Makoto Uda, eksekutif senior asal Jepang, menempuh pendidikan di Jepang, Amerika Serikat, dan Indonesia. (Dok. Humas ITB)

Di antara lautan toga hitam pada Wisuda Kedua ITB 2024/2025, satu sosok mencuri perhatian: pria berambut dan berjanggut putih, duduk tenang namun mencolok di antara 1.887 wisudawan lainnya. Ia adalah Makoto Uda, seorang venture capitalist asal Jepang yang kini resmi menyandang gelar Magister Administrasi Bisnis (MBA) dari Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB.

Uda bukan sosok biasa. Dengan pengalaman lebih dari dua dekade di industri modal ventura dan ekuitas swasta, ia pernah menduduki posisi strategis seperti Manajer Pengembangan Bisnis di Sharps Electronics Corporation dan Manajer Umum Perencanaan Bisnis di Mitsubishi Motors. Kariernya membentang dari Jepang, Silicon Valley, hingga Indonesia.

Namun di balik rekam jejak impresif itu, Uda menyimpan refleksi mendalam:

"Saya dulu menganggap ilmu kampus tak berguna, tapi ternyata sangat penting di dunia nyata."

Pernyataan itu mencerminkan transformasi pemikiran Uda, yang awalnya mengandalkan pengalaman lapangan semata. Keputusan untuk kembali ke bangku kuliah, justru ia anggap sebagai langkah strategis untuk memperdalam pemahaman lintas budaya dan memperkuat kompetensi manajerialnya.

Tiga Negara, Tiga Gaya Pendidikan

Uda telah mengecap sistem pendidikan di tiga negara berbeda:

Jepang (Sarjana Hukum, Waseda University): dosen gabungan akademisi dan praktisi.

Amerika Serikat (Sertifikasi Hukum, Duke University): dosen murni praktisi.

Indonesia (MBA, ITB): dosen dominan dari kalangan akademisi.

Bagi Uda, perbedaan ini membuka wawasan baru akan cara berpikir dan pendekatan dalam dunia bisnis global.

"Di kampus ini, saya benar-benar mengenal karakter asli orang Indonesia yang jauh lebih beragam dan menarik," ujarnya, mengapresiasi interaksi lintas budaya selama di ITB.

Tantangan Bahasa dan Etika

Meski bahasa pengantar kuliah adalah Inggris, Uda harus beradaptasi cepat dengan percakapan sehari-hari yang sering menggunakan Bahasa Indonesia. Beruntung, teman-teman sekelasnya memberikan dukungan penuh.

Mata kuliah yang paling membekas baginya adalah Etika.

"Dengan etika, manusia bisa mematuhi peraturan yang ada, sehingga menjadi lebih bijak."

Sebagai mahasiswa tertua di kelas—bahkan seusia dengan beberapa dosen—Uda justru menjadi inspirasi bagi generasi muda. Pengalamannya memberikan perspektif baru dalam diskusi kelas, termasuk saat menyusun tesis.

Topik tesis Uda berfokus pada peran ekspatriat mandiri dan talenta lokal dalam mengatasi kesenjangan komunikasi dan adaptasi budaya di perusahaan Jepang pascapandemi. Isu ini sangat relevan, mengingat banyak perusahaan Jepang mengurangi jumlah ekspatriat akibat pandemi.

Melalui risetnya, Uda menawarkan solusi jangka panjang untuk harmonisasi kerja antara tenaga kerja Jepang dan Indonesia.

Menjadi Jembatan Antarbangsa

Lulus dengan predikat cum laude, Uda tidak ingin berhenti hanya sebagai akademisi atau eksekutif. Ia membawa misi pribadi: menjadi jembatan budaya antara Jepang dan Indonesia.

"Selalu hormati budaya lokal untuk membangun hubungan harmonis. Dari budaya yang beragam, kita bisa belajar hal penting bagi kehidupan."

Selama kuliah, ia juga menyempatkan diri menjelajahi Indonesia—dari Nusa Tenggara Timur hingga Maluku—untuk menyelami keberagaman lokal secara langsung.

Makoto Uda adalah bukti bahwa pembelajaran tidak mengenal usia. Dari Silicon Valley ke ruang kelas ITB, ia membuktikan bahwa kombinasi pengalaman industri dan pendidikan formal adalah kunci untuk menghadapi tantangan global, dengan semangat lintas generasi dan lintas budaya.