Indonesia kini berada di titik krusial dalam upaya modernisasi pertahanannya, dengan ambisi memperkuat kapabilitas militer sekaligus membangun industri pertahanan dalam negeri. Perkembangan terbaru yang terungkap dalam Indo Defence 2024 Expo dan Forum, yang digelar pada 11–14 Juni 2025 di Jakarta, memperlihatkan tantangan besar sekaligus peluang yang tengah dihadapi.
Salah satu temuan mencolok dari Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI) menunjukkan bahwa sekitar 72% dari program pesawat nirawak (UAV) Indonesia hanya sampai tahap prototipe, sebagian besar disebabkan oleh kurangnya dukungan pemerintah terhadap adopsi teknologi.
Di sisi lain, Indonesia menjadi sorotan karena penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) untuk mendapatkan 48 jet tempur generasi kelima Kaan dari Turki, menandai pergeseran strategis menuju kemitraan internasional dalam memperkuat armada udara.
Stagnasi program drone Indonesia
Upaya Indonesia membangun industri pertahanan yang mandiri tercermin dalam berbagai program pengembangan sistem nirawak, terutama drone yang penting untuk keperluan intelijen, pengawasan, pengintaian (ISR), dan aplikasi sipil maupun militer lainnya.
Namun, dalam diskusi panel bertema “From Global Trends to National Strategy: Integrating Emerging Tech into Indonesia’s Defence Landscape”, Direktur Riset ISI, Curie Maharani, mengungkap fakta mengejutkan:
“Kurangnya dukungan pemerintah Indonesia khususnya untuk adopsi teknologi, seperti 72% program drone di Indonesia, berakhir pada tahapan prototipe saja,” ujarnya dalam pernyataan resmi, dikutip Sabtu (14/6/2025).
Hal ini menandakan adanya hambatan besar dalam realisasi ambisi teknologi Indonesia. Tanpa pendanaan yang memadai, insentif kebijakan, dan infrastruktur produksi massal, proyek-proyek ini gagal berkembang menjadi sistem yang siap operasional.
“Program yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan keamanan di berbagai sektor, serta mengembangkan kemampuan industri drone dalam negeri tersebut tak sampai ke produksi massal,” lanjutnya.
Kondisi ini berdampak pada lambatnya pertumbuhan industri drone nasional, yang seharusnya menjadi pilar kedaulatan teknologi dan pendorong pembangunan ekonomi.
Drone misalnya bisa digunakan untuk memantau ribuan pulau Indonesia, termasuk kawasan rawan seperti Papua, di mana ISR sangat penting untuk menjaga kedaulatan wilayah.
Untuk menutupi kekosongan ini, Indonesia mulai menggandeng mitra luar negeri. Pada 2023, Indonesia memesan 12 drone Anka-S dari Turki, diikuti oleh MoU kerja sama pengembangan drone pada 2025.
Langkah ini mencerminkan pendekatan pragmatis, namun juga menyoroti kelemahan dalam sistem inovasi domestik.
“Emerging technology membuka berbagai cakrawala strategi dan kesempatan taktis yang tidak bergantung terhadap satu senjata saja, melainkan sistem integrasi yang canggih,” terang Curie.
Kesepakatan jet tempur Kaan
Berbeda dari nasib program drone, Indonesia mengambil langkah tegas dalam modernisasi angkatan udaranya dengan menandatangani MoU pembelian 48 jet tempur Kaan dari Turki pada 11 Juni 2025.
Kesepakatan bernilai lebih dari $10 miliar ini disebut oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sebagai ekspor pertahanan terbesar negaranya.
Jet Kaan yang melakukan penerbangan perdananya pada 2024 dirancang dengan teknologi siluman dan kemampuan multirole.
Rencana pengiriman dimulai tahun 2028, dan pada 2030 mesin pesawat diharapkan sudah menggunakan produksi dalam negeri.
Kesepakatan ini sangat selaras dengan target Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan anggaran pertahanan menjadi 1,5% dari PDB pada 2029. Saat ini, TNI AU masih mengandalkan pesawat tua buatan AS, Rusia, dan Inggris, banyak di antaranya sudah waktunya diganti.
Namun, Brigjen TNI Frega Wenas, Kepala Biro Informasi Kemhan, mengingatkan bahwa kesepakatan tersebut masih tahap awal.
“Belum ada pembicaraan lebih detil tentang rencana pembelian Pesawat Kaan. Termasuk, perihal harga hingga jumlah pesawat yang akan dibeli pemerintah dari Turki,” ujarnya.
Meski belum final, MoU ini mencerminkan kedekatan hubungan pertahanan Indonesia–Turki, yang sebelumnya sudah dimulai lewat kerja sama pengembangan pabrik drone tempur Baykar.
Upaya modernisasi yang lebih luas
Kesepakatan Kaan hanyalah salah satu bagian dari strategi besar Indonesia untuk mendiversifikasi mitra pertahanannya. Selain Turki, Indonesia juga menandatangani MoU dengan Boeing untuk 24 unit F-15EX, meski belum dikonfirmasi sebagai pesanan final.
Sementara itu, kerja sama dengan Korea Selatan dalam proyek jet tempur KF-21 mengalami hambatan akibat keterlambatan pembayaran kontribusi Indonesia, yang baru menyetor $437 juta dari total komitmen $1,16 miliar.
China juga menawarkan 42 unit jet tempur bekas J-10, memperlihatkan pendekatan Indonesia yang tidak berpihak (non-aligned) dan berupaya menyeimbangkan kepentingan strategis di tengah rivalitas global.
Dalam pandangan Muhammad Hadianto, Ketua Dewan Penasehat ISI, pendekatan ini sangat penting:
“Pentingnya integrasi teknologi-teknologi baru untuk mendukung postur pertahanan yang tangguh, berdaulat, dan adaptif—sehingga memungkinkan Indonesia untuk mendorong kawasan Indo-Pasifik yang stabil,” ujarnya.
Teknologi canggih yang mulai dilirik Indonesia
Indo Defence 2024 juga memperlihatkan minat besar Indonesia terhadap teknologi masa depan. Dari sistem anti-drone TNI AD hingga prototipe taksi terbang, pameran ini menjadi ajang demonstrasi ambisi teknologi pertahanan Indonesia.
Curie Maharani menekankan bahwa teknologi seperti UUV, CIU, dan sistem luar angkasa adalah aset strategis masa depan.
Stagnasi program drone menandakan adanya kesenjangan serius dalam dukungan terhadap inovasi dalam negeri.
Reformasi kebijakan, pendanaan yang lebih kuat, dan sinergi dengan industri swasta menjadi kunci agar teknologi UAV tak hanya berhenti di laboratorium.
Sementara itu, kesepakatan besar seperti jet tempur Kaan memberi momentum penting, tapi juga menuntut kehati-hatian dalam pembiayaan dan transfer teknologi.
Posisi Indonesia yang menjalin kerja sama dengan berbagai negara juga membawa tantangan diplomasi tersendiri.
Lanskap pertahanan Indonesia tengah mengalami transformasi, dipacu oleh aspirasi nasional dan kemitraan strategis global.
Tantangan dalam pengembangan drone mencerminkan perlunya dukungan lebih besar terhadap inovasi lokal, sementara MoU jet tempur Kaan menandai langkah berani menuju modernisasi kekuatan udara.
Indo Defence 2024 menjadi panggung penting untuk menampilkan ambisi ini. Namun, visi besar itu hanya akan berhasil jika disertai dengan komitmen kebijakan yang kuat dan strategi yang konsisten untuk mewujudkan postur pertahanan yang mandiri, adaptif, dan berpengaruh di Indo-Pasifik.
0Komentar