Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menepis spekulasi soal renggangnya hubungan dengan Amerika Serikat. Ia mengutip percakapannya dengan Presiden Donald Trump yang disebut menyatakan "komitmen penuh" terhadap Israel. Namun, di balik pernyataan hangat itu, sejumlah langkah strategis AS di kawasan Timur Tengah justru memunculkan tanda tanya besar: apakah hubungan istimewa Israel-AS mulai merenggang?
Ketika Trump melakukan tur diplomatik dan bisnis ke Timur Tengah baru-baru ini, Israel tak masuk dalam daftar kunjungan. Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab menjadi destinasi utama, dengan agenda investasi triliunan dolar di bidang kecerdasan buatan, energi, dan pertahanan.
Ketidakhadiran Israel dalam kunjungan itu menciptakan kesan pergeseran prioritas, sebuah sinyal yang tak bisa diabaikan oleh pengamat geopolitik.
Analis Israel Dana Fahn Luzon menyebut langkah Trump sebagai pesan halus kepada Netanyahu: "Trump seperti berkata, 'Sayang, aku sudah cukup sabar denganmu'."
Sementara Mitchell Barak, mantan penasihat Netanyahu, menilai sang perdana menteri terlalu yakin bahwa Trump selalu berada di sisinya. “Netanyahu menganggap Trump ada di kantongnya, tapi jelas kini Trump menunjukkan batas kesabarannya,” ujar Barak.
Sinyal lain muncul dari batalnya kunjungan Wakil Presiden AS JD Vance ke Israel yang disebut karena alasan logistik. Namun, banyak yang menilai alasan itu hanya kedok diplomatik atas ketidakpuasan Washington terhadap sikap Netanyahu, terutama dalam penanganan konflik Gaza.
AS kini aktif bernegosiasi dengan Hamas melalui jalur tak langsung di Doha—tanpa keterlibatan Israel. Ini merupakan perubahan besar dalam pendekatan diplomasi AS yang biasanya selalu melibatkan Tel Aviv dalam isu keamanan regional.
Di sisi lain, tekanan kepada Israel juga datang dari dunia internasional. Uni Eropa dan Inggris tengah meninjau ulang kerja sama perdagangan mereka sebagai respons atas blokade Israel terhadap Gaza.
Amnesty International bahkan menyebut tindakan militer Israel sebagai bentuk genosida dan menyerukan embargo senjata. Netanyahu tetap bertahan pada kebijakan garis keras terhadap Gaza, meski AS mendesaknya untuk membuka jalur bantuan kemanusiaan.
Kabarnya, Trump frustrasi karena konflik yang berlarut-larut ini mengganggu upaya AS memperluas Abraham Accords dan menjalin normalisasi dengan Arab Saudi—salah satu pencapaian diplomatik utama era kepemimpinannya.
Meski pejabat Gedung Putih menegaskan bahwa “Israel tidak pernah punya teman sebaik Presiden Trump,” ucapan itu tidak secara eksplisit menyatakan dukungan terhadap Netanyahu pribadi.
Beberapa sumber bahkan menyebut Trump kini menghindari komunikasi langsung dengan Netanyahu, curiga bahwa sang perdana menteri ingin memanfaatkannya demi kepentingan politik domestik.
Netanyahu boleh saja membantah adanya krisis, tetapi rangkaian manuver AS di Timur Tengah menunjukkan sebaliknya. Di saat Trump sibuk membangun kemitraan ekonomi baru dengan dunia Arab—dengan investasi raksasa seperti $600 miliar dari Arab Saudi dan $200 miliar dari UEA—Israel mulai terlihat terpinggirkan dari orbit pengaruh utama sekutunya sendiri.
Situasi ini mencerminkan kenyataan pahit diplomasi—bahwa hubungan negara bukan soal janji pribadi, melainkan soal kepentingan strategis.
Netanyahu mungkin masih memiliki simpati dari sebagian elite AS, tetapi jika kebijakan Israel terus menghambat agenda ekonomi dan stabilitas regional yang diusung Washington, maka loyalitas pun bisa memudar.
Bagi Israel, ini adalah momen refleksi. Mengandalkan satu tokoh atau partai di AS bukanlah strategi jangka panjang yang bijak. Apalagi jika kebijakan domestik mereka bertolak belakang dengan arah angin global yang kini mengarah ke rekonsiliasi dan pembangunan, bukan konfrontasi.
0Komentar