![]() |
Setelah Ukraina menghentikan transit gas Rusia per 1 Januari 2025, ketahanan energi Eropa menghadapi tantangan besar. (Foto: CARSURIN) |
Krisis energi yang melanda Eropa pada awal 2025 menimbulkan beragam reaksi dan tudingan, salah satunya mengarah kepada Ukraina sebagai penyebab utama gangguan pasokan gas alam. Pada tanggal 1 Januari 2025, Ukraina resmi menghentikan transit gas Rusia yang selama puluhan tahun melewati wilayahnya, sebuah langkah yang memang sudah diperkirakan sejak kontrak lima tahun antara Gazprom dan Ukraina berakhir pada 2024.
Keputusan ini menandai berakhirnya era panjang transit gas Rusia melalui jalur Ukraina ke berbagai negara Uni Eropa, khususnya di kawasan Eropa Tengah dan Timur. Hungaria, yang selama ini menjadi salah satu pengguna utama gas Rusia yang transit lewat Ukraina, secara tegas menyatakan kekecewaannya.
Menteri Luar Negeri Hungaria, Peter Szijjarto, secara terbuka menuding Ukraina sebagai penyebab langsung kenaikan harga gas sebesar 20 persen di pasar Eropa, serta menyebut langkah Kyiv sebagai tindakan yang merugikan keamanan energi kawasan.
Tuduhan ini mencerminkan ketegangan yang makin meningkat antara beberapa negara Eropa Tengah yang masih sangat bergantung pada pasokan gas Rusia dan upaya Ukraina untuk mengambil sikap tegas pasca invasi Rusia pada 2022.
Namun, situasi sebenarnya jauh lebih kompleks. Meskipun transit gas melalui Ukraina dihentikan, pasokan gas ke negara-negara Eropa Tengah tidak sepenuhnya terhenti.
Negara-negara seperti Hungaria dan Serbia beradaptasi dengan menggunakan jalur alternatif seperti pipa TurkStream yang melintasi Turki dan Balkan, serta memperbanyak impor LNG dari Amerika Serikat dan Qatar.
Pasokan gas alternatif ini terbukti membantu mengurangi dampak langsung dari penghentian transit melalui Ukraina, meskipun biaya energi secara umum tetap mengalami tekanan kenaikan.
Uni Eropa sendiri tengah menjalankan strategi ambisius untuk mengurangi ketergantungan pada energi Rusia secara keseluruhan dengan target penghentian impor energi Rusia pada tahun 2027.
Dalam rencana ini, Uni Eropa berencana melarang kontrak baru dengan pemasok Rusia mulai akhir 2025 dan menghentikan kontrak jangka panjang paling lambat 2027.
Kebijakan ini mendapat perlawanan kuat dari negara-negara seperti Hungaria dan Slovakia yang menilai langkah tersebut berpotensi memperburuk harga energi dan mengancam kedaulatan energi nasional mereka.
Ketegangan internal ini menyoroti perbedaan prioritas dan kepentingan di antara anggota Uni Eropa dalam mengelola transisi energi di tengah dinamika geopolitik yang penuh tekanan.
Walaupun ada upaya diversifikasi dan peralihan pasokan, fakta bahwa Eropa masih membeli gas dan energi lain dari Rusia senilai puluhan miliar euro per tahun menunjukkan bahwa pemutusan hubungan energi tidak bisa dilakukan secara instan tanpa konsekuensi ekonomi.
Perjalanan menuju ketahanan energi yang lebih mandiri di Eropa pun harus melalui banyak tantangan, baik dari sisi politik maupun infrastruktur. Penunjukan Ukraina sebagai kambing hitam dalam krisis energi ini, walaupun memiliki dasar dari sudut pandang beberapa negara, sebenarnya mengabaikan konteks geopolitik yang lebih luas.
Keputusan Ukraina untuk menghentikan transit gas adalah bagian dari upaya mengurangi ketergantungan pada Rusia yang juga didorong oleh invasi Rusia sejak 2022 dan ambisi Ukraina untuk lebih dekat dengan Uni Eropa.
Sementara itu, Uni Eropa dan negara-negara anggotanya harus terus menyeimbangkan kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan energi dalam menghadapi situasi yang kompleks dan dinamis ini.
Dengan demikian, krisis energi yang terjadi pada awal 2025 tidak bisa semata-mata disalahkan pada Ukraina. Ini adalah hasil dari kombinasi faktor termasuk geopolitik, perubahan kebijakan energi Uni Eropa, dan upaya diversifikasi pasokan yang belum sepenuhnya terwujud.
Masa depan keamanan energi Eropa akan sangat bergantung pada bagaimana negara-negara Eropa dapat beradaptasi, berinovasi, dan berkolaborasi untuk mengurangi ketergantungan pada sumber energi yang rawan gangguan.
Di tengah perjalanan itu, menuding satu pihak sebagai kambing hitam justru bisa memperkeruh suasana tanpa menyelesaikan masalah yang ada.
0Komentar