PBB menghadapi krisis keuangan parah dengan tunggakan miliaran dolar dari negara anggota. Operasional global terancam, dan seruan bantuan pun dilayangkan. (Timothy A. Clary/Pool via REUTERS)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kini menghadapi salah satu krisis keuangan paling serius dalam sejarahnya. Dengan tunggakan pembayaran negara-negara anggota yang mencapai miliaran dolar, organisasi ini terpaksa memangkas layanan, membekukan perekrutan, dan menangguhkan sejumlah operasional penting di berbagai belahan dunia.

Hingga Mei 2025, jumlah tunggakan iuran negara anggota mencapai $2,4 miliar untuk anggaran reguler dan $2,7 miliar untuk misi pemeliharaan perdamaian. Situasi ini mendorong Sekretariat PBB untuk menerapkan penghematan drastis, termasuk pembekuan rekrutmen dan pengurangan layanan pokok.

Hanya 61 negara yang telah melunasi kewajiban iuran secara penuh. Negara-negara penyumbang utama seperti Amerika Serikat, yang menanggung 22% dari total anggaran namun menunggak sekitar $1,5 miliar, serta Tiongkok yang juga mengalami keterlambatan pembayaran meskipun memiliki kuota 20%, menjadi sorotan utama dalam krisis ini.

Dampak langsung dari krisis ini mulai terasa di lapangan. ESCAP, badan regional PBB untuk kawasan Asia-Pasifik, terpaksa menutup kantornya selama tiga bulan dan menghentikan perjalanan dinas. 

Sementara itu, badan-badan seperti UNICEF dan UNFPA mulai memindahkan operasi mereka ke negara-negara seperti Kenya demi efisiensi biaya.

Sekjen PBB, António Guterres, menyatakan bahwa, "Anggaran PBB bukan sekadar angka; ini menyangkut hidup dan mati jutaan orang." Hal ini mempertegas urgensi krisis yang bukan hanya administratif, tetapi berdampak langsung pada bantuan kemanusiaan global.

Sebagai respons, sejumlah usulan telah diajukan. Salah satunya adalah mengizinkan PBB mempertahankan dana yang tidak terpakai di akhir tahun fiskal—yang selama ini harus dikembalikan ke negara anggota—guna menjaga kestabilan operasional. 

Inisiatif lain, Program UN 80, bertujuan mengkaji tumpang tindih mandat berbagai badan PBB untuk memangkas pemborosan anggaran.

Namun, reaksi negara anggota beragam. Swiss memperingatkan bahwa pemotongan layanan dan penundaan pembayaran dapat "mengikis kepercayaan terhadap kemampuan PBB menjalankan mandatnya." 

Negara-negara seperti Uni Eropa, Kazakhstan, Norwegia, dan Inggris menolak solusi yang membebani negara yang disiplin membayar, dan justru menyoroti masalah akar berupa kegagalan negara lain untuk memenuhi komitmennya.

Sementara itu, blok ASEAN, melalui pernyataan Singapura, menyebut persoalan likuiditas ini sebagai hal yang "rutin", meskipun tekanan global saat ini memperburuk situasi.

Krisis ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Sejak masa pemerintahan Donald Trump, kebijakan pemotongan bantuan luar negeri oleh AS memperparah ketidakstabilan keuangan PBB. 

Di sisi lain, UNCTAD memperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya akan mencapai 2,3% pada tahun 2025, menandakan ancaman resesi yang bisa semakin membatasi kontribusi negara-negara anggota.

Direktur Departemen Manajemen PBB, Catherine Pollard, menegaskan, "Tanpa dukungan keuangan yang luas dan tepat waktu, kemampuan PBB untuk melayani dunia—terutama dalam situasi krisis—sangat terancam."