Israel, sementara Iran tetap pada posisi menunggu aksi lawan sebelum mengambil langkah lebih lanjut.

Ketegangan ini langsung berdampak ke pasar energi global. Harga minyak mentah Brent naik tajam ke US$85 per barel pada Senin (23/6), melonjak lebih dari 15% dalam sepekan terakhir. 

Lonjakan ini dipicu kekhawatiran atas gangguan pasokan dari kawasan Teluk, terutama di Selat Hormuz — jalur penting pengiriman sepertiga suplai minyak dunia.

“Pasar sangat sensitif terhadap risiko geopolitik di Timur Tengah, apalagi jika menyangkut Iran dan Israel. Setiap ketidakjelasan soal gencatan senjata bisa memicu panic buying,” kata Anas Alhajji, analis energi senior, dikutip dari Bloomberg.

Tak hanya minyak, indeks saham global juga sempat mengalami tekanan intraday, terutama sektor transportasi dan manufaktur yang rentan terhadap fluktuasi harga energi.

Bantahan Iran juga dipengaruhi eskalasi militer beberapa hari sebelumnya. Iran meluncurkan rudal ke pangkalan AS di Qatar pada 23 Juni sebagai respons atas operasi rahasia AS bernama “Midnight Hammer” — yang menghantam fasilitas nuklir Iran di Isfahan, Natanz, dan Fordow. 

Serangan ini menyebabkan kerusakan berat pada infrastruktur strategis Iran, menurut laporan internal Badan Energi Atom Internasional (IAEA).

Parlemen Iran juga memutuskan untuk menangguhkan kerja sama dengan IAEA, yang dinilai “tak mampu melindungi integritas teknis situs nuklir dari serangan asing,” kata juru bicara parlemen Iran dalam pernyataan resmi.

Menurut Dr. Trita Parsi, analis senior di Quincy Institute, pernyataan Iran bukan berarti menolak perdamaian, tapi lebih kepada penegasan posisi. 

“Iran tak ingin terlihat tunduk di bawah tekanan Trump atau Israel. Mereka ingin memastikan de-eskalasi berjalan sesuai kepentingan strategis Teheran,” ujarnya kepada Al Jazeera.

Hal senada disampaikan Dr. Sanam Vakil dari Chatham House. Ia menilai kegagalan komunikasi dan ketiadaan verifikasi independen menjadi tantangan utama. “Tanpa pihak ketiga netral seperti PBB atau Qatar, sulit menjamin bahwa kedua belah pihak akan patuh pada kesepakatan verbal.”

Jika tidak ada serangan tambahan dalam 24 jam ke depan, bisa jadi konflik mulai mereda meski belum ada kesepakatan tertulis. 

Namun, risiko eskalasi masih besar, apalagi jika aktor non-negara seperti Hizbullah atau Houthi ikut terlibat.

PBB, Uni Eropa, dan negara-negara Teluk seperti Qatar serta Arab Saudi didorong untuk segera memfasilitasi dialog resmi. 

Di sisi lain, dunia internasional menanti apakah IAEA akan mendapat akses untuk menilai kerusakan fasilitas nuklir Iran sebagai langkah awal meredakan ketegangan.

Untuk saat ini, Timur Tengah tetap berada di ujung tanduk. Pasar dan publik global hanya bisa berharap bahwa upaya diplomasi tidak sekadar jadi janji di atas kertas.