Boeing setujui kompensasi senilai $1,1 miliar atau Rp17,8 triliun untuk menyelesaikan kasus kecelakaan fatal 737 MAX Lion Air dan Ethiopian Airlines yang menewaskan 346 orang. (Foto: Getty Images)

Boeing resmi menyepakati kompensasi senilai $1,1 miliar atau sekitar Rp17,8 triliun sebagai bagian dari perjanjian dengan Departemen Kehakiman AS (DoJ), untuk menghindari tuntutan pidana terkait dua kecelakaan tragis yang melibatkan pesawat 737 MAX miliknya. 

Kedua kecelakaan—Lion Air JT-610 di Indonesia dan Ethiopian Airlines ET-302 di Ethiopia—menewaskan total 346 orang dan mengguncang dunia penerbangan global.

Dalam rincian kesepakatan, dana sebesar $455 juta akan dialokasikan untuk memperkuat sistem kepatuhan dan keselamatan, sementara $444,5 juta ditujukan untuk kompensasi korban. 

Selain itu, Boeing juga akan membayar denda pidana sebesar $487,2 juta, sebagian di antaranya telah dilunasi sebelumnya. DoJ menyatakan bahwa struktur kompensasi ini merupakan solusi “paling adil secara hukum”, meskipun di tengah kritik dari sejumlah pihak.

Pusat dari kontroversi ini adalah MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System), sistem otomatis yang secara keliru memaksa hidung pesawat menukik ke bawah tanpa perintah pilot. 

Kedua kecelakaan tragis pada 2018 dan 2019 ini disebabkan oleh malfungsi MCAS yang dipicu oleh sensor AoA (Angle of Attack) yang rusak. Investigasi menunjukkan bahwa Boeing tidak mencantumkan MCAS dalam buku manual pilot dan gagal memberikan pelatihan memadai kepada kru.

Di kasus Lion Air JT-610, pilot tidak memiliki pengetahuan teknis tentang cara menonaktifkan MCAS, padahal pesawat sebelumnya telah mengalami gangguan teknis. Sementara dalam penerbangan ET-302, pilot mencoba mengikuti prosedur darurat tetapi tetap kehilangan kendali atas pesawat.

“MCAS adalah faktor kunci di kedua kecelakaan, tetapi Boeing sengaja tidak mencantumkannya dalam manual pilot,” ungkap salah satu laporan investigasi.

Dalam pernyataan resminya, Boeing mengakui telah menghambat proses evaluasi FAA (Federal Aviation Administration)—sebuah bentuk konspirasi—tetapi menolak menyatakan bersalah secara langsung atas kematian para korban. 

Langkah ini dinilai oleh banyak pihak sebagai upaya untuk meredam tanggung jawab hukum penuh dan menghindari persidangan yang seharusnya digelar pada 23 Juni 2025.

“Boeing mengakui konspirasi tetapi tidak bersalah atas kematian korban,” bunyi kutipan dari kesepakatan DoJ.

Kesepakatan ini juga mencakup kewajiban bagi Boeing untuk menunjuk konsultan independen yang akan mengawasi penerapan program etika dan kepatuhan internal perusahaan, serta peningkatan pelatihan bagi pilot terkait penggunaan MCAS yang kini telah diperbarui dengan sistem redundansi sensor.

Reaksi dari keluarga korban beragam. Beberapa menyambut baik langkah DoJ sebagai bentuk pengakuan atas tragedi yang terjadi, tetapi banyak pula yang merasa bahwa kompensasi ini hanyalah penyelesaian politik, bukan bentuk keadilan sejati.

“Keluarga korban menganggap ini bukan keadilan sejati, hanya kompromi politik,” ujar salah satu perwakilan keluarga korban.

Pihak keluarga juga menyoroti fakta bahwa Boeing telah melanggar perjanjian sebelumnya pada 2021, di mana mereka telah membayar $2,5 miliar untuk menyelesaikan kasus serupa. Namun, setelah kasus terbaru ini, banyak yang merasa luka lama kembali terbuka.

Akibat dari dua kecelakaan tersebut, pesawat 737 MAX dilarang terbang selama dua tahun penuh dari 2019 hingga 2021, merugikan Boeing hingga $80 miliar akibat pembatalan pesanan dan denda tambahan. 

Krisis ini juga menjadi titik balik dalam standar keselamatan penerbangan internasional, memaksa industri memperketat pengawasan terhadap desain dan pengujian teknologi baru.

Walau kesepakatan ini menandai babak baru dalam tanggung jawab Boeing, pertanyaan besar masih menggantung: apakah keadilan bisa dibeli dengan uang, ataukah harus ditegakkan lewat pengakuan dan pertanggungjawaban penuh?