![]() |
Daya beli kelas menengah turun drastis. QRIS tunjukkan tren konsumsi melemah di tengah deflasi dan penurunan transaksi digital. (Kabarbisnis.com) |
Dalam rentang waktu lima tahun terakhir, Indonesia menghadapi fenomena sunyi namun mengkhawatirkan: menyusutnya populasi kelas menengah. Berdasarkan data resmi, hampir 9,5 juta orang tidak lagi berada di zona nyaman ekonomi, tergerus ke dalam kelompok rentan atau bahkan miskin.
Di saat yang sama, penurunan daya beli mulai tercermin dari cara masyarakat bertransaksi—baik di warung, restoran, hingga dalam bentuk tabungan.
QRIS, sistem pembayaran digital yang diharapkan menjadi tumpuan transformasi keuangan Indonesia, kini juga merefleksikan keresahan ini. Bukannya mencerminkan geliat konsumsi, tren QRIS justru mengungkap realitas ekonomi yang sedang lesu.
Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah Indonesia menurun drastis, dari 57,33 juta jiwa pada 2019 (sekitar 21,45% populasi), menjadi hanya 47,85 juta pada 2024 (17,13%).
Artinya, 9,48 juta jiwa “turun kelas”, berpotensi kehilangan akses terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan, dan gaya hidup stabil yang sebelumnya mereka nikmati.
Sementara itu, kelompok rentan dan miskin mengalami lonjakan, dari 54,97 juta menjadi 67,69 juta jiwa dalam periode yang sama.
Angka-angka ini bukan sekadar data: mereka mewakili keluarga yang harus menjual kendaraan untuk bertahan, atau anak-anak yang terpaksa pindah dari sekolah swasta ke sekolah negeri karena biaya tak lagi sanggup ditanggung.
QRIS: Cermin yang Memantulkan Krisis Konsumsi
Penurunan daya beli tercermin jelas melalui pola transaksi berbasis QRIS. Data dari Bank Jatim menunjukkan nilai transaksi anjlok dari Rp176,30 miliar pada Juni 2024 menjadi hanya Rp127,91 miliar di bulan berikutnya—penurunan sekitar 27,4%. Meskipun angka sedikit pulih di Agustus (Rp130,51 miliar), tren ini tidak dapat diabaikan.
Lebih jauh lagi, perubahan ini terjadi di tengah deflasi inti yang terjadi selama empat bulan berturut-turut. Masyarakat mengurangi pengeluaran untuk hiburan atau makan di luar, beralih pada kebutuhan pokok.
QRIS, dalam hal ini, bertindak layaknya termometer ekonomi—mengukur ‘demam’ daya beli yang terus menurun.
Penurunan konsumsi juga beriringan dengan melemahnya tabungan masyarakat. Data dari OK Bank Indonesia menunjukkan tabungan nasabah turun sebesar 12% secara tahunan hingga September 2024.
Sementara itu, Bank BJB mencatat bahwa nilai transaksi tetap, tetapi jumlah barang yang bisa dibeli dengan nominal yang sama menurun: dari 10 barang kini hanya cukup untuk 8 hingga 9 barang.
Ini mencerminkan bagaimana inflasi tak hanya merusak nilai tukar uang, tapi juga daya beli nyata masyarakat kelas menengah.
Kebijakan QRIS: Inklusif, Namun Belum Menyeluruh
Sebagai respons terhadap tantangan ini, Bank Indonesia akan memberlakukan kebijakan penghapusan biaya Merchant Discount Rate (MDR) sebesar 0% untuk transaksi QRIS senilai Rp500.000 ke bawah mulai Desember 2024.
Tujuannya jelas: mendorong UMKM untuk beralih ke ekosistem digital dan memperluas inklusi keuangan.
Namun, di sisi lain, pertumbuhan QRIS yang mencapai 209,61% secara tahunan di kuartal ketiga 2024 belum sepenuhnya sejalan dengan realitas di lapangan.
Pertumbuhan transaksi digital belum mampu menutupi fakta bahwa konsumsi publik melemah dan pendapatan stagnan, terutama di segmen kelas menengah.
Apa yang Diperlukan ke Depan?
Jika tren ini berlanjut tanpa intervensi fiskal yang tepat, kelas menengah—yang selama ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional—berpotensi mengalami krisis jangka panjang.
Pemerintah perlu mendorong kebijakan subsidi terarah yang bukan hanya menyasar kelompok miskin, tetapi juga menopang kelompok rentan agar tidak semakin terpuruk.
Selain itu, edukasi literasi keuangan dan digital untuk pelaku UMKM menjadi krusial. Menurut data Global Findex 2021, masih ada 98 juta penduduk Indonesia yang belum memiliki akses perbankan formal. Namun, 55% dari mereka memiliki ponsel, membuka peluang besar bagi digitalisasi ekonomi melalui QRIS.
Hasil survei Visa 2024 juga menunjukkan 83% UMKM yang mengadopsi pembayaran digital mengalami peningkatan omzet. Ini menjadi sinyal bahwa meski daya beli masyarakat turun, adaptasi teknologi tetap memberi ruang untuk bertahan—asal ekosistem pendukungnya kuat dan terintegrasi.
Kelas menengah Indonesia tengah berada di persimpangan. Jika QRIS adalah peta digital transaksi masa depan, maka data yang tercermin saat ini menunjukkan bahwa banyak yang tersesat dalam ketidakpastian ekonomi.
Solusinya bukan sekadar menambah kanal pembayaran, tetapi memperkuat fondasi ekonomi rumah tangga—melalui subsidi tepat sasaran, dukungan untuk UMKM, dan kebijakan fiskal yang inklusif.
0Komentar