![]() |
Presiden Trump yakin kesepakatan dengan Iran akan memberi akses penuh bagi AS untuk memeriksa dan bahkan menghancurkan situs nuklir tanpa korban jiwa. (Foto: Washington Post) |
Dunia kembali menyoroti negosiasi nuklir antara Amerika Serikat dan Iran, yang kini berada di bawah sorotan Presiden Donald Trump. Dalam sebuah pernyataan di Gedung Putih pada 28 Mei, Trump mengungkapkan visinya tentang kesepakatan yang memungkinkan AS untuk memeriksa fasilitas nuklir Iran secara menyeluruh, bahkan hingga menghancurkan infrastruktur tertentu seperti laboratorium, tanpa menyebabkan korban jiwa.
"Kita bisa masuk dengan inspektur, mengambil apa yang kita mau, bahkan meledakkan apa yang perlu, tapi tak ada yang terluka," katanya dengan nada optimis, seolah menawarkan solusi yang tegas namun tetap damai.
Pernyataan ini mencerminkan pendekatan Trump yang ingin menunjukkan kekuatan sekaligus menjaga jalur diplomasi, sebuah keseimbangan yang tidak selalu mudah dicapai. Negosiasi ini dimulai sekitar pertengahan April 2025, ketika AS mengirimkan sinyal untuk membuka kembali pembicaraan dengan Iran.
Sejak itu, kedua belah pihak telah bertemu beberapa kali, termasuk di Roma, dengan bantuan negara seperti Oman sebagai perantara. Fokus utama pembicaraan adalah program nuklir Iran, khususnya soal pengayaan uranium, yang menjadi titik krusial.
Iran bersikukuh bahwa program mereka hanya untuk keperluan energi damai, seperti pembangkit listrik tenaga nuklir. Sementara itu, AS menekankan perlunya Iran menghentikan pengayaan uranium sepenuhnya, sebuah tuntutan yang masih sulit diterima Teheran.
Meski begitu, ada tanda-tanda kemajuan. Iran, misalnya, dikabarkan mulai membuka pintu bagi inspektur AS untuk bergabung dalam tim Badan Energi Atom Internasional (IAEA), sebuah langkah yang sebelumnya dianggap tabu.
Trump terdengar sangat yakin bahwa kesepakatan bisa tercapai dalam hitungan minggu. "Kami sudah membuat banyak kemajuan," ujarnya, menyebutkan bahwa utusan khususnya, Steve Witkoff, sedang bekerja keras untuk menyelesaikan detail akhir.
Namun, di balik nada optimis ini, ada tantangan besar. Salah satunya adalah ketegangan dengan Israel, sekutu dekat AS, yang terus mendorong pendekatan militer terhadap Iran.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan mempertimbangkan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran, sebuah langkah yang menurut Trump bisa mengacaukan proses negosiasi.
"Saya bilang ke Netanyahu, jangan lakukan itu sekarang, kita sedang di jalur yang baik," kata Trump, menegaskan bahwa ia lebih memilih penyelesaian melalui meja perundingan.
Pernyataan Trump tentang kemungkinan menghancurkan fasilitas nuklir tanpa korban jiwa memang terdengar dramatis, tapi belum jelas apakah ini benar-benar menjadi bagian dari usulan resmi AS dalam negosiasi.
Iran sendiri belum memberikan tanggapan langsung terhadap pernyataan ini, tetapi sikap mereka selama ini menunjukkan resistensi terhadap tekanan yang dianggap berlebihan.
Presiden Iran Masoud Pezeshkian baru-baru ini menyatakan bahwa negaranya bisa bertahan tanpa kesepakatan, menunjukkan bahwa Teheran tidak ingin terlihat lemah di hadapan AS.
Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi, yang memimpin tim negosiasi, menyebutkan bahwa kemajuan nyata bisa tercapai dalam beberapa pertemuan ke depan.
Latar belakang sejarah menambah kompleksitas pembicaraan ini. Pada 2018, Trump menarik AS dari kesepakatan nuklir sebelumnya, JCPOA, yang memicu Iran untuk mempercepat program nuklirnya.
Kini, dengan pendekatan baru, Trump tampaknya ingin menciptakan kerangka yang lebih ketat, dengan akses inspeksi yang luas dan kemampuan untuk bertindak jika Iran melanggar perjanjian. Namun, tantangan teknis dan politik masih besar.
Iran, misalnya, menegaskan bahwa mereka membutuhkan uranium untuk keperluan sipil, sementara AS dan sekutunya khawatir bahwa pengayaan ini bisa menjadi langkah menuju senjata nuklir.
Di tengah dinamika ini, dunia menunggu apakah negosiasi ini akan menghasilkan terobosan atau justru menemui jalan buntu. Bagi Iran, kesepakatan yang sukses bisa membuka peluang untuk meredakan sanksi ekonomi yang telah lama membebani negaranya, membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi.
Bagi AS, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa diplomasi bisa bekerja, sekaligus menjaga stabilitas di Timur Tengah. Trump sendiri menyebut bahwa kesepakatan ini bisa membawa Iran menuju masa depan yang lebih baik, sebuah visi yang ambisius namun penuh harapan.
"Mereka bisa punya negara yang hebat," katanya, seolah membayangkan hubungan yang lebih harmonis di masa depan.
Hingga akhir Mei 2025, belum ada pengumuman resmi tentang kesepakatan final. Namun, dengan pembicaraan yang terus berlangsung dan nada optimis dari Trump, ada harapan bahwa kedua belah pihak bisa menemukan titik temu.
Yang jelas, proses ini akan terus menjadi sorotan, bukan hanya karena implikasinya terhadap Iran dan AS, tetapi juga karena dampaknya terhadap keseimbangan kekuatan di kawasan yang selalu penuh gejolak ini.
0Komentar