Rusia tengah mempercepat pemulihan kekuatan militernya, memicu kekhawatiran baru di kalangan anggota NATO. (Host Photo Agency RIA Novosti.)

Bayangan ancaman dari Timur mulai kembali membayangi peta strategis Eropa. Meskipun konflik di Ukraina masih menjadi fokus utama, berbagai analisis intelijen dan militer menunjukkan bahwa Rusia tengah bersiap untuk melangkah lebih jauh. Jika peringatan ini diabaikan, maka Eropa bisa saja menghadapi ancaman militer yang lebih besar dalam beberapa tahun ke depan.

Lembaga think tank terkemuka, IISS, memperkirakan bahwa Rusia bisa menjadi tantangan serius bagi keamanan NATO, khususnya di kawasan Baltik, paling cepat pada tahun 2027. 

Analisis ini tidak muncul begitu saja—melainkan dari pola kebangkitan kekuatan militer Rusia, strategi politik Moskow, dan perubahan dinamika di dalam NATO itu sendiri.

Yang menarik, faktor eksternal seperti potensi kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih bisa menjadi penentu utama. Jika kebijakan luar negeri AS kembali mengarah pada pengurangan keterlibatan dalam NATO, maka kemungkinan besar Rusia akan memanfaatkan ruang tersebut untuk menunjukkan kekuatannya.


Pesan Keras dari Pemimpin Eropa

Kekhawatiran ini tidak hanya datang dari kalangan analis, tapi juga dari para pemimpin politik. Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa langkah persenjataan ulang Rusia menunjukkan ambisi yang jauh lebih besar dari sekadar menguasai Ukraina. 

Sementara itu, Perdana Menteri Estonia Kaja Kallas memperingatkan bahwa konflik berikutnya bukan sekadar kemungkinan, melainkan hanya soal waktu.

Keduanya mengisyaratkan bahwa Rusia sedang memainkan permainan jangka panjang. Jika negara-negara Eropa gagal membaca arah permainan ini, maka mereka bisa saja terjebak dalam situasi yang jauh lebih berbahaya daripada saat ini.

Sementara upaya diplomatik masih berlangsung—seperti kunjungan Presiden Ukraina ke Ankara—tidak adanya partisipasi langsung dari pihak Rusia dalam perundingan tersebut menunjukkan bahwa harapan perdamaian masih jauh. 

Ukraina pun mendesak agar Amerika Serikat, khususnya tokoh-tokoh yang berpengaruh secara politik seperti Trump, memberikan tanggapan tegas terhadap sikap diam Kremlin.

Hal ini mencerminkan bahwa krisis tidak bisa hanya diselesaikan dengan niat baik. Tanpa komitmen dari semua pihak, terutama aktor besar seperti Rusia dan AS, diplomasi hanya akan menjadi panggung simbolik.

Kerapuhan NATO: Peluang Bagi Rusia?

IISS memperingatkan bahwa kelemahan atau perpecahan dalam tubuh NATO bisa menjadi pemicu agresi dari pihak Rusia. Aliansi yang dibentuk untuk mencegah perang justru bisa menjadi sasaran bila dinilai tidak lagi solid. 

Inilah alasan mengapa persatuan antarnegara anggota menjadi kunci utama dalam menghadapi ancaman yang berkembang.

NATO harus menyadari bahwa tantangan yang dihadapi bukan hanya berbentuk militer, melainkan juga psikologis dan politik. Jika Moskow merasa aliansi tersebut tidak lagi memiliki kekuatan kolektif, maka akan semakin besar peluang untuk mengambil tindakan ofensif.

Dalam satu tahun terakhir, Rusia kehilangan ribuan unit kendaraan tempur—termasuk ribuan tank dan kendaraan lapis baja. Namun, hal ini belum cukup untuk melemahkan kemampuan jangka panjangnya. 

Panglima tertinggi NATO untuk kawasan Eropa, Jenderal Cavoli, memperkirakan bahwa semua kerugian itu dapat diganti dalam beberapa tahun saja.

Artinya, kemampuan industri militer Rusia tidak bisa diremehkan, bahkan di tengah tekanan ekonomi dan sanksi. Kekuatan logistik dan produksi mereka masih menjadi aset utama.

Reorganisasi Militer: Menuju Era Soviet Baru?

Dalam langkah yang lebih strategis, Rusia telah memulai reorganisasi besar-besaran di tubuh militernya. Menurut Menteri Pertahanan Sergei Shoigu, struktur baru termasuk pembentukan distrik militer tambahan dan ekspansi pasukan hingga 1,5 juta personel. 

Langkah ini memunculkan kekhawatiran akan kebangkitan kembali model militer bergaya Soviet, sebagaimana diungkapkan oleh badan intelijen Estonia.

Bukan tidak mungkin, struktur militer baru ini disiapkan untuk skenario konflik besar yang melibatkan kawasan Eropa Timur dan sekitarnya.

Inggris dan Denmark memperkirakan bahwa proses pemulihan total militer Rusia bisa memakan waktu antara lima hingga sepuluh tahun. Namun, asumsi ini didasarkan pada skenario bahwa Amerika Serikat tetap berkomitmen di Eropa. 

Jika AS menarik diri atau mengurangi peran strategisnya, maka waktu tersebut bisa menjadi cukup untuk Rusia meluncurkan operasi militer berskala besar.

Dalam dunia keamanan internasional, lima tahun bukanlah waktu yang lama. Oleh karena itu, kesiapsiagaan harus dimulai dari sekarang—bukan saat ancaman sudah berada di depan pintu.