![]() |
Sea Limited, induk Shopee, mencetak laba US$410,8 juta di Q1 2025. Namun di balik angka gemilang ini, ribuan karyawan di Indonesia terkena PHK. (Bloomberg) |
Di tengah lonjakan kinerja keuangan yang impresif, Shopee kembali jadi sorotan. Perusahaan e-commerce milik Sea Limited ini mencatat laba bersih kuartal pertama 2025 mencapai US$410,8 juta—sebuah lompatan tajam dari kerugian US$23 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Namun, ironisnya, keberhasilan finansial ini dibarengi dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus berlanjut di Indonesia.
Sea Limited melaporkan pendapatan grup sebesar US$4,8 miliar, naik 29,6% secara tahunan. Kontributor utama adalah Shopee, yang mencatat Gross Merchandise Value (GMV) sebesar US$28,6 miliar dengan 3,1 miliar pesanan—masing-masing tumbuh lebih dari 20%.
Pendapatan marketplace Shopee juga meningkat menjadi US$3,1 miliar, termasuk pendapatan inti dari transaksi dan iklan sebesar US$2,4 miliar (naik 39,2% YoY). Tak kalah mencolok, EBITDA disesuaikan untuk segmen e-commerce berhasil membalikkan kerugian menjadi surplus US$264,4 juta.
Kinerja ini menunjukkan efisiensi operasional yang makin solid dan monetisasi platform yang kian matang. Namun keberhasilan finansial tersebut justru dibayangi oleh realitas pahit bagi sebagian karyawan Shopee di Indonesia.
Gelombang PHK yang Tak Kunjung Usai
Sejak 2022, Shopee Indonesia telah melakukan serangkaian PHK. Dimulai dari unit ShopeeFood pada Juni 2022, berlanjut ke PHK massal pada September (187 karyawan), November (divisi SDM), hingga rentetan efisiensi di 2023–2024 yang mencakup 1.000 karyawan.
Terbaru pada April 2025, satu divisi penuh diberhentikan, termasuk sekitar 300 orang dari tim proyek video, beberapa di antaranya telah mengabdi selama lebih dari delapan tahun.
Seorang mantan karyawan bercerita, “Aku dan teman-temanku di Shopee solo project video sekitar 300 orang kena layoff...” Testimoni ini menunjukkan bahwa efisiensi dilakukan bahkan terhadap tim-tim berpengalaman dan proyek strategis.
Meski efisiensi kerap diklaim sebagai bagian dari strategi keberlanjutan bisnis, tren ini memunculkan pertanyaan etis: sampai sejauh mana perusahaan yang meraih laba besar tetap dapat membenarkan PHK massal?
Lanskap Ketenagakerjaan yang Suram
PHK yang terjadi di Shopee merupakan bagian dari fenomena lebih luas di Indonesia. Hingga 20 Mei 2025, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat total PHK nasional mencapai 26.455 orang—naik 10% dibandingkan April 2024. Sejak awal tahun, rata-rata terdapat 188 PHK setiap hari.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) berada di angka 4,76%, dengan total 7,28 juta orang menganggur. Yang lebih mengkhawatirkan, mayoritas pengangguran berasal dari lulusan SMA (28,01%) dan SMK (22,37%), disusul lulusan diploma dan sarjana (13,89%).
Angka ini menunjukkan ketidaksesuaian antara sistem pendidikan dan kebutuhan pasar tenaga kerja, terutama di sektor teknologi yang kini tengah mengencangkan ikat pinggang.
Tantangan Ketika Teknologi Tak Lagi Menyerap Tenaga Kerja
Shopee adalah cerminan dilema industri digital: skala bisnis bisa tumbuh pesat tanpa perlu menambah banyak tenaga kerja—bahkan cenderung menguranginya.
Dalam konteks ini, efisiensi bukan sekadar strategi operasional, tetapi juga paradigma baru dunia kerja yang menempatkan teknologi dan automasi di atas keberlangsungan pekerjaan manusia.
Di satu sisi, pertumbuhan Shopee dan Sea Limited menjadi bukti bahwa sektor digital bisa mencetak profit luar biasa. Namun di sisi lain, fakta bahwa ribuan orang kehilangan pekerjaan menunjukkan ketidakseimbangan antara inovasi dan perlindungan tenaga kerja.
Jika tidak diiringi regulasi dan kebijakan yang adaptif, tren ini dapat memperdalam krisis ketenagakerjaan, terutama bagi generasi muda berpendidikan tinggi.
Indonesia sedang berdiri di persimpangan: antara memfasilitasi pertumbuhan sektor digital dan melindungi keberlanjutan pekerjaan. Shopee mungkin sedang menulis ulang buku sukses korporasi digital, tetapi bagi para pekerja yang terdepak, narasinya justru berubah menjadi kisah ketidakpastian.
0Komentar