Sebuah pesawat Boeing 747 milik Qatar tampak berada di landasan Bandara Internasional Palm Beach usai kunjungan Presiden Donald Trump untuk meninjau pesawat tersebut pada 15 Februari. (Foto: Getty Images)

Keputusan Donald Trump untuk menerima hadiah sebuah pesawat jet Boeing 747 dari pemerintah Qatar telah memicu badai kritik dan kekhawatiran di Washington. Jet mewah yang dijuluki "istana terbang" itu disebut-sebut akan dimodifikasi menjadi pesawat kepresidenan, menggantikan armada Air Force One yang telah menua. 

Namun, di balik keputusan tersebut terselip sederet isu kontroversial—mulai dari dugaan suap asing hingga potensi pelanggaran hukum federal dan ancaman terhadap keamanan nasional.

Jet Boeing 747-8 yang diterima pemerintahan Trump berusia 13 tahun dan belum memenuhi standar keamanan tinggi yang diwajibkan untuk pesawat kepresidenan. 

Rencana untuk memodifikasi jet ini agar setara dengan Air Force One yang sedang dibangun diperkirakan menelan biaya lebih dari $1 miliar—tanpa rincian pasti dari Pentagon mengenai siapa yang menanggungnya dan bagaimana prosesnya akan berlangsung.

Yang menjadi sorotan tajam bukan hanya nilai hadiah itu sendiri, tetapi juga waktunya. Penerimaan jet terjadi tak lama setelah kunjungan Trump ke Qatar, bagian dari tur Timur Tengah yang juga mencakup UEA dan Arab Saudi. 

Banyak yang menilai keputusan ini bukan sekadar gestur diplomatik, melainkan bagian dari transaksi politik yang lebih besar dan belum sepenuhnya terungkap.

Kritik Tajam dari Parlemen

Reaksi keras datang terutama dari Partai Demokrat. Senator Chuck Schumer menyebut langkah Trump sebagai "hari kelam dalam sejarah" dan mengklaim bahwa hadiah tersebut merupakan "suap terbesar dari pemerintah asing dalam sejarah AS." 

Senator Chris Murphy mempertegas tuduhan itu dengan menyatakan bahwa ini adalah bentuk korupsi yang terang-terangan, di mana sebuah negara asing memberi aset berharga dengan harapan memperoleh pengaruh terhadap kebijakan keamanan nasional AS.

Pernyataan ini tidak hanya bernada politis. Undang-undang Amerika Serikat secara tegas melarang pejabat publik menerima hadiah dari pemerintah asing, terutama bila berpotensi memengaruhi keputusan atau arah kebijakan. 

Meskipun Gedung Putih berdalih bahwa jet ini akan digunakan untuk kepentingan negara, banyak pihak melihat adanya konflik kepentingan yang tidak bisa diabaikan.

Qatar: Sekutu atau Pemain Strategis?

Latar belakang hubungan AS-Qatar memperumit isu ini. Pada 2017, Trump sendiri pernah menuduh Qatar sebagai “pendana terorisme.” Namun dalam beberapa tahun terakhir, hubungan kedua negara tampak membaik, dengan kerja sama ekonomi dan pertahanan yang meningkat. 

Kini, pemberian jet ini justru menimbulkan pertanyaan baru: apakah Qatar sedang berusaha membeli kembali pengaruhnya di Washington?

Beberapa anggota parlemen bahkan mengungkap kekhawatiran bahwa pesawat tersebut mungkin sudah dipasangi perangkat pengintaian atau memiliki celah keamanan. 

Perdana Menteri Qatar membantah tuduhan ini, menyebut hadiah tersebut sebagai "hal wajar antar sekutu." Namun dalam konteks geopolitik modern—terutama dengan meningkatnya ketegangan global dan perlombaan teknologi pengawasan—keraguan semacam ini tidak bisa diabaikan begitu saja.

Proyek Air Force One yang Terlunta

Ironisnya, kontroversi ini muncul di tengah keterlambatan proyek Air Force One yang sedang dikerjakan Boeing. Dua pesawat baru yang dirancang khusus untuk menggantikan armada lama dari era 1990-an mengalami penundaan hingga 2027, dengan anggaran membengkak mencapai $5 miliar. 

Di tengah kekacauan ini, Trump menyebut penerimaan jet dari Qatar sebagai “keputusan cerdas” karena “akan bodoh jika menolaknya.”
Namun pernyataan tersebut justru memperkuat tudingan bahwa keputusan ini lebih didorong oleh kepentingan pribadi atau politis ketimbang kepentingan nasional.

Kasus jet Qatar bukan hanya soal hadiah mahal, melainkan cerminan konflik yang lebih besar antara etika pemerintahan, kepentingan nasional, dan pengaruh asing. 

Ketika seorang presiden menerima aset bernilai tinggi dari negara lain, pertanyaan yang muncul bukan sekadar soal legalitas, tetapi juga soal loyalitas—kepada siapa pejabat publik seharusnya bertanggung jawab.

Apakah ini bentuk diplomasi modern atau praktik yang membahayakan integritas negara? Jawabannya masih akan berkembang seiring penyelidikan dan perdebatan yang terus memanas. Namun satu hal sudah jelas: transparansi dan akuntabilitas kini menjadi kebutuhan mendesak dalam setiap kebijakan luar negeri AS.