Indonesia tengah mendorong hilirisasi batu bara menjadi DME sebagai alternatif pengganti LPG. Proyek ini diharapkan meniru keberhasilan hilirisasi nikel. (Foto: ANTARA/Syifa Yulinnas)

Indonesia tengah mempercepat langkah hilirisasi sumber daya alam untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada impor. Salah satu inisiatif yang menjadi sorotan adalah pengembangan gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME), yang diharapkan menjadi alternatif pengganti liquefied petroleum gas (LPG). 

Proyek ini, yang digagas melalui kolaborasi antara pemerintah dan pelaku industri seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dianggap memiliki potensi besar untuk meniru kesuksesan hilirisasi nikel, meskipun masih menghadapi sejumlah tantangan signifikan.

Kementerian Investasi dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) optimistis bahwa hilirisasi batu bara dapat mengikuti jejak nikel, yang telah berhasil meningkatkan nilai ekonomi melalui pengembangan teknologi smelter dan riset berkelanjutan. 

Menurut pejabat BKPM, kunci keberhasilan hilirisasi nikel terletak pada inovasi teknologi yang mampu menghasilkan produk bernilai tinggi secara efisien. Pendekatan serupa diharapkan dapat diterapkan pada DME, dengan harapan riset yang intensif akan menghasilkan teknologi gasifikasi yang lebih hemat biaya. 

Meski begitu, pengembangan DME saat ini masih terhambat oleh skala keekonomian yang belum optimal, berbeda dengan nikel yang telah memiliki ekosistem industri yang lebih matang. Proyek DME sendiri dirancang untuk mengurangi beban impor LPG, yang saat ini menelan biaya hingga Rp80 triliun per tahun dari total kebutuhan Rp100 triliun. 

Dengan kapasitas produksi 1,4 juta ton DME per tahun, proyek yang dimulai pada Januari 2022 di Muara Enim, Sumatra Selatan, diharapkan dapat menggantikan sebagian besar impor LPG dan menekan subsidi energi yang mencapai Rp60-80 triliun setiap tahunnya. 

Namun, tantangan besar muncul dari sisi biaya produksi. Estimasi biaya DME domestik mencapai US$911-987 per ton, jauh lebih tinggi dibandingkan harga impor LPG sekitar US$470 per ton. Angka ini juga melampaui ekspektasi awal pemerintah pada 2021 yang mematok biaya produksi DME sekitar US$310 per ton.

Selain masalah biaya, proyek ini juga menghadapi kendala teknis. Infrastruktur distribusi, seperti jaringan pipa sepanjang 172 kilometer dan konversi peralatan rumah tangga seperti kompor, menjadi hambatan signifikan. PTBA, sebagai pelaksana utama, juga harus berjuang mencari mitra strategis setelah penarikan diri Air Products & Chemicals Inc pada 2023. 

Saat ini, perusahaan sedang menjajaki kerja sama dengan sejumlah perusahaan asal China, termasuk East China Engineering Science and Technology Co Ltd (ECEC), yang telah mengajukan usulan awal pada November 2024 dengan biaya pengolahan antara US$412-488 per ton. Meski begitu, komitmen investasi penuh dari mitra potensial masih belum tercapai, menambah ketidakpastian proyek.

Pemerintah tidak tinggal diam menghadapi tantangan ini. Presiden Prabowo Subianto, melalui Tim Transisi Energi, telah memerintahkan percepatan proyek DME di empat lokasi di Sumatra dan Kalimantan pada Maret 2025, dengan pendanaan dari Dana Nusantara. 

BKPM juga aktif mencari pembeli potensial (off-taker) untuk memastikan pasar bagi produk DME, sekaligus mengundang investor dari berbagai negara untuk bergabung. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik proyek dan mempercepat pengembangan teknologi yang lebih efisien.

Namun, sejumlah pihak menawarkan perspektif alternatif. Selain DME, PTBA juga sedang mengeksplorasi produk hilirisasi lain, seperti grafit sintetis untuk baterai dan asam humat untuk pertanian, yang dinilai memiliki prospek ekonomi lebih menjanjikan. 

Investasi untuk grafit sintetis, misalnya, diperkirakan mencapai Rp287 miliar dengan target operasional pada 2029, sementara asam humat hanya membutuhkan Rp5,74 miliar dan siap beroperasi pada 2026. Di sisi lain, ada usulan untuk beralih ke solusi energi yang lebih bersih, seperti kompor listrik induksi. 

Studi menunjukkan bahwa kompor listrik dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 46% pada 2030 jika didukung oleh energi terbarukan, sekaligus menawarkan efisiensi biaya yang lebih baik dibandingkan DME.

Meskipun hilirisasi batu bara menjadi DME memiliki visi ambisius untuk memperkuat kemandirian energi, tantangan ekonomi dan teknis masih menjadi batu sandungan. 

Keberhasilan proyek ini akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dan industri untuk menemukan terobosan teknologi, sebagaimana yang telah dicapai dalam hilirisasi nikel. 

Untuk saat ini, eksplorasi alternatif seperti grafit sintetis dan elektrifikasi rumah tangga tampaknya dapat menjadi solusi pelengkap yang lebih realistis, sambil menunggu DME mencapai kelayakan ekonomi yang diharapkan. 

Dengan komitmen kuat dari berbagai pemangku kepentingan, Indonesia tetap memiliki peluang untuk mewujudkan potensi hilirisasi batu bara, sekaligus menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan lingkungan.