CEO Medco Energy, Roberto Lorato, mengungkap bahwa Indonesia memerlukan investasi hingga Rp 2,2 kuadriliun untuk mendukung proyek hilirisasi migas nasional. Ini jadi kunci menuju ketahanan energi 2030. (VIVA/Dusep Malik)

Indonesia tengah menapaki jalan ambisius dalam sektor energi: menciptakan ketahanan energi nasional melalui hilirisasi industri minyak dan gas bumi. Dengan target produksi sebesar 1 juta barel minyak per hari dan 12 BCF gas per hari pada 2030. pemerintah menempatkan sektor migas sebagai motor transformasi ekonomi nasional. 

Namun, di balik ambisi tersebut, terbentang tantangan besar yang menuntut kolaborasi, investasi masif, dan terobosan kebijakan. Transformasi sektor migas, khususnya hilirisasi, memerlukan fondasi investasi yang kokoh. 

CEO Medco Energy, Roberto Lorato, menekankan bahwa sektor hulu membutuhkan suntikan dana sekitar US$140 miliar (setara Rp2,2 kuadriliun). Namun, kebutuhan terbesar justru ada di sektor hilir, yang diperkirakan butuh dua kali lipat lebih besar, mencapai US$280 miliar.

Ini bukan sekadar angka. Besarnya kebutuhan dana mencerminkan kompleksitas pengembangan infrastruktur hilir: pembangunan kilang, jaringan distribusi, dan fasilitas pengolahan gas yang berteknologi tinggi. Tanpa komitmen investasi jangka panjang, target produksi yang dicanangkan akan menjadi retorika semata.

Untuk menarik investor global, pemerintah telah menggulirkan berbagai kebijakan proaktif. Penyederhanaan perizinan, insentif fiskal yang fleksibel, dan pembukaan ruang eksplorasi baru menjadi langkah awal. 

Lebih dari itu, peningkatan kualitas SDM dan dukungan terhadap riset berbasis standar internasional menjadi pilar penting bagi daya saing industri nasional.

Namun demikian, efektivitas kebijakan sangat tergantung pada konsistensi implementasi di lapangan. Iklim usaha yang transparan, birokrasi yang efisien, serta kepastian hukum masih menjadi PR besar yang harus diselesaikan bersama.

Hilirisasi migas bukan hanya soal produksi atau angka konsumsi energi. Ini adalah agenda transformasional yang menyasar struktur ekonomi nasional secara menyeluruh. 

Diproyeksikan, pada tahun 2040, sektor hilir mampu menyumbang US$14,7 miliar terhadap PDB, membuka 70.000 lapangan kerja baru, serta mendongkrak ekspor hingga US$68,6 miliar.

Angka-angka ini menunjukkan potensi luar biasa sektor ini dalam mendiversifikasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah. 

Transformasi hilir juga akan memperkuat rantai pasok domestik, menciptakan nilai tambah, dan menumbuhkan industri turunan seperti petrokimia dan energi terbarukan berbasis gas.

Melihat skala investasi dan dampak ekonomi yang ditargetkan, wajar jika hilirisasi disebut bukan lagi semata strategi ekonomi, melainkan agenda kedaulatan nasional. Indonesia tidak hanya ingin menjadi penghasil migas, tetapi juga pengelola yang mengendalikan nilai tambahnya di dalam negeri.

Dalam konteks global yang makin kompetitif dan penuh ketidakpastian—termasuk transisi energi dunia—membangun sektor hilir yang kuat adalah langkah krusial untuk memastikan kemandirian dan ketahanan energi jangka panjang.

Dengan potensi besar dan proyeksi keuntungan ekonomi yang menjanjikan, hilirisasi migas harus dijalankan dengan pendekatan lintas sektor dan komitmen jangka panjang. 

Tidak ada waktu untuk ragu. Kebijakan yang konsisten, dukungan investor, dan sinergi antar-pemangku kepentingan menjadi kunci utama menuju masa depan energi Indonesia yang berdaulat dan berkelanjutan.

Seperti yang ditegaskan oleh CEO Medco Energy, “Hilirisasi lebih dari sekadar strategi ekonomi, ini adalah agenda transformasional nasional.” Maka dari itu, tugas bersama kita adalah menjadikannya nyata.