![]() |
Studi terbaru mengungkap bahwa emisi karbon dari perang Israel di Gaza melampaui emisi tahunan lebih dari 100 negara. (Foto: REUTERS/Ashraf Amra) |
Perang yang berlangsung di Gaza tidak hanya meninggalkan luka kemanusiaan yang mendalam, tetapi juga menimbulkan krisis lingkungan yang jarang dibahas. Sebuah studi terbaru yang diterbitkan di Social Science Research Network dan dilaporkan oleh The Guardian pada 30 Mei 2025 mengungkapkan bahwa jejak karbon dari konflik Israel di Gaza diperkirakan melampaui emisi tahunan lebih dari 100 negara, termasuk Kosta Rika, Afghanistan, dan Zimbabwe.
Dengan total emisi mencapai 31 juta ton setara karbon dioksida (CO2e), dampak iklim dari penghancuran wilayah, pembersihan puing, dan pembangunan kembali Gaza menyerupai jejak lingkungan dari menjalankan 84 pembangkit listrik tenaga gas selama setahun.
Artikel ini menyelami temuan studi tersebut, menyoroti sumber emisi, konsekuensi lingkungan jangka panjang, dan implikasi global dari krisis ini.
Seberapa besar dampak karbon perang di Gaza?
Studi yang dilakukan oleh tim peneliti, termasuk Frederick Otu-Larbi dari Universitas Energi dan Sumber Daya Alam di Ghana, mengungkapkan bahwa aktivitas militer Israel menyumbang 50% dari total emisi langsung, yang berasal dari penggunaan senjata, tank, dan persenjataan lainnya.
Di sisi lain, roket dan bahan bakar bunker Hamas hanya menyumbang 0,2% dari total emisi. Pasokan senjata dari Amerika Serikat, sebesar 50.000 ton, menyumbang 30% emisi, sementara 20% lainnya berasal dari pengintaian pesawat Israel, kampanye pemboman, dan bahan bakar kendaraan militer.
Di Gaza, generator diesel yang digunakan warga akibat kehancuran infrastruktur listrik menyumbang 7% emisi, sebuah ironi mengingat wilayah ini sebelumnya memiliki salah satu kepadatan panel surya atap tertinggi di dunia.
Namun, dampak terbesar datang dari proses rekonstruksi Gaza pasca-konflik. Membangun kembali 436.000 apartemen, ratusan sekolah, masjid, klinik, dan infrastruktur lainnya, termasuk jalan sepanjang 5 km, diperkirakan menghasilkan 29,4 juta ton CO2e.
Angka ini setara dengan emisi tahunan Afghanistan pada 2023, menunjukkan skala tantangan lingkungan yang dihadapi Gaza di masa depan.
Perang telah memperburuk kondisi lingkungan Gaza yang sudah rapuh. Sebelum konflik, energi surya menyumbang seperempat listrik di wilayah ini, menjadikannya salah satu daerah dengan kepadatan panel surya tertinggi.
Namun, pasukan Israel telah menghancurkan sebagian besar infrastruktur surya tersebut, memaksa warga bergantung pada generator diesel yang boros bahan bakar. Blokade Israel juga telah menghancurkan satu-satunya pembangkit listrik di Gaza dan merusak panel surya, memperparah ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Laporan PBB pada 2024 mencatat bahwa perang telah menciptakan krisis lingkungan yang menghancurkan di Gaza. Sistem air, sanitasi, dan kebersihan hampir sepenuhnya lumpuh, dengan lima pabrik pengolahan air limbah ditutup.
Lebih dari 92% air di Gaza sudah dianggap tidak layak konsumsi sejak 2020, dan serangan terhadap infrastruktur lingkungan telah memperburuk situasi ini. Puing-puing dari alat peledak, polusi besar-besaran, dan kerusakan sistem sanitasi telah menciptakan ancaman kesehatan dan lingkungan yang serius bagi 2,2 juta penduduk Gaza.
Luka lingkungan Gaza dari masa ke masa
Kerusakan lingkungan di Gaza bukanlah hal baru. Sejak Nakba 1948, ketika pasukan Zionis melakukan pembersihan etnis dan menghancurkan komunitas Palestina, lingkungan wilayah ini terus terdegradasi.
Dana Nasional Yahudi (JNF) menanam hutan monokultur pinus di reruntuhan desa-desa Palestina, yang menurut Masyarakat untuk Perlindungan Alam di Israel pada 2013 berdampak buruk pada keanekaragaman hayati lokal.
Pada 2021, Fadel al-Jadba, direktur departemen hortikultura di Kementerian Pertanian Palestina, melaporkan penurunan signifikan dalam produksi pertanian selama dekade terakhir akibat pendudukan Israel, sebagaimana dilansir Middle East Eye.
Konflik saat ini juga meluas ke wilayah lain. Studi yang sama mencatat emisi dari konfrontasi Israel dengan Yaman, Iran, dan Lebanon, termasuk roket Houthi (55 ton CO2e) dan respons Israel yang menghasilkan emisi 50 kali lebih besar. Pertukaran rudal dengan Iran menghasilkan 5.000 ton CO2e, sementara konflik di Lebanon menyumbang 3.747 ton CO2e, sebagian besar dari bom Israel.
Mengapa emisi perang sulit dilacak?
Penelitian ini menyoroti kurangnya kewajiban global untuk melaporkan emisi militer ke badan iklim PBB, seperti UNFCCC. Frederick Otu-Larbi menegaskan, “Konflik di Gaza menunjukkan bahwa angkanya sangat besar, melebihi emisi gas rumah kaca tahunan banyak negara, dan harus dimasukkan dalam target perubahan iklim dan mitigasi yang akurat.”
Zena Agha dari jaringan kebijakan Palestina Al-Shabaka menyebut laporan ini sebagai “pengingat yang mengejutkan tentang dampak ekologis dari kampanye Israel,” sambil menyoroti keterlibatan AS, Inggris, dan Uni Eropa dalam menyediakan sumber daya militer yang memungkinkan kehancuran tersebut.
Blokade media Israel juga mempersulit penilaian penuh kerusakan lingkungan, sehingga biaya iklim sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi. Data yang digunakan dalam studi ini berasal dari sumber terbuka, laporan media, dan informasi dari kelompok bantuan serta badan PBB, tetapi keterbatasan akses menghambat gambaran lengkap.
Krisis lingkungan di Gaza menuntut perhatian global yang mendesak. Selain dampak kemanusiaan, perang ini memperlihatkan bagaimana konflik bersenjata dapat mempercepat kerusakan iklim dan lingkungan.
Para peneliti menyerukan agar emisi militer dimasukkan dalam laporan iklim global untuk memastikan akuntabilitas. Selain itu, upaya rekonstruksi Gaza harus memprioritaskan solusi berkelanjutan, seperti memulihkan infrastruktur energi surya dan sistem air yang ramah lingkungan, untuk mengurangi dampak jangka panjang.
Perang di Gaza bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga peringatan keras tentang bagaimana konflik dapat memperburuk krisis iklim global. Seperti yang dikatakan Zena Agha, “Ini bukan hanya perang Israel, tetapi juga perang yang didukung oleh kekuatan global.”
Dengan memahami dan mengatasi dampak lingkungan dari konflik ini, dunia dapat mengambil langkah menuju keadilan iklim dan pemulihan lingkungan di wilayah yang telah lama menderita.
Catatan:Artikel ini ditulis berdasarkan data & informasi dari studi yang diterbitkan di Social Science Research Network dan laporan The Guardian (30 Mei 2025), dengan tambahan konteks dari sumber seperti PBB, Middle East Eye, dan organisasi lingkungan.
0Komentar